BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Anak berkebutuhan
khusus tidak hanya anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan
tunalaras saja. Anak autistik merupakan anak berkebutuhan khusus. Anak autistic
memiliki jumlah yang cukup banyak dilingkungan masyarakat. Autism merupakan
suatu kelainan yang serius dan kompleks. Kelainan ini serius karena didapati
kelainan neuroanatomis yang permanen
pada otak kecil, system limbic dan lobus parietalis. Anak ini juga
membutuhkan suatu layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
yang dimilikinya untuk mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya.
Media informasi yang
kini dibangun dan mengalir di mana-mana seakan memberi secercah pengetahuan
tambahan dan juga kesadaran untuk bersikap jauh lebih terbuka mengenai
keberadaan anak-anak special nedds
ini. Keluarga yang memiliki putra-putri berkebutuhan khusus pun tak lagi mesti
malu, apalagi menyembunyikan keberadaan buah hati mereka. Perlu disadari bahwa
keberadaan anak-anak dengan kondisi berbeda yang membaur di lingkungan kita
bukan lagi menjadi hal yang tabu atau ditampik. Mewujudkan kesetaraan hak,
kesempatan hidup semua manusia terlepas dari bagaimana pun kondisi fisik dan
psikis adalah suatu keniscayaan yang kian hari kian dituntut manifestasinya. Di
lembaga pendidikan, pada lapangan kerja, individu berkebutuhan khusus akan
semakin sering kita temui sebagai implementasi dari persamaan hak tersebut.
Mungkin kita tak lagi setengah-setengah dalam mengenali seseorang yang
dilahirkan spesial.
1.2 Tujuan
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus” yang
diberikan oleh dosen pengampu yaitu Dr. Ahmad Waki, M.A. Selain itu untuk
memberikan suatu pengetahuan kepada mahasiswa sebagai bahan diskusi kelas.
1.3 Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
dari makalah ini yaitu sebagai berikut:
a. Apakah
yang dimaksud dengan anak Special Needs ?
b. Siapa
saja yang termasuk anak Special Needs ?
c. Bagaimana
penanganan anak special needs dalam
sejarah ?
d. Bagaimana
pendidikan anak Special Needs ?
e. Bagaimana
Profil Anak Special Needs dan Orang Tuanya ?
f. Bagaimana
Dedikasi Sosok di Belakang Anak Special
Needs ?
g. Apa
Penjelasan Fakta, Dilema, dan Harapan bagi Anak Special Needs ?
1.4 Metode
Penulisan
Dalam penulisan makalah
ini penulis menggunakan metode pustaka, yaitu dengan melihat sumber dari buku.
1.5 Sistematika
Penulisan
Berikut adalah sistematika penulisan makalah
ini :
BAB
I Pendahuluan
terdiri atas latar belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB
II Pembahasan terdiri atas pengertian
anak special needs, Macam-macam anak special needs, penanganan anak special needs dalam sejarah, pendidikan
znak special needs, profil anak special needs, dedikasi sosok di
belakang anak special needs, fakta,
dilema, dan harapan anak special needs.
BAB
III Penutup terdiri atas Simpulan dan
saran.
Untuk
mempertanggungjawabkan penulisan disertai daftar pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pegertian
anak Special Needs
“Anak-anak
spesial” adalah julukan manis untuk anak spesial needs, anak berkebutuhan
khusus (ABK), yang dipergunakan oleh para orang tua yang putra-putrinya
menyandang predikat tersebut. Biasanya pemakaian singkatan ABK ini diterapkan
di berbagai lembaga pendidikan seperti di sekolah, tempat terapi atau
universitas. Bagi masyarakat, terutama
di perkotaan, ABK yaitu anak-anak yang menyandang kelainan ataupun kekurangan
secara fisik dan mental.
Prof. Frieda
Mangunsong, guru besar Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa
pengertian anak yang tergolong luar biasa atau memiliki kebutuhan khusus
adalah: “Anak yang secara signifikan
berbeda dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara
fisik, psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan
atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta,
mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional.
Juga anak-anak yang berbakat dengan intelegensi yang tinggi dapat dikategorikan
sebagai anak khusus atau luar biasa karena memerlukan penanganan yang terlatih
dari tenaga profesional”.
Adapun beberapa
istilah yang sering kita dengar namun nampak keliru dalam mengartikannya,
diantaraya:
1. Impairment
atau kerusakan
Ini berkaitan
dengan suatu penyakit atau rusaknya suatu jaringan dalam tubuh sehingga
menibulkan kekhususan pada diri seseorang. Sebagai contoh, bayi yang kekurangan
oksigen pada saat proses kelahirannya akhirnya mengalami kerusakan otak dan
syaraf lainnya, akhirnya terjadilah kelumpuhan otak (cerebral palsy).
2. Disability atau kekhususan
Hal ini
menunjukkan konsekuensi fungsional dari kerusakan bagian tubuh yang dialami
seseorang. Contohnya, seseorang yang pertumbuhan kakinya menjadi tidak normal
akibat terjangkit polio. Untuk selanjutnya ia tidak bisa beraktivitas leluasa
apabila tidak dibantu dengan alat penunjang khusus seperti kruk, kursi roda,
atau kaki palsu.
3. Handicapped
atau ketidakmampuan
Hal ini
merupakan konsekuensi sosial yang dialami seseorang berkebutuhan khusus ketika
ia berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai contoh, seorang tunanetra bisa
membaca tetapi tentu saja ia tak mungkin membaca huruf awas dan hanya dapat
membaca huruf Braille. Sehingga
apabila seorang tunarungu dapat melakukan perjalanan jauh seorang diri dengan
berpatokan pada peta konvensional dan papan petunjuk jalan, seorang tunanetra
tidak bisa melakukan hal yang sama tanpa orang lain yang mendampingi, atau
perangkat teknologi yang mentransfer tampilan visual ke audio.
2.2 Macam-macam Anak Special Needs
Ada beberapa
anak-anak special needs yang bisa
kita sebut populer di Indonesia karena tergolong mudah ditemui atau sekedar
mendengarnya dalam berbagai kesempatan. Siapa saja yang disebut anak-anak
berkebutuhan khusus atau anak-anak special
needs ini, mereka adalah sebagai berikut:
1. Tunanetra
Tunanetra adalah
seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan, dapat diklasifikasikan ke
dalam dua golongan, yaitu buta total (blind)
dan low vision. Tunanetra tidak berarti selalu tidak mampu
melihat secara keseluruhan.
Dalam konteks individu
berkebutuhan khusus, tunanetra berarti setiap gangguan atau kelainan yang
terjadi pada indra penglihatan seseorang sehingga mengalami kendala dalam
beraktivitas dan akhirnya, mereka pun memerlukan alat khusus yang dapat
membantu penglihatan atau menggantikan fungsi matanya. Oleh karena tunanetra
memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan, maka proses pembelajaran
menekankan pada alat indra yang lain, yaitu indra peraba dan indra pendengaran,
sebab itu prinsip yang harus diperhatiakn dalam memberikan pengajaran kepada
individu-individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat faktual
dan bersuara. Contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. Sedangkan
media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.
Anak yang buta sejak
lahir secara alamiah memiliki persepsi tentang dunia yang jelas berbeda
daripada anak yang kehilangan penglihatannya pada usia 12 tahun. Kerusakan
penglihatan sejak lahir disebabkan bermacam-macam penyebab seperti faktor keturunan
atau infeksi misalnya campak Jerman yang ditularkan ibu saat janin masih dalam
proses pembentukan disaat kehamilan.
2. Tunarungu
Tunarungu adalah
individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak
permanen. Alat untuk mengukur kemampuan dengar secara kuantitatif disebut
audiometric. Dari pemeriksaan menggunakan audiometric dapat diperoleh
klasifikasi kemampuan mendengar suara sesuai level yang dinyatakan dalam satuan
desibel (dB). Dari mulai gangguan pendengaran sangat ringan, dimana
penderitanya tidak bisa menangkap jelas suara bisikan sampai pada gangguan
pendengaran ekstrem (tuli) yang tidak bisa mendengar dering telepon atau
keramaian lalu lintas besar.
Karena memiliki
kesulitan dalam pendengaran, individu tunarungu memiliki hambatan dalam
berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Individu tunarungu juga
cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Masalah
yang dihadapi oleh anak tunarungu cukup berat
dan biasanya bersumber dari kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi.
Pendekatan komunikasi
yang banyak digunakan pada anak tunarungu, yaitu latihan pendengaran, oralism,
manualism, dan komunikasi total. Latihan pendengaran secara sistematis
mengembangkan kemampuan anak untuk menyadari dan membedakan:
a. Suara-suara
yang mencolok, termasuk suara-suara lingkungan.
b. Pola
irama berbicara dan irama musik.
c. Pengenalan
huruf hidup.
d. Penegnalan
huruf mati.
e. Bicara
dalam situasi ramai atau bising.
Indikator yang bisa
dengan mudah kita lihat untuk menengarai gangguan pendengaran pada seorang
anak, diantaranya:
a. Perkembangan
bahasa terlambat. Dalam tahun pertama kehidupannya, anak tunarungu mengeluarkan
bunyi-bunyian tidak berbeda dengan anak normal. Memasuki usia 12-18 bulan, anak
normal mulai menggunakan kata-kata pertama sementara anak tunarungu belum
menampakkan kemampuan membunyikan kata-kata yang terarah. Pada usia 2 tahun
jika seorang anak masih juga belum memperlihatkan kemampuan berbicara, patut
dicurigai ia mengalami gangguan pendengaran dan tentunya dibutuhkan serangkaian
diagnosis klinis untuk lebih memastikan.
b. Memperdengarkan
suara terlalu lembut ataupun keras tanpa ia menyadari.
c. Berulang
kali menanyakan sesuatu yang baru saja disampaikan, lambat bereaksi terhadap
suatu instruksi karena tidak menangkap pesan secara utuh, salah
menginterpretasikan atau sering meminta seseorang mengulangi perkataannya.
d. Sulit
mengulangi suara, kata-kata, lagu, irama, atau mengingat nama.
e. Bingung
membedakan kata yang bunyinya hampir sama atau membuat kesalahan dalam
pelafalan kata-kata (seperti menghilangkan konsonan di akhir kata).
f. Konsentrasi
berlebihan terhadap wajah dan gerak mulut pembicara.
g. Mengalami
keluhan fisik seperti merasa ada suara bising di telinga, nyeri di telinga,
merasa ada benda di dalam telinga, mendengar dengungan, sering demam dan
mengalami infeksi seputar telinga hidung tenggorokan.
Berbagai macam penyebab
ketunarunguan dibagi dalam empat hal besar yaitu: trauma, penyakit, herditer,
dan kelainan genetik. Trauma misalkan akibat tusukan benda tajam kedalam
telinga atau benturan di kepala yang merusak syaraf pendengaran. Penyakit
seperti virus rubella dalam masa kehamilan dan sifilis kongenital.
3. Tunagrahita
Tunagrahita adalah
individu yang memiliki tingakat intelegensia. Istilah seperti cacat mental,
bodoh, dungu, pandir, lemah pikiran adalah sebutan yang terlebih dulu dikenal
sebelum tunagrahita. Grahita sendiri artinya adalah pikiran dan tuna adalah
kerugian. Klasifikasi tunagrahita berdasarkan :
a. Tunagrahita
ringan (IQ : 51-70)
b. Tunagrahita
sedang ( IQ : 36-51)
c. Tunagrahita
berat ( IQ : 20-35)
d. Tunagrahita
sangat berat ( IQ dibawah 20 )
Penyebab seorang anak
menjadi tunagrahita begitu beragam, mulai dari infeksi, trauma fisik, kelainan
genetik, kelainan prematur dan lain sebagainya. Secara garis besar terjadinya
tunagrahita adalah bersumber dari luar, seperti paparan sinar X-Rays, pengaruh
zat-zat yang bersifat toxic kerusakan
otak saat lahir atau terjangkit virus penyakit dan bersumber dari dalam,
sepeerti abnormalitas pembentukan kromosom.
Kita masih sering
menyamakan tunagrahita dengan down syndrome. Yang benar adalah down syndrome
merupakan salah satu bentuk retardasi mental yang menunjukan keterbatasan
signifikan dalam fungsi intelektual maupun adaptif. mitos-mitos lain mengenai
tunagrahita yang semestinya mulai ditepiskan adalah:
a. Terbatasan
intelektual tunagrahita tidak mentok tanpa perkembngan sepanjang hidupnya.
Dengan latihan, motivasi dan pendidikan khusus, tunagrahita terutama yang hanya
ringan sampai sedang perkembangan kemampuan mereka dapat meningkat secara baik
dalam bidang apapun yang memungkinan bagi meraka.
b. Tunagrahita
bisa dideteksi sejak dari bayi. Ini lebih cocok berlaku bagi penyandang down
syndrome yang sejak lahir memiliki tampilan fisik berbeda atau sewaktu masih
janin didalam rahim dapat dilakukan test pendeteksi sendiri.
Secara statistik,
sindroma down adalah sumber gangguan yang terjadi sebesar 5-6 % dari total
kasus tunagrahita. Meski terhitung sedikit jika dilihat dari jumlah keseluruhan
kasus tunagrahita, down syndrome lebih menyita perhatian karena karaktersistik
fisiknya yang mudah dikenali. Seorang DS (down
syndrome) bisa memiliki beberapa atau semua ciri khas seperti dagu sangat
kecil, mata sipit dengan lipatan kulit di sudut dalam mata, kelemahan
otot-otot, hidung datar, garis telapak tangan hanya satu, lidah menonjol, wajah
sangat bulat dan ukuran kepala yang besar.
DS (down syndrome) dikenal
juga dengan istilah Trisomy 21 yakni terjadinya kelainan pada kromosom ke-21.
Penyimpangan tersebut tertangkap dalam penelitian oleh dr. Jerome Lejeune di
tahun 1959. Normalnya jumlah kromosom seorang manusia adalah 46 pasang, tetapi
seorang DS (down syndrome) memiliki
47 pasang kromosom.
Menurut Dra. Teti
Ichsan, M.Si, peneliti down syndrome,
salah satu dampak dari abnormalitas kromosom 21 pada anak yang memiliki DS
adalah keterbelakangan intelektual yang erat kaitannya dengan kemampuan
akademik, kecerdasan majemuk, memberikan ruang untuk dapat berkembangnya
berbagai unsur-unsur dari kecerdasan tersebut. Namun apabila mereka
difasilitasi, didorong, dan diberi kesempatan dalam mengembangkan kecerdasan
tersebut, tidak menutup kemungkinan mereka mampu mencapai optimalisasi sesuai
dengan kapasitas yang dimilikinya.
4. Autisme
Autisme yaitu penarikan
diri yang ekstrem dari lingkungan sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi,
serta tingkah laku yang terbatas dan berulang yang muncul sebelum usia 3 tahun.
Seorang autis berinteraksi dengan cara sangat
berbeda, jika gangguannya parah, ia benar-benar menunjukkan sikap tidak
tertarik pada orang lain. Gejala khas lain yang sering terdapat pada autis adalah
menghindar dari kontak mata dan kontak fisik. Membenci suara keras, bau
tertentu atau cahaya terlalu terang. Dalam interaksi sosial sehari-hari begitu
banyak pesan nonverbal saling ditukarkan dan pemaknaan secara abstrak pada
berbagai hal. Seorang autis tidak bisa memahami komponen komunikasi tersebut
diakibatkan terdapat semacam kegagalan neurobiologis dalam tubuh mereka. Lebih
mudah bagi mereka untuk mengerti sesuatu melalui gambar konkret dan memakai
asosiasi daripada berlogika.
Beberapa jenis ASD (Autism
Spectrum Disorder) yang paling umum dialami, yaitu:
a. Autisme.
Pengertian dan gejalanya telah dipaparkan di atas. Sebagai informasi tambahan,
gejala-gejala tersebut muncul sebelum usia 3 tahun dan prevelansinya 4 kali
lebih banyak menimpa anak laki-laki daripada perempuan.
b. Asperger Sindrom.
Ini juga lebih besar menimpa anak laki-laki daripada perempuan. Jika anda
melihat seseorang yang disebut autis tetapi ia tidak tampak kesulitan dalam
berbahasa dan berkomunikasi namun hanya sekedar terkesan canggung bergaul,
kikuk atau kasar/tak sopan, mungkin ia menyandang sindrom asperger. Rata-rata
nilai intelektual seorang asperger adalah normal bahkan tinggi, begitu juga
kemampuan verbalnya. Permasalahan utama asperger terletak pada gangguan dalam
memahami petunjuk sosial, oleh karena itu kerap mereka disalahmengertikan
sebagai individu yang tidak menghargai etika bersosial. Asperger dapat disebut
autis ringan namun tetap membutuhkan perlakuan dan pendidikan khusus agar di
masa dewasa ia bisa mengatasi hambatan dalam interaksi sosial dalam
lingkungannya.
c. Rett Sindrom.
Banyak dialami anak perempuan di usia 7-24 bulan. Sebelumnya anak mengalami
perkembangan normal, tetapi kemudian mengalami kemunduran yang mencakup
keterampilan motorik yang telah dikuasai, kemampuan berbahasa, gerakan
stereotipik seperti sedang mencuri tangan dan membahasi tangan dengan air liur,
hambatan mengunyah makanan.
d. Childhood Disintegrative Disorder.
Pada usia 2-10 tahun, anak berkembang normal sebelum mengalami kemunduran
signifikan pada keterampilan yang telah dikuasai daan terjadi gangguan pada
fungsi sosial, komunikasi serta perilaku. Pada beberapa kasus, penderitanya
terus mengalami kemunduruan hingga tiba di kondisi retardasi mental berat.
e. Pervasive Developmental Disorder
not Otherwise Specified (PDD-NOS), individu mengalami
gejala autisme setelah usia 3 tahun atau lebih.
Sebagian besar ilmuwan mengemukakan
pendapat terdapat faktor herediter penyebab autisme pada seseorang. Anak yang
didiagnosis autis apabila ditelusuri garis keturunannya, maka ada salah satu
anggota keluarga yang mengalami gangguan sejenis, meski tidak selalu sama-sama
autis. Peneliti lainnya memilih memperluas penyebab autisme adalah akibat
faktor lingkungan selama kehamilan. Apakah itu diakibatkan infeksi virus, bakteri
tertentu, kontaminasi udara atau kontak dengan zat kimia berbahaya seperti
pestisida.
Pada penyandang autisme, disebabkan
oleh suatu hal, beberapa sel dan koneksinya tidak berkembang baik bahkan
mengalami kerusakan. Gangguan koneksi ini terutama terjadi pada neuron-neuron
yang bertanggung jawab di are komunikasi, emosi dan kesadaran.
5. ADHD,
Gangguan Atensi dan Hiperaktif, Bukan Nakal Biasa
Attention
Defisit and Hyperactive Disorder. Gangguan Hiperaktif
dan Minimnya Rentang Perhatian. Attention
Defisit and Hyperactive Disorder merupakan kondisi kronis yang terus
berlangsung sampai seseorang dewasa. Yang menjadi gejala utamanya adalah
ketidakmampuan berkonsentrasi atau memperhatikan sebuah objek pada rentang
waktu minimal dan juga hiperaktivitas disertai impusifitas dalam perilaku
sehari-hari.
Seorang anak dicurigai
ADHD apabila tindakan-tindakan di atas terus berlangsung lebih dari 6 bulan,
bertindak demikian hampir di setiap lingkungan di mana ia berada, (banyak anak
yang tampak sering lepas kendali aktivitasnya bila di rumah tetapi menjadi
lebih pendiam jika di sekolah), tindakannya tersebut menimbulkan masalah
hubungan dengan anak lain atau juga dewasa dan masalah dalam tugas sekolah
serta kesehariannya.
Apabila discan, citra
otak seorang ADHD memang memiliki perbedaan cukup nyata dengan otak yang tidak
mengalami ADHD. Pada seorang yang didiagnosis ADHD terdapat tanda kurang
aktifnya area otak yang mengontrol tingkat aktivitas dan perhatian.
6. Tunadaksa
Tuna berarti kerugian
atau tidak punya. Daksa adalah anggota tubuh. Tunadaksa adalah individu yang
memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh beragam hal seperti di antaranya
kelainan neuromuskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit seperti
infeksi di masa kehamilan, plasenta yang tidak mencukupi (darah janin dan ibu
tidak kompatibel), kelahiran prematur, cerebral palsy. Trauma fisik, penyakit
kronis serta faktor-faktor terkait lainnya yang dapat membahayakan setelah
kelahiran.
Tingkat
gangguan pada tunadaksa adalah :
a.
Ringan, yaitu memiliki keterbatasan
dalam melakukan aktivitas fisik, tetapi masih dapat ditingkatkan melalui
terapi.
b.
Sedang, yaitu memiliki keterbatasan
motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik.
c.
Berat, yaitu memiliki keterbatasan total
dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
7. Tunalaras
Pernah disebut sebagai
emotionally disturbed, tetapi lalu dinilai kurang pas dan diubah jadi seriously
behavioral disabled, ini pun lalu dipersingkat menjadi behavioral disabled
saja. Belakangan dilakukan penggabungan menjadi emotional or behavioral
disorder.
Karakteristik sosial
dan emosional anak dengan gangguan emosional tingkah laku adalah :
a.
Tingkah laku yang tidak terarah (tidak
patuh, perkelahian, perusakan, pengucapan kata-kata kotor dan tidak senonoh,
senang memerintah, kurang ajar).
b.
Gangguan kepribadian (merasa rendah
diri, cemas, pemalu, depresi, kesedihan yang mendalam, menarik diri dari
pergaulan).
c.
Tidak matang dalam sikap, cepat bingung,
perhatian terbatas, senang melamun, berkhayal, senang bergaul dengan yang lebih
muda.
d.
Pelanggaran sosial (terlibat dalam
aktivitas ‘geng’, mencuri, membolos, begadang).
Tunalaras
karena gangguan emosional atau tingkah laku terdiri dari faktor-faktor gangguan
biologis, hubungan keluarga yang tidak sehat, serta faktor eksternal seperti
pengalaman di sekolah yang tidak diharapkan dan pengaruh masyarakat yang buruk.
8. Tunawicara
Tunawicara adalah
kondisi khusus yang justru laku dijual sebagai komoditas hiburan. Setiap
gangguan bicara yang dialami seseorang daan berpotensi menghambat komunikasi
verbal yang efektif disebut tunawicara.
Gangguan bicara dapat
muncul dalam berbagai bentuk. Terlambat bicara, artikulasi yang aneh dan tidak
sesuai, gagap, tidak mampu menggunakan kata-kata yang tepat sesuai konteks,
penggunaan bahasa yang aneh atau sedikit sekali bicara. Dalam bahasa ilmiahnya
disebut Expressive Aphasia atau severe languange delay.
Karakteristik khusus
pada anak tunawicara :
a.
Terjadi pada anak-anak yang lahir
prematur.
b.
Kemungkinannya empat kali lipat pada
anak yang belum berjalan pada usia 18 bulan.
c.
Belum bisa berbicara dalam bentuk
kalimat pada usia dua tahun.
d.
Memiliki gangguan penglihatan.
e.
Sering dikategorikan sebagai anak yang
kikuk oleh gurunya.
f.
Dari segi perilaku kurang bisa
menyesuaikan diri.
g.
Sulit membaca.
h.
Banyak terjadi pada anak laki-laki
daripada perempuan.
9. Tunaganda
Seseorang yang memiliki
kerusakan, kekhususan dan ketidakmampuan dalam beberapa hal sekaligus. Penyebab
seseorang menjadi tunaganda dapat disebabkan trauma pada otak, luka waktu lahir
(kelahiran sukar), hydrocephalus, penyakit infeksi, misalnya TBC, cacar,
meningitis, dan faktor keturunan antara lain kerusakan pada benih plasma, dan
hasil perkawinan dari ayah dan ibu yang rendah intelegensi dapat diturunkan
pada anak.
10. Kesulitan
Belajar
Anak-anak berkebutuhan
khusus yang termasuk dalam kategori ini sebenarnya tidak mengalami permasalahan
dengan daya inteligensia hanya saja diperlukan strategi belajar tersendiri yang
dapat mengakomodir potensi mereka yang terhambat karena gangguan-gangguan
motorik, persepsi- motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah
dan ruang serta keterlambatan konsep.
Mereka memiliki
gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup
pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang disebabkan karena
gangguan persepsi seperti dyslexia (gangguan bahasa), discalculia (gangguan
matematika) dan dysgraphia (gangguan menulis).
Penyebab kesulitan
belajar terbagi dalam beberapa bagian antara lain disfungsi minimal otak, tidak
adanya dominasi lateralitas, adanya penyimpangan visual, adanya perkembangan
yang tidak normal, penyimpangan psikologos, adanya penyebab yang bersifat
genetik, pengaruh/kesalahan dalam cara mengajar dan deprivasi dalam proses
berpikir.
11. Anak-anak
Berkebutuhan Khusus Lainnya
Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 pasal 3, ayat 4, bahwa “warga negara yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus.” Gifted Children, atau dikenal juga sebagai anak-anak berbakat.
Karakter yang biasa melekat pada seorang anak berbakat diantaranya adalah:
sangat observatif, memiliki memori sangat baik, rasa ingin tahu yang besar,
rentang perhatian panjang, tanggung jawab terhadap tugas, pembelajar cepat,
mampu memahami dan menjelaskan hal abstrak dan konseptual, pemecah masalah yang
andal, imajinasi kuat yang diwujudkan dalam kekreativitasan di atas rata-rata.
Selain anak-anak
“genius” adalah bagian dari warga negara yang berkebutuhan khusu ternyata warga
negara yang terbelakang, berada di daerah terpencil dimasukkan juga ke dalam
kategori berkebutuhan khusus.
2.3
Penanganan Anak Special Needs dalam Sejarah
Pada zaman
permulaan masehi, anak-anak yang terlahir dengan keadaan berkelainan fisik
biasanya diperlakukan secara tidak manusiawi karena dianggap sebagai kutukan.
Anak-anak dengan kelainan mental tersebut dianggap kerasukan roh jahat sehingga
harus dikurung. Autisme sebenarnya telah ada sepanjang sejarah hidup manusia,
namun pada zaman tersebut autisme disamakan dengan ketidakwarasan atau penyakit
mental yang disebabkan oleh hal-hal mistis. Tak jarang, penyandang yang
seharusnya mendapatkan perhatian malah mendapat hukuman karena orang pada masa
itu takut pada pengaruh sihir jahat.
Dalam perkembangan dunia modern pun, penyebab autisme sempat ditundingkan
kepada ibu yang melahirkan. Refrigerator
Mother atau ibu dengan sifat dinginlah yang menolak untuk memberi
kehangatan serta kasih sayang dan telah menyebabkan bayinya tumbuh besar
menjadi anak autis.
Seiring
peradaban barat yang mulai keluar dari zaman kegelapan, perlakuan kepada
anak-anak cacat pun mulai mengalami perbaikan. Alat dan teknologi penunjang kegiatan
anak-anak berkebutuhan khusus mulai dikembangkan menjadi lebih mumpuni. Hasil
penelitian dipublikasikan, diterapkan dimasyarakat,diteliti ulang oleh ilmuwan
lain lalu dikoreksi atau disempurnakan. Dalam perkembangannya, sistem
baca-tulis, notasi musik serta matematika Braille
ditemukan oleh seorang tunanetra berusia 12 tahun bernama Louise Braille.
Sistem tersebut ia adopsi dari trik bertukar pesan rahasia di kalangan prajurit
saat berada di medan perang. Juan Pablo Bonet dianggap pioner modern yang
menerapkan terapi bicara, fonetik dan terapi oral kepada anak yang tunarungu
dengan menambahkan bentuk petunjuk dasar alfabet ke dalam isyarat yang sudah
ada. Umumnya bahasa isyarat terkomposisi dengan gabungan gesture,mimik,isyarat
tangan dan ejaan dengan memakai jari. Cara bahasa isyarat bekerja ialah dengan
mempresentasikan keseluruhan ide dan bukan kata tunggal.
Di abad ke-18,
Jean Marc Gaspard Itard, seorang dokter Perancis yang mengepalai sebuah
institusi nasional bisu-tuli, dinilai sebagai tokoh yang memulai pengembangan
metode pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, Itard merumuskan konsep
pendidikan pedagogi setelah melakukan observasi dan penelitian terhadap bocah
serigala Victor of Aveyron, yang
kisahnya melegenda dan menginspirasi pembuatan film-film modern tentang manusia
yang sejak kecil hidup tanpa manusia lain di hutan rimba.
Maria Montessori
adalah salah satu murid Itard. Ia mengembangkan sistem pendidikan berbasis
karakter yang hingga detik ini masih digunakan di Sekolah di berbagai belahan
dunia. Secara garis besar sistem Montessori ini menghargai dan menilai setiap
anak sebagai individu unik yang memiliki potensi masing-masing dan tidak dapat
disamakan satu dengan yang lain. Dalam sistem Montessori ditekankan
pengembangan keterampilan sosial dan emosional sebagai pendamping skill
intelektual.
Melengkapi
kontribusi sistem pendidikan khusus ke arah yang lebih menjanjikan, kita bisa
sebut juga sumbangan Alfred Binet, seorang Psikolog Perancis yang telah
mengembangkan bentuk tes intelegensia di permulaan tahun 1990. Tes Binet sampai
sekarang dipergunakan untuk mengukur standar intelektual seseorang mulai
rentang usia 2-23 tahun. Tes ini menunjukan apakah seseorang mengalami hambatan
intelegensia dan dikategoriakan berkebutuhan khusus.
2.4
Pendidikan Anak Special Needs
1.
Pendidikan Khusus
Mulai
dari Hellen Keller, tunaganda yang menjelma menjadi seorang aktivis politik dan
dosen. Temple Gadin, doktor di bidang sains hewan yang autis, Stephen Hawking,
ahli fisika dan ahli matematika tunadaksa atau juga Charles Burke aktor
televisi, penyanyi yang down syndrome, kata kunci yang
menghantarkan mereka menjadi tokoh-tokoh berprestasi skala internasional adalah
: pendidikan dengan pendekatan khusus yang tepat dan diberikan dengan
kesungguhan. Tidak hanya peran lembaga pendidikan yang menonjol, tetapi jangan
lupakan orang-orang yang berada di lingkungan utama mereka. Orang tua,
keluarga, tutor, pembimbing, guru dan semacamnya.
Sebelum negara
Amerika Serikat mengesahkan UU pemerintah yang menetapkan dan menjamin hak
semua anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan, terjadi banyak
kasus diajukan ke pengadilan oleh para orang tua yang berpendapat anak-anak
mereka yang berkebutuhan khusus untuk tidak diberi kesempatan setara memperoleh
pendidikan. Padahal di masa pemerintahan Kennedy, dilanjutkan oleh Johnson
telah dirumuskan dasar-dasar untuk memberi akses kepada anak-anak berkebutuhan
spesial memperoleh pendidikan di lembaga pendidikan umum.
Pendidikan
khusus di Indonesia pun telah berlandaskan yuridisme pada tahun 2003. Di dalam
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional dimuat pasal-pasal dan ayat-ayat yang
menspesifikasikan warga yang berhak mendapatkan pendidikan khusus. Tercantum
pada UU tersebut warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa. Tak ketinggalan pula dalam salah satu ayat disebutkan warga negara
yang tinggal di daerah terpencil, terbelakang, mengalami bencana alam, bencana
sosial dan tidak mampu secara ekonomi termasuk berhak atas pendidikan khusus.
2.
Sekolah Luar Biasa Solusi Pertama
Sekolah Luar
Biasa adalah sekolah yang hanya menerima siswa berkebutuhan khusus dalam
beragam kondisi. Ada juga sekolah Pedagog yang pada prinsipnya sama dengan SLB,
menerima murid-murid hanya yang berkategori berkebutuhan khusus. Pendidikan
luar biasa tersebut tidak total berbeda dengan pendidikan bagi anak-anak normal
pada umumnya. Hanya saja dalam pendidikan khusus terdapat penambahan program
pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan murid-muridnya yang spesial.
Sementara kurikulumnya sendiri secara garis besar merujuk kepada kurikulum
nasional.
Keberadaan SLB
merupakan solusi pertama bagi pemenuhan seluruh warga negara berkebutuhan
khusus dalam mendapatkan keterampilan primer. Seorang tunanetra atau tunarungu tidak
bisa serta merta didaftarkan masuk kesekolah biasa jika sebelumnya ia belum
mendapat pelajaran baca tulis Braille atau teknik membaca bibir. Sekolah Luar
Biasa adalah jawaban atas kebutuhan utama pendidikan lanjutannya. Pelayanan
yang disediakan di SLB umumnya terdiri dari pelayanan medis, psikologis dan
sosial. Karena itu di SLB senantiasa melibatkan tenaga dokter, psikolog dan
pekerja sosial dan ahli pendidikan luar biasa
sebagai sebuah tim kerja.
SLB
dibagi menjadi tujuh berdasarkan kondisi ketunaan, yakni :
a.
SLB A untuk tunanetra
b.
SLB B untuk tunarungu
c.
SLB C untuk tunagrahita yang mampu didik
dan C1 untuk tunagrahita yang hanya mampu latih.
d.
SLB D untuk tunadaksa dengan
intelegensia normal. D1 untuk tunadaksa yang juga mengalami retardasi mental.
e.
SLB E untuk tunalaras.
f.
SLB F untuk autis.
Selain dimasukan
ke Sekolah Luar Biasa, terdapat berbagai macam pilihan bagi anak berkebutuhan
khusus mampu dididik untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan.
a. Mainstreaming atau
pendidikan terpadu. Anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah ke SD tertentu bersama
anak-anak pada umumnya.
b. Kelas
khusus penuh atau paruh waktu. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah
ke SD umum. Pada model paruh waktu maka mereka bergabung dengan anak –anak
lain. Sedangkan model penuh berarti anak-anak berkebutuhan khusus disediakan
kelas tersendiri di sebuah SD umum.
c. Guru
kunjung. Anak-anak berkebutuhan khusus yang domisilinya satu area dikumpulkan
dalam satu kelompok belajar secara teratur guru Pendidikan Luar Biasa datang
mengadakan kegiatan belajar mengajar di tempat.
d. Kejar
paket A dan B. Sama dengan sistem Guru Kunjung terapi materi belajar yang
diberikan terpusat pada paket A dan B. Pemerintah menerapkan model ini dengan
misi memberantas tuna aksara.
e. Asrama
atau Panti. Berbagai jenis anak berkebutuhan khusus diasramakan secara
insidental dengan penanggung biaya adalah Pemda setempat.
f. Workshop.
Mirip dengan mode asrama, hanya saja belajar mengajar diarahkan ke latihan
prevocational, terutama dibidang pekerjaan. Diperlukan kerja sama juga antara
Diknas, Depsos, dan Depnaker.
3. Wadah
Anak Special Needs
Juara-juara
di SLB Kemala Bhayangkari I Trenggalek. Berbincang dengan Kepala Seolah SLB Kemala Bhayangkari
1 Trenggalek menyiratkan bahwa Pardiono,S.Pd yang sudah bertugas selama 24
tahun ini memang seolah
menyatu dengan anak-anak didiknya. SLB Trenggalek didirikan 38 yahun lalu
dengan jumlah 17 siswa yang terdiri dar tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita
serta 5 orang guru. Kini jumlah siswa telah bertambah menjadi 187.
Sekolah ini sangat
mengedepankan kegiatan keterampilan para siswanya. Bagi anak tunanetra : masase
dan kerajinan tangan. Anak tunarungu : potong rambut, menjahit, dan bengkel.
Anak tunagrahita : tataboga, budidaya ikan, dan budidaya bunga. Anak tunadaksa
dilatih berternak kambing.
Pramuka
menjadi salah satu kegiatan ekstrakulikuler yang dapat dikuti oleh berbagai jenis kekhususan. Selain itu masih
banyak kegiatan lain yang dapat diikuti siswa sesuai dengan tingkat kekhususan
dan kemampuannya. Misalnya saja anak tunarungu belajar seni pantomim dan seni
tari. Anak tunagrahita belajar seni tari, deklamasi dan
membaca puisi. Anak tunanetra yang menurut Pardiono lebih peka
terhadap rangsangan pendengaran, maka dilatih untuk belajar seni music dan seni
suara. Keterampilan serupa juga diberikan juga di jenjang
Sekolah Menengah Atas (SMA) Luar Biasa, yang didirikan tahun 2010 dengan jumlah
siswa 26. Dengan perkembangan teknologi dan komunikasi proses belajar mengajar
telah difasilitasi dengan laptop, computer, LCD projector, papan tulis interaktif dan jaringan internet.
4. Terpadu dan Berbaur di Sekolah Inklusif
SLB dan sejenisnya merupakan jawaban mengenai
pertanyaan dimana dan bagaimanakah anak-anak khusus memperoleh “amunisi” berupa
keterampilan hidup dasar agar mereka bisa mandiri, tetap mempu berkarya, selarasa
dengan lingkungan sosialnya serta potensi kemanusiaannya tidak tersia-siakan.
Namun dalam kerangka persepsi masyarakat tumbuh sebuah cap yang ditempelkan
kepada SLB sebagai tempat beroleh pendidikan bagi kalangan “asing”.
Dalam arti kata asing dalam
keseharian, pengalaman dan juga empati.
Tidak ada yang salah dengan
sekolah-sekolah luar biasa yang khusus menerima anak-anak special needs saja.
Harus disadari pada diri anak-anak itu terdapat urgensi agar mereka sesegera
mungkin dilatih fasih menguasai keterampilan hidup dasar yang tidak mungkin
diperoleh di sekolah-sekolah umum. Namun sengaja memisahkan dan membeda-bedakan
sekolah bagi anak-anak khusus untuk seterusnya, adalah tindakan yang berlawanan
dengan pandangan hidup yang berlaku universal bahwa semua orang terlahir ke
dunia dengan hak-hak yang sama. Kita belajar dan terbiasa tepo saliro
mengatasi perbedaan yang hakiki antara
manusia seperti suku, ras, agama, dan lain-lain.
Ada juga anggapan bahwa pemisahan anak-anak berkebutuhan khusus
ada baiknya hanya dalam rangka pembelajaran (instruction) dan bukan dalam
tujuan pendidikan. Jika secara mental dan fisik anak special need tidak
membahayakan orang lain juga dirinya sendiri, alangkah lebih tepatnya apabila
mereka diintegrasikan dalam sebuah wadah pendidikan yang sama. Menyatukan anak
special needs dengan anak-anak pada umumnya adalah sarana bagi mereka untuk
saling belajar hidup dengan cara yang lebih positif.
5. Pendidikan Inklusif
Menurut Johnen dan Skjorten (2003), pendidikan
inklusif adalah system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak
berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama-sama
teman seusianya.Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah
sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap
anak. Artinya dalam pendidikan inklusif tersedia sumber
belajar yang beragam dan mendapat dukungan dari semua pihak, meliputi para
siswa, guru, orang tua dan masyarakat sekitarnya.
Hal ini dilandasi oleh
kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan
yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Dengan kata lain, pendidikan inklusif merupakan pendidikan terpadu yang diharapkan dapat mengakomodasi pendidikan bagi semua, terutama anak-anak yang memiliki
kebutuhan khusus yang selama ini masih banyak yang belum terpenuhi haknya untuk
memperoleh pendidikan seperti anak-anak normal. Menggabungkan murid berlatarkan
kemampuan fisik dan mental yang jelas berbeda, sekolah inklusif tentunya tidak
bisa menentukan naik kelas atau tidaknya seorang murid berdasarkan penilaian
terhadap penguasaan atas kurikulum umum.
Konsekuensinya sebuah
sekolah inklusif harus memodifikasi aspek-aspek penilaian terhadap seorang
murid menjadi lebih terbuka dan benar –benar disesuaikan dengan kondisi anak,
guru mata pelajaran dan guru pendidikan khusus.
Guru yang bukan lulusan PLB
pun harus memiliki pengetahuan dasar tentang pendidikan luar biasa.
6. Kabupaten atau Kota Pelopor Pendidikan Inklusif
Direktur pembinaan pendidikan khusus dan layanan
khusus pendidikan dasar kementrian dan kebudayaan (PKLK), DR.Mudjito menyatakan
bahwa anak-anak berkebutuhan khusus harus mendapatkan pendidikan secara khusus
pula. Dia mengacu pada UU Sistem Pendidikan Nasional dan UUD 1945 bahwa setiap
warga Negara termasuk anak-anak berkebutuhan khusus/disabilitas berhak atas
pendidikan yang sama. Untuk itu pemerintah sampai saat ini telah menyediakan
sekiotar 1700 an sekolah luar biasa (SLB). Komitmennya pada pendidikan
anak-anak disabilitas direalisasikannya dengan mengirim para stafnya untuk
“magang” selama tiga bulan di SLB-SLB agar lebih mendalami dan memahami
kebutuhan anak-anak tsb, walaupun hal itu terkadang menyebabkan ia diprotes anak buahnya yang tidak
setuju dengan kegiatan tersebut.
Melalui Direktorat PKLK Dikdas, Kemendikbud melakukan
dua pendekatan. Pertama, bagi anak –anak yang merasa cocok dan nyaman di SLB,
yang mana saja tercatat 85 ribu siswa, tetap mendapat pendidikan di SLB. Kedua,
116 ribu siswa disabilitas saat ini bisa tertampung di 30 ribu sekolah inklusif
ini akan terus diperluas dengan pendekatan berbasis kabupaten/kota, sementara
20 pemda lainnya sudah menyatakan keinginan untuk bergabung. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi pemda
untuk turut dalam program tersebut, yakni : ada regulasi bupati/walikota,
membentuk kelompok kerja lintas sektoral dan menyediakan dana pendamping. Untuk
program yang berkenaan dengan kebutuhan sekolah –sekolah inklusif terhadap
tenaga guru pendamping khusus (GPK) yang saat ini jumlahnya belum mencukupi, Kemendikbud
menempuh langkah kerja sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan pelatihan
selama dua semester bagi para guru. Pelatihan tersebut saat ini baru
dilaksanakan di UPI dan UNISA karena kedua universitas tersebut telah memiliki
program S1 san S2 di bidang GPK.
7. Mengenal Lebih Dekat Wajah Sekolah Inklusif
a. SDHT, Tak Sengaja Menjadi Inklusif
Sekolah
Dasar Hikmah Teladan bisa disebut sebagai pionir SD Inklusif di wilayah bandung
dan sekitarnya. Pada awalnya, SD ini memiliki prinsip bahwa mereka menerima
semua murid yang mendaftar masuk tanpa terkecuali.
Syaratnya hanya menggunakan
tekhnik “siapa cepat dia dapat”.Dengan sendirinya karena memberlakukan aturan
yang demikian, banyak orang tua yang kesulitan untuk mencari sekolah untuk anak-anaknya
yang special akhirnya menjatuhkan pilihan kepada SD tersebut.
Pada tahun 2002 SD tersebut
resmi berjalan sebagai sebuah sekolah dasar dengan system yang terbilang sangat
unik pada masa itu. Dimana skeolah tersebut
menyatukan kenyamanan bersosialisasi dan interaksi antara seluruh
penghuni sekolah, yang berarti tidak hanya sesama murid tetapi juga tenaga pengajar dan para pengurus.
Setiap murid dapat naik kelas melalui standar kelayakan masing-masing individu
yang tidak dengan kaku berpatokan pada kemampuan akademis.
b. Sekolah Alam Bogor, Bertrade Mark Pembebasan
Pada
awalnya sekolah ini hanyalah tempat mangkal untuk anak-anak jalanan yang pada
awalnya dicoba dihimpun agar mereka memiliki kegiatan yang positif lewat
pembelajaran keterampilan, baca tulis serta aktivitas lainnya.
Pada tahun 1999, Agus yang
merupakan seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama beberapa
temannya membentuk sebuah yayasan yang kegiatannya tersebar di tiga tempat
masing-masing dengan menghimpun 60,30, dan 50 anak jalanan. Pendanaan kegiatan
tersebut ia peroleh dari para donator dan Dinas Pendidikan. Kemudian pada tahun
2002 ia bertemu dengan orang yang menawarkan kerja sama yang pada awalnya dalam
bentuk program pesantren kilat di Lembah Parigi yang kemudian berkembang
menjadi Taman Kanak-Kanak Alam Lembah Pagi.
Sekolah
ini terus berkembang hingga pada akhirnya pada tahun 2004 menerima anak-anak
disabilitas, antara lain autis, hiperaktif,down syndrome yang digabung dengan
anak-anak semacamkelas percobaan yang bertempat tinggal di Cimahpar, akhirnya
terus berkembang menjadi areal sekolah alam Bogor.
c. SDN Putraco, Jumlah murid Special Lebih Banyak
Sekolah
ini memiliki enam puluh persen murid berkebutuhan khusus dan empat puluh persen
dengan murid regular.Dede Suryana yang merupakan salah satu guru dan pengurus
administrasi sekolah tersebut yakin bahwa perbandingan tersebut masih terbilang
ideal bagi sekolah inklusif.
Ia juga menjelaskan dalam
satu kelas terdiri dari 25-30 siswa, dengan murid special mencapai 10-12 siswa
yang dibimbing oleh dua orang guru serta helper
yang biasanya dibawa oleh orang tua dari murid khusus tersebut. Pada
permulaan saat seklah tersebut ditunjuk sebagai sekolah inklusif oleh
pemerintah pada tahun 2002-2003, jumlah ABK tidak sebanyak saat ini. Hal ini
terjadi bukan karena banyaknya pendaftar yang mendaftarkan diri di sekolah
tersebut namun karena ABK limpahan dari
sekolah lain.
Hampir
semua siswa special di Putraco berasal dari keluar dengan tingkat ekonomi
menengah keatas. Sementara murid regulernya berlatar keluarga dari
tingkat ekonomi ke bawah. Misi Putraco ialah memprioritaskan anak-anak dari
keluarga pra-sejahtera, dengan tambahan murid-murid dari ekonomi tidak mampu
dijamin bebas biaya sepenuhnya.
8. Semarak Warna di Balik Gerbang Sekolah Dasar Inklusif
Dengan berbagai macam alasan, masih banyak orang tua
yang tak tergerak atau enggan apabaila anak mereka berdampingan dengan
anak-anak special needs dalam kegiatan bersekolah sehari-hari. Seorang pengurus
sekolah pernah bercerita dimana pada saat orang tua murid (pendaftar)
diberitahu bahwa ada beberapa anak special needs yang turut menjadi bagian
dalam kelas yang juga akan diisi oleh anak mereka pada akhirnya mengundurkan
diri atau mengurungkan niatnya untuk mendaftar di sekolah tersebut. Sebenarnya,
setiap orang tua berhak memiliki pertimbangan masing-masing saat memilih
sekolah terbaik bagi putra-putrinya. Termasuk orang tua yang tanpa keraguan sedikitpun
mendaftarkan anaknya bersekolah di Sekolah Inklusif.
Itu bisa jadi sebuah
pembelajaran untuk memperkenalkan dan menerima perbedaan antara manusia. Dengan
penyatuan anak-anak regular dengan anak-anak special needs secara alami mereka akan bergaul satu sama lain,
melebur karena adanya kebiasaan.
9. Orang Tua dan Keluarga Inti, Garda Pertama Pendidikan
Special Needs
Tentu saja kebanyakan orang tua mengharapkan bahwa
keturunan yang lahir akan sempurna dan tidak kekurangan sesuatu apapun. Tetapi
kita juga tidak boleh lupa bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup
kita tidak akan selalu sama persisi dengan apa yang kita harapkan. Seperti
halnya orang tua yang memiliki anak-anak special needs.
Reaksi mereka saat
mengetahui bahwa anak-anaknya ternyata “berbeda” dari anak-anak pada umumnya
sungguh beragam.Sedih, frustasi ataupun berpasrah pada keyakinan bahwa ini
semua adalah takdir tuhan (reaksi positif atau negative).
Idelanya diharapkan bahwa
orang tua mampu bersikap positif menerima keadaan anaknya yang khusus.
Juga bukanlah suatu
kesalahan atau kelemahan apabila pada mulanya orang tua bersangkutan mengalami
atau menunjukan reaksi-reaksi negative.
Agar orang tua bisa mencapai tahapan optimis yaitu
menerima lalu bertindak dengan efektif dan efisien bagi tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus,
dipengaruhi beberap hal. Seperti halnya seberapa kompleks dan parah tingkat
kekhususan anak, berapa banyak informasi akurat yang bisa orang tua peroleh
mengenai kondisi anaknya, bagaimana nilai-nilai yang dianut keluarga besar
ataupun kebudayaan yang melingkupi lingkungan tempat keluarga itu berada.
Mungkin sepasang orang tua dibesarkan di
dalam lingkungan yang mempercayai bahwa kelahiran seorang bayi “cacat”
merupakan karma dari dosa-dosa yang pernah dilakukan. Akibatnya kehadiran
generasi baru yang memiliki kekurangan tersebut menjadikan mereka terpuruk
dalam rasa bersalah dan malu. Lalu mereka memilih sedapat mungkin
menyembunyikan anaknya karena berasumsi masyarakat yang tahu akan berpandangan
negative.
Hal terakhir yang sama sekali tidak bisa dianggap enteng
adalah masalah keuangan. Semakin mantap perekonomian keluarga yang memiliki
anggota berkebutuhan khusus semakin mudah juga bagi mereka untuk mencapai
tahapan optimis dan menerima. Mengingat bahwa kondisi-kondisi khusus ini perlu
berbagai macam konsultasi kepada para ahli, mengikuti pemeriksaan,menggaji
asisten khusus yang membantu pengasuhan anak
serta melengkapi anak dengan sarana yang membantu kegiatan
sehari-harinya. Lepas dari materi, masih ada pengeluaran (cost) secara emosi
yang butuh diperhatikan dan diatur. Anak-anak yang terlahir tanpa kondisi khusus apapun
bertumbuh kembang sesuaid engan interaksi emosi terhadap orang tuanya setiap
saat, selama bertahun-tahun. Bila mana orang tuanya cerdas secara emosi, maka
dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan tumbuh besar dan tak jauh dari tipe
emosi mereka. Sementara tantangan yang dihadapi oleh orang tua ABK tentu lebih beragam. Orang tua terkadang menjadi sangat lelah dengan semua
kebutuhan dan ritual yang diperlukan bagi anak.
Orang tua juga terkadang
bisa merasa cemburu ketika mereka melihat anak-anak lain yang terlihat baik
secara keseluruhan. Ekspresi dan Kalimat bersimpati dari orang lain pun
tak bisa kita hiraukan. Karena hal tersebut
sangat rentan menjadi mispersepsi.
Agar tercapai kerja sama keluarga yang harmonis dan
efektif adalam mendampingi anak yang special, sudah barang tentu bukan hanya
ibu atau ayah saja yang selalu terlibat langsung dengan para ahli dan
“dipersenjatai” dengan informasi mengenai kondisi special si anak. Kakak, adik atau
anggota keluarga lain yang tinggal serumah dengan anak ‘tersebut’ mesti
terinformasikan dengan baik juga dan didorong untuk berinteraksi secara sehat
dengan saudara specialnya tersebut.
Fungsi orang tua dalam mendidik anak dengan kebutuhan
khusus tidak bisa dilepaskan dari factor-faktor instrinsik dan ekstrinsik yang dipengaruhi oleh karakteristik keluarga.
Seperti apa pola interaksi antar anggota keluarga tersebut, bagaimana budaya
dna nilai-nilai yang dianut dan mewarnai keseharian keluarga. Dukungan social
dari keluarga inti kini diakui oleh para ahli dapat memberi efek positif yang
besar bagi pendidikan anak special. Bermacam bantuan dari kerabat, rekan atau
kelompok social bisa diberikan kepada keluarga dengan anak special mulai dari
dukungan informasi,emosional dan juga materi. Jika orang tua tidak bisa
mengandalkan bantuan dari kerabat atau teman, masih terdapat kelompok social
lain yang bisa memberikan dukungan seperti halnya Parental Support Grup. Grup ini beranggotakan para orang tua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus sejenis. Dan jika orang tua terkendala waktu dan tempat untuk
melakukan komunikasi langsung dalam grup semacam itu, maka internet bisa
menjadi solusinya.Melalui mailing list,
newsgroup dan situs-situs tertentu.
2.5
Profil Anak Special Needs dan Orang
Tuanya
1.
Rasty yang “terbang” dari “sarangnya”
Rasty Purnama
(33 tahun) adalah penyandang tunadaksa dan selama 23 tahun “disembunyikan”
orang tuanya di Karawang, Jawa Barat. Ketika lahir kondisinya sehat dan tumbuh
normal. Namun, ketika usianya menginjak 4 tahun-an, Rasti sering sekali jatuh.
Saat Rasty terserang demam tinggi dan dilarikan ke puskesmas setempat, konon,
setelah dokter memberinya suntikan, Rasty tak bisa lagi berjalan bahkan untuk
bangun pun ia tak sanggup. Untuk seterusnya Rasty hanya tergolek di tempat
tidur.
Ia tidak pernah
bertemu dengan orang di luar rumah karena dianggap membawa aib dan memalukan
keluarga. Beruntung kakaknya sering membacakan buku cerita dan sedikit demi
sedikit Rasty mulai belajar mengeja tulisan dan menulis. Segala mimpi, harapan
dan keinginan untuk hidup normal dicurahkannya di sebuah buku dengan tulisannya
sendiri, meski dihadapkan pada keterbatasan bentuk jari yang tidak sempurna. Rasty
pun mencoba mengirimkan hasil karyanya di lomba penulisan puisi yang
diselenggarakan sebuah stasiun radio daerah. Ia meraih juara satu. Sejak itu ia
bertekad untuk terus menulis dan rutin mengirimkan hasil karyanya, hingga ia
pun menjadi sempat terkenal hingga liputan stasiun televisi. Namun itu tidak
berlangsung lama, karena orang tua Rasty
yang masih berwawasan sangat sederhana itu kurang suka anaknya didatangi banyak
orang.
Perasaan
tertekan kembali melanda Rasty, sampai-sampai dia mengaku hampir saja ingin
mengakhiri hidupnya dengan minum racun tikus, namun alam sadarnya masih
mengingatkan bahwa pilihan itu tidak menyelesaikan masalah. Suatu ketika, Rasty
dihadiahi sebuah telepon genggam oleh seseorang sehingga memudahkannya
berinteraksi dengan teman-teman di dunia maya dan media cetak. Hingga ia
bertemu dengan seorang anggota Komnas Perempuan dan seorang pimpinan sebuah
lembaga sosial di Jogja, berkat merekalah Rasty bisa sampai di tempat
tinggalnya sekarang, Wisma Tunaganda. Walaupun sempat ada pertentangan dari
keluarga yang tidak begitu saja mau menyerahkan Rasty, namun setelah diberikan
pengertian, akhirnya kedua orang tua Rasty memberikan lampu hijau untuk membawa
Rasty dan mereka sadar bahwa putri mereka berada di tempat yang tepat. Disana
Rasty selain meneruskan hobinya menulis, dia juga kembali menekuni kegemarannya
membuat aksesori seperti bros yang dijual kepada pengunjung panti. Rasty yang
tunadaksa mempunyai naluri seperti gadis lain. Ingin punya banyak kawan, ingin
dicintai, ingin tidak terlalu tergantung pada orang lain dan yang paling didambakannya,
“Ingin menjadi penulis terkenal”.
2. Ridzky Si
Tampan Penyandang Autis
Sebagai orang
tua anak special needs, Farhan,
presenter yang cukup terkenal di Indonesia ini meyakini ada 3 hal penting yang
sebaiknya dijadikan pegangan dalam mengarungi hidup bersama anak penderita
autis, yaitu: melakukan assessment (penilaian), terbuka kepada
lingkungan dan menetapkan sasaran/target terapi. Si sulung, Ridzky, buah hati
Farhan adalah penyandang autis. Lelaki berusia 14 tahun itu duduk di bangku
kelas VI di sebuah sekolah inklusif berkat kesabaran dan keuletan Farhan
bersama isterinya, Aryati dalam menjalani terapi, mengasuh, merawat dan
mendidik Ridzky.
Penilaian
terhadap anak-anak autis harus dilakukan agar orang tua realistis dan tidak
membohongi diri sendiri bahwa anaknya normal-normal saja. Jujurlah pada diri
sendiri bahwa si anak mempunyai kelainan dan berkebutuhan khusus, sehingga bisa
segera mencari peluang untuk mengatasinya. Agar orang tua yang bersangkutan
tidak kehilangan untuk mendapatkan informasi yang terus berkembang tentang
penyandang autis dan aspek-aspek terkait lainnya. Selain itu, anak autis atau berkebutuhan
khusus juga jangan disembunyikan, lakukan sesuatu agar keadaan si anak tidak
memburuk.
3. Muhammad
Bagja, Anak Down Syndrome yang Penuh Empati
Aneka rasa berkecamuk
di dada Teti Ichsan seorang sarjana Pendidikan jurusan Psikologi dan Bimbingan
dan mengambil gelar Magister Psikologi Kesehatan Universitas Indonesia serta
penulis-peneliti down syndrome ketika
anak keduanya, Muhammad Bagja Madani, didiagnosis sebagai down syndrome, di usia 4 bulan. Tidak heran muncul sikap
ambivalensi sebagai orang tua. Di satu sisi ia sangat mencintai dan ingin
melindungi, di sisi lain muncul perasaan sedih dan berduka. Awal dari sikap
penerimaan orang tua dapat terlihat ketika mereka mulai fokus memperhatikan
aspek-aspek tumbuh kembang anak mereka. Seperti perkembangan motorik kasar,
motorik halus, pemahaman bicara dan sosialisasi.
Aktivitas Bagja, meskipun
perkembangannya mengalami keterlambatan, Bagja juga beraktifitas seperti anak
lainnya. Selain itu, dia juga mengikuti terapi untuk mengoptimalkan tumbuh
kembangnya. Terapi yang diikuti Bagja antara lain:
a. Terapi
Okupasi: merupakan stimulasi yang bertujuan meningkatkan kemampuan fungisional
dan kemandirian fisik maupun mental melalui aktivitas bermain yang memiliki
tujuan/makna tertentu.
b. Terapi
wicara: merupakan stimulasi untuk meningkatkan kemampuan berbahasa verbal
dengan baik, melalui komunikasi dua arah, artikulasi, bahasa dan pengembangan
bicara suara dan irama.
c. Program
akustik: merupakan program yang bertujuan untuk menstimulasi kegiatan yang
lebih terarah dan bermakna, melalui latihan koordinasi auditori, visual,
kinestetik, ekspresi dan persepsi bunyi.
d. Pedagogi:
adalah etode pembelajaran untuk membantu meningkatkan kemampuan akademik dengan
memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses belajar.
e. Program
life skill: melatih anak-anak
berkebutuhan khusus agar memiliki keterampilan dasar. Dan juga menstimulasi
pengenalan konsep, pemahaman, kemandirian serta mengarahkan minat dan bakat
anak.
f. Berenang:
dapat mengembangkan aspek kognitif, afeksi dan psikomotorik. Hal ini dapat
bermanfaat dalam menumbuhkan keberanian, percaya diri, disiplin, kerja sama,
modofikasi peilaku dan emosi serta pengalaman relaksasi.
Kini di usia yang ke-13
Bagja dapat berlari kencang padahal dia lahir dengan tonus otot yang lemah.
Bagja dapat menonton film kesukaannya padahal dia terlahir dengan kondisi mata
minus 5. Selanjutnya Bagja dapat turut berjamaah di mushola padahal dulu dia
tidak dapat duduk dengan tenang sekalipun dalam hitungan detik. Dan yang paling
mengharukan, Bagja bisa membuatkan segelas teh manis kepada ibunya jika sedang
sibuk mengetik, memeluk orang tua dan kakaknya ketika lelah, betul-betul Bagja
penuh empati.
4. Michael
Anthony, Peraih Rekor Muri
Michael Antony (9)
ketika berusia 6,5 tahun pernah meraih rekor MURI sebagai: pianis tunanetra dan
autis termuda. Ibunya, Meta, bercakap dengan saya ketika mengisahkan awal mula
putranya diketahui berkubutuhan khusus. Michael baru berusia tiga bulan ketika
Meta membawanya spesialis mata. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa bayi
Meta yang lahir prematur ini menderita retinopathy
of prematury (ROP) stadium 4. Pengobatan bagi Michael dilanjutkan ke
Amerika Serikat untuk menjalani operasi mata dan hasilnya baik, lalu mereka
kembali ke tanah air. Enam bulan setelah di operasi, matanya diperiksa lagi,
ternyata retinanya tidak berkembangnya.
Sejak itu, perempuan
yang berprnti membawa profesi sebagai dokter gigi tersebut berhenti membawa
Michael berobat dan hanya fokus pada perkembangan yang ada. Paling-paling hanya
ke pengobatan alternatif dan ke seorang Romo. Suatu ketika Michael merasa
terganggu oleh piano yang dimainkan oleh kakaknya. Tetapi tanpa diduga, di sia
2 tahun, dia malah mendekati piano dan mulai menekan-nekan tutsnya. Barangkali
karena sering mendengar, tiba-tiba dia bisa meniru lagu yang biasa dibunyikan
oleh tukang es keliling. Sejak itu setiap hari Michael diajari main piano oleh
kakaknya. Meta juga mendaftarkan Michael les piano klasik. Terlihat sekali jika
Michael “kesemsem” pada piano.
Walaupun Michael pernah
menjadi juara 1 lomba piano untuk anak-anak autis dan juara 3 lomba piano untuk
umum, dia tidak mengerti apa itu arti juara. Menurut Meta kalau lomba, Michael
hanya tahu harus latihan lagu wajib berulang-ulang, tampil sebaik mungkin dan
tersenyum ketika mendengar tepuk tangan hadirin. Menangani anak seperti Michael
menurut Meta tidak susah asalkan sesuai dengan kemauan dia dan setiap rutinitas
terjadwal dengan baik. Misalnya pagi ke sekolah, siang terapi, sore les dan
seterusnya. Jika ada perubahan mendadak tanpa pemberitahuan pasti Michael
kesal. Sama seperti ribuan orang tua lain, Meta tentunya ingin punya anak
normal. Namun Meta enjoy, anak ada
jalannya sendiri-sendiri. Tidak perlu dipikirkan berkepanjangan. Karena ia
melihat ada perkembangan dalam diri Michael. Jadi jalani saja.
2.6 Dedikasi
Sosok di Belakang Anak Special Needs
Jika
ingin melihat senyum mengembang yang tak pernah lepas dari anak-anak speciaal needs , itu tak lepas dari
peran serta guru, terapis, care giver
serta para pendamping yang dengan ikhlas menuntun mereka ke arah kemandirin.
Berikut adalah sedikit perbincang-bincangan dengan mereka, yaitu:
1. Krustina,
Kepala Panti Sekaligus Ibu
Kristanti ingat betul
sewaktu datang ke panti tunaganda dengan niat sekedar mampir belaka. Kristanti
memiliki ijazah sebagai pelajar Sekolah Menengah Atas Pekerja Sosial di
Semarang, sehimgga tak asing dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Hal yang
mula-mula mengusik perhatian Kristanti justru adalah penampilan para penghuni
pengasuh panti yang di matanya “begitu-begitu” saja dan kurang menarik. Merasa
punya kebiasaan dalam hal merias, ia menahan gemas dan minta izin kepada kepala
panti saat itu untuk mengajari para pengasuh trik bermake up. Kegemasannya
merambat ke urusan potongan ala kadarnya rambut anak-anak panti, maka dengan
suka rela Kristanti menjadi semacam penata rambut disana.
Hati kecil “berbisik”
mengajak Kristanti bekerja sepenuhnya di panti. Namun idealisme atas materi
tersebut akhirnya runtuh juga, saat menyadari bahwa sambutan gembira selalu
diterimanyadari anak-anak panti setiap ia muncul. Tekadnya pun berseru, mengapa
mesti setengah-setengah jika bisa terjun total dalam jenis kebaikan yang
disukainya pula. Profesi care griver
yang memerlukan kesabaran tinggi dengan honor yang membuat kita bertanya-tanya
apakah itu cukup, tentunya manusiawi jika mereka dihinggapi rasa jenuh dan
kekesalan yang sewaktu-waktu dapat meledak. Menyikapi kondisi care giver yang sedang turun, Kristanti
selalu berupaya memberikan penyejuk dan pereda emosi.
2. Remaja-remaja
diajak berbagi
Dalam melakukan
kebaikan kepada sesama Kristanti berusaha tidak statis tetapi terus melakukan
pengembangan dan perbaikan. Kristanti tak percaya hukuman atau sanksi tegas
kepada siswa bermasalah bisa memberikan efek jera. Ia lebih condong pada metode
pendekatan secara kemanusiaan untuk memberikan efek membangunkan nurani. Remaja-remaja
peserta konseling diajak terlibat langsung dalam kegiatan merawat para
tunaganda di panti agar mereka benar-benar meresapi makna hidup adalah menjadi
bermanfaat bagi lingkungan dan sesama mereka.
3. Shilfi
“Jatuh Cinta” pada anak-anak SLB
Bagi Shilfiani Kaisi,
pengalaman paling berharga yang didapatnya ketika menjadi guru SLB C
(tunagrahita) adalah berhasil memotivasi anak-anak yang dibimbingnya menjadi
suka pergi ke sekolah, menumbuhkan rasa kasih sayang dan kepercayaan diri
mereka. Kecintaan kepada murid-muridnya akhirnya membuat dia menjalani
profesinya itu selam 2,5 tahun dan keluar dari sanahanya karena sarjana jurusan
administrasi negara ini ingin lebih mencurahkan perhatian pada pengasuhan
bayinya yang baru berusia 18 bulan. Tidak pernah terlintas sebelumnya dalam
benak Shilfi akan menjadi guru di sana. Pertama karena jurusan pendidikannya
bukan untuk itu, kedua karena dia tidak minat. Namun, ia suka bermain ke SLB
karena ayahnya kepala sekolah disana. Namun kemudian ia malah bertahan disana.
Suatu ketika ibunda
Shilfi meninggal dunia, mengakibatkan luka di hatinya, rasa kehilangan dan
kesedihan mendalam yang berkepanjangan. Melihat kesedihan ini, ajakan untuk
menjadi shadow teacher (guru
pendamping) malah datang dari teman-teman ayahnya. Salah satu dari alasan yang
mendorong dia untuk menerima tawaran menjadi shadow teacher adalah agar bisa terus mendampingi ayahnya yang
mulai kurang sehat akibat penyakit diabetesnya. Setelah beberapa bulan menjadi shadow teacher, Shilfi diangkat menjadi
guru tetap kelas yang harus mengajar semua mata pelajaran seperti yang diajarkan
di SD dan SMP reguler. Hanya saja untuk SLB Tunagrahita ada pelajaran lain yang
disebut binadiri agar anak-anak SD dan SMP itu bisa mandiri serta pelajaran
keterampilan bagi siswa-siswa SMA. Belajar menjadi guru berarti bagi Shilfi
harus terus membuka mata, banyak bertanya baik kepada guru lain, maupun kepada
para orang tua siswa sera membaca sebagai literatur.
Situasi tak biasa yang pernah dihadapinya sebagai guru SLB
adalah menenangkan anak-anak yang suka mengamuk. Pada beberapa siswa
tunagrahita, kondisi yang tidak nyaman dalam dirinya apakah itu datang dari
teman-temannya atau dari dirinya sendiri, bisa memicu kemarahan dan
dilampiaskan dengan mengamuk. Jadi kalau sudah terlihat gejalanya, muter-muter dan gelisah, anak-anak lain
diminta guru menjauh. Pengalaman tak terduga pada Shilfi saat pelajaran
olahraga, ia berusaha menahan dengan kuat agar kerudung tidak terlepas,
akibatnya lehernya keseleo. Mengajar anak-anak yang masih SD selama dua tahun
berturut-turut kerap melibatkan emosi. Bagaimana tidak, dua anak duduk
sebangku, tetapi mereka tidak bisa saling bicara dan saling kenal. Diam-diam
Shilfi menangis di kelas. “saya mencucurkan air mata ketika ibu meninggal dan
selalu berulang ketika terkenang almarhumah. Tetapi saya bisa membayangkan
berapa banyak air mata yang tertumpah dari mata para ibu yang anaknya
berkebutuhan khusus,” kata Shilfi terharu.
4. Pak
To Kesayangan Keluarga
Saya kenalkan seorang
“anak spesial”, tapi sudah berumur kepala 7. Bukan sekedar Pak To nya yang
penyandang tunagrahita dan sebatang kara, tapi, siapa di balik sosok sepuh
iniyang tidak pernah bersekolah, tidak mengenal siapapun kecuali lingkungan
terdekatnya hingga mampu “eksis” sampai usia 77 tahun? Siapa orang yang
mengasuhnya? Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa perhatian khusus bagi
penyandang disabilitas tidak hanya harus di panti-panti, tapi rumah yang
nyaman, kasih sayang dari orag-orang terdekat membuat mereka merasa
“diorangkan”. Adakah Tiwi Sidarto kakak sepupu Pak To yang membawanya ketika
dia ditinggal satu demi satu oleh ayah ibu, disusul saudara-saudara kandungnya
dan pernah dititipkan di sebuah panti yang situasinya sangat memprihatinkan.
Tiwi tidak menyekolahkan Pak To karena pada zaman itu belum ada sekolah-sekolah
khusus. Tiwi juga kurang paham apa sebenarnya yag diderita sepupunya itu.
Bicara kurang tertata, kemampuan berpikir lambat, tapi yang jelas Pak To
dilahirkan oleh seorang ibu yang sedang sakit dan sempat mengonsumsi obat di
masa kehamilan.
Meski tidak bersekolah,
tidak pernah diterapi khusus, keluarga besar Tiwi melimpahinya dengan kasih
sayang yang tulus serta kamar sendiri
tempat Pak To beristirahat dengan nyaman setelah nonton film kartun
kesukaannya. Perhatian kecil itu sudah membuat Pak To tertawa kegirangan dan
kembali nonton tayangan komedi di televisi. Sikap Tiwi yang penuh perhatian
tapi tegas, sedikit demi sedikit membawa dampak positif bagi mental Pak To,
diantaranya kebiasaan “ngompol” langsung berhenti akibat “ancaman halus” Tiwi.
Demikian juga “terapi” untuk membersihkan diri sendiri sehabis membuang hajat
besar, dipatuhi Pak To dengan benar.
Adapun Imam, seorang
asisten laki-laki yang tugasnya bersih-bersih rumah dan taman (yang kini
disekolahkan Tiwi untuk kuliah lagi) adalah pendamping setia Pak To. Imam
menemani tidur bahkan mengolesi tubuh Pak To dengan obat gosok apabila masuk
angin. Riang nian wajah pak To ketika saya menyapanya. Berulang kali dia
mengatakan tinggal di rumah mbak Tiwi yang baik hati, senang jalan di sekitar
kebun dan tak berani keluar rumah karena takut diculik.
2.7
Fakta, Dilema, dan Harapan
1. Aksebilitas
Kurang Memadai
Rina Prasarani seorang aktivis penyandang cacat yang juga
menjabat Sekjen World Blind Union, dan juga Sekjen Persatuan Tunanetra
Indonesia (Pertuni) mengingatkan sebetulnya Indonesia sudah meratifikasi
konvensi hak-hak penyandang disabilitas dalam menerima pendidikan yang bermutu
tingggi dan memperoleh pekerjaan yang bermartabat. Selama ini masyarakat belum
menyadari bahwa tinggi rendahnya seorang disabilitas tergantung dari sikap dan
interaksi masyarakat itu sendiri. Bagaimana mungkin seorang tunanetra akan
mengembangkan daya intelektualnya bila masyarakatnya sendiri tidak bersedia
memfasilitasi, seperti laptop yang bisa bicara, buku-buku braille, browsing internet bahkan facebookan yang sedang marak
sekarang.
Selain itu fasilitas sering sekali “salah garap” karena pihak
pengembang tidak bersedia berkonsultasi dengan penyandang disabilitas yang
mereka anggap lemah dan tidak mengerti apa-apa. Akhirnya terjadilah akses jalan
bagi tunanetra yang pemasangannya tidak tepat, seperti guilding blok dan
warning blok sering tertukar. Seharusnya sekolah luar biasa yang memiliki
guru-guru “spesialis anak-anak berkebutuhan khusus” (GPK), memberikan
konstribusinya selain untuk mendampingi anak-anak spesial bagi guru pendamping,
juga mengajarkan kepada Sekolah dan guru-guru reguler bagaimana mengatur
kurikulum yang tepat, mempergunakan bahasa isyarat atau konsep berhitung yang
serta menciptakan lingkungan yang kondusif. Kepada anak spesial nedds Rina
berharap mereka mau berinteraksi dengan mengenalkan diri terlebih dahulu kepada
masyarakat.
2. Sumber Manusia
Pendidikan
inklusif tidaklah sekedar menempatkan siswa berkelainan secara fisik dalam
kelas reguler dan bukan pula sekedar memasukan mereka sebanyak mungkin dalam
lingkungan belajar siswa normal. Selain itu pendidikan inklusif juga berkaitan
dengan cara guru dan teman sekelas yang normal menyambut semua siswa dalam
kelas dan secara langsung mengenali nilai – nilai keanekaragaman siswa. Dr
Mudjito,
A.K., M. Si, Direktur Pembinaan PKLK Pendidikan
Dasar menyatakn ketidaksiapan sekolah
melakukan penyesuaian terhadap program inklusif pada dasarnya menyangkut ketersediaan sumber daya manusia yang belum
memadai. Disamping pemberdayaan guru
umum, juga keterbatasan guru pembimbing khusus.
GBK
peranannya adalah memberikan program
pendampingan pembelajaran bagi peserta didik
berkebutuhan khusus. Kendala itu belum termasuk rendahnya dukungan warga
sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan
mereka. Menyadari kekurangan di atas,
maka perlu adanya kompetensi guru secara
khusus diantaranya melalui diklat dan dalam kontek sekolah, perlu penyesuaian
dalam manajemen sekolah, yaitu mulai dari cara pandang, sikap personil sekolah sampai pada proses pembelajaran
(kurikulum) yang berorientasi pada
kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
3. Keteteran Menampung
ABK Karena Sekolah Lain Enggan Menerim
Meski program setiap sekolah harus mampu jadi sekolah
inklusif ini telah bertahun-tahun didengungkan
pemerintah, pada kenyataanya justru “
penolakan” untuk ikut serta menjadi inklusif terjadi bukan hanya dari sekolah yang belum mempunyai nama besar. Ada juga
sekolah yang sudah memiliki “predikat
unggulan atau favorit”, tidak bersedia menerima anak-anak disabilitas. Karena sekolah itu khawatir namanya anjlok. Jalannya sistem pendidikan inklusif di sekolah-sekolah
dasar kini justru jadi kebingungan, mereka
mencoba mendaftarkan putra atau puterinya
ke SD Negeri yang jelas -jelas telah ditunjuk Diknas sebagai SD Inklusif tetapi malah mendapat penolakan.
“Kami
membatasi jumlah ABK hanya 1 murid dalam setiap kelas karena pertimbangan
kemampuan SDM yang dimiliki”. Lia Amalia
Wakil Kepala Sekolah Dasar Tunas Unggul, yang merupakan SD Swasta Inklusif di
wilayah Bandung Timur, terang – terangan mengakui keterbatasan SDM di tempatnya
bekerja berimbas kepada minimnya kouta bagi murid berkebutuhan khusus.
4. Ketika
Dilema Bersumber dari Orang Tua
Julie
Salama,
pimpinan Yayasan Salaman Al Farizi yang
mengelola Taman Kanak-kanak menjumpai langsung
dilema tersebut. Di satu sisi dia mengerti benar bahwa ABK mempunyai hak yang sama menerima pendidikan di Sekolah reguler.
Namun terkadang orang tua yang anak-anaknya
normal keberatan ada ABK bergabung bersama dengan alasan klise khawatir mengganggu murid lainnya. Sebenarnya kekhawatiran itu dapat diatasi bila murid
ABK
memiliki guru pendamping yang seyogyanya dibayar oleh orang tua murid, karena
pihak sekolah belum mampu menyediakan guru pendamping. Ironisnya orang tua ABK yang mendaftar, kebanyakan dari golongan menengah kebawah yang ekonominya terbatas. Psikolog pun memeratakan profil setiap murid seperti
karakter, sikap belajar, kemandirian, kendala belajar dan bagi anak – anak spesial, dilengkapi juga dengan identifikasi hambatan.
memiliki guru pendamping yang seyogyanya dibayar oleh orang tua murid, karena
pihak sekolah belum mampu menyediakan guru pendamping. Ironisnya orang tua ABK yang mendaftar, kebanyakan dari golongan menengah kebawah yang ekonominya terbatas. Psikolog pun memeratakan profil setiap murid seperti
karakter, sikap belajar, kemandirian, kendala belajar dan bagi anak – anak spesial, dilengkapi juga dengan identifikasi hambatan.
5. Hak
Berpolitik Belum Berprioritas
Nuning Suryatiningsih
ketua CIQAL (Centre for Improving Qualifred Activity in Life of People With
Disabilites) sebuah organisasi penyandang cacat di Yogya dan juga anggota
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sleman menyampaikan pengalaman para penyandang
disabilitas dalam hak berpolitiknya.
Mengenai
hak berpolitik penyandang disabilitas, Nuning mengakui kalau selama ini mereka
diajak bergabung dalam Parpol, hanya sebagai pelengkap bukan komitmen. Peran
dan partisipasinya belum menjadi prioritas, sehingga belum diperhitungkan
secara tegas. Oleh karena itu Nuning menyarankan agar dalam UU tentang Parpol
penting dimasukkan tentang qouta bagi penyandang disabilitas dalam daftar calon,
sehingga bukan hanya sebagai pelengkap penderita.
6.
Sinergikan Penyandang
Cacat dan Masyarakat
Praktisi
Bidang Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang
Cacat Sarsito Sarwono, menyatakan bahwa dunia
sosial terdiri atas dua kelompok, yaitu mereka yang perlu dibantu disebut
sebagai mampu membantu. Mereka yang perlu
dibantu disebut sebagai penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS), sedangkan mereka yang mampu membantu disebut potensi sumber kesejahteraan sosial (PSKS)
yang mencakup masyarakat, dunia usahadan
pemerintah. Perlu dipahami adalah bahwa
masalah sosial merupakan masalah multi dimensi, sehingga untuk menyelesaikannya perlu keterpaduan upaya dari
berbagai pihak dan berbagai disiplin
ilmu. Hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah bahwa masalah sosial tidak akan dapat terselesaikan tanpa kemauan
dan usaha dari penyandang masalahnya
sendiri.
Masalah
penyandang cacat merupakan salah satu bagian
dari 7 prioritas penanggulangan masalah
sosial yaitu kemiskinan , kacacatan, keterpencilan, ketunaan sosial, dan penyimpangan perilaku, korban bencana serta korban
tindak kekerasan, eksploitasi dan
kriminisasi. Dukungan pemeritah
dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bidang kesejahteraan sosial sudah banyak, apalagi yang berkaitan dengan
penyandang cacat. Termasuk ketentuan yang
berkaitan dengan pemenuhan hak – hak penyandang cacat dibidang sosial, pendidikan dan ketenagakerjaan, hanya sangat
disayangkan, peraturan perundang-undangan,
kurang disosialisasikan dan relatif tidak dijalankan dengan baik karena sanks pelanggarannya tidak jelas
atau malah tidak
diterapkan.
diterapkan.
Peran
orang tua beserta keluarga sangat penting
terhadap perkembangan anak penyandang cacat.
Kebanyakan penyandang cacat yang sukses dalam karirnya karena mendapat dukungan penuh dari orang tua dan keluarganya.
Masyarakat terkadang masih menganggap
memiliki anak cacat merupakan aib keluarga.padahal tidak ada satu pun pasangan suami-istri yang menginginkan punya anak
cacat.pandangan masyarakat ini perlu
diubah. Hal yang palinhg esensial dalam
upaya merehabilitasi para penyandang cacat adalah membangun kepercayaan diri dan kreativitasnya. Orang
yang percaya diri akan berani tampil dan
berani menghadapi tantangan. Sedangkan pikiran dan kreatif akan mampu memecahan masalah dan mengatasi masalah
hambatan.
7.
Peran Orang Tua Nomor
Satu
Menurut
Teti Ichsan, Ketua Perkumpulan
Peduli Anak, menegaskan sejak awal orang tua anak-anak special nedds sudah harus memiliki aspirasi megenai
perkembangan anak nantinya, mau bagaimana
dan mau diapakan. Semua hal tersebut menurutnya harus disosialisasikan dan dibangun sejak dini di dalam
masyarakat inklusif sehingga mereka akan
menghargai perbedaan serta tidak lagi memandang iba terhadap anak anak berkebutuhan khusus. Diharuskan ada stimulasi dini sejak lahir terhadap
anak dan orang tua mesti banyak menyerap
pengetahuan tentang jenis kelainan yang disandang
anak-anak.
Orang
tua juga mesti bersikap lebih terbuka kepada lingkungan dan selalu mengajak anak-anaknya
bersosialisasi dengan masyarakat. Seluruh
keluarga harus dikondisikan menerima anak-anak special needs ini dengan tangna terbuka. Itu berarti termasuk pembantu
rumah tangga, pengemudi atau pun orang-orang
di sekitarnya yang perlu diberikan pendidikan
tentang cara merawat, mendampingi, dan mengajak bermain anak–anak tersebut sehingga mereka turut mengasuh dengan tulus.
Banyak orang tua anak-anak special needs berkaca
pada keberhasilan sebagian dari mereka
yang dianggap mampu mencapai rekor pada bidang
tertentu. Di saat anak itu tidak berhasil pada bidang tertentu. Di saat anaknya sendiri tidak berhasil pada titik itu orang
tua malah menjadi depresi sendiri, terutama
bagi anak down syndrome dimana mereka
mempunyai keterlambatan berpikir dan
penanganan yang tidak sama jika dibandingkan dengan anak penyandang tunadaksa.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
“Anak-anak spesial”
adalah julukan manis untuk anak spesial needs, anak berkebutuhan khusus (ABK),
yang dipergunakan oleh para orang tua yang putra-putrinya menyandang predikat
tersebut. Biasanya pemakaian singkatan ABK ini diterapkan di berbagai lembaga pendidikan
seperti di sekolah, tempat terapi atau universitas. Bagi masyarakat, terutama di perkotaan, ABK yaitu
anak-anak yang menyandang kelainan ataupun kekurangan secara fisik dan mental.
Adapun yang disebut
anak-anak berkebutuhan khusus atau anak-anak special needs adalah: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, down
syndrome, autis, ADHD, tunadaksa, tunalaras, tunawicara, tunaganda, kesulitan
belajar, dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya.
Keberadaan SLB
merupakan solusi pertama bagi pemenuhan seluruh warga negara berkebutuhan
khusus dalam mendapatkan keterampilan primer. Dengan adanya sekolah inklusi
saat ini merupakan alternatif bagi anak berkebutuhan khusus terutama bagi anak
yang kesulitan belajar. Yang dimaksud dengan kesulitan belajar atau gangguan
belajar (learning disorder) adalah
gangguan belajar pada anak yang ditandai dengan adanya kesenjangan yang
signifikan antara intelegensi dengan kemampuan akademik yang seharusnya
dicapai. Adapun pengenalan dini pada perkembangan anak merupakan suatu proses
yang penting untuk memahami potensi dan kebutuhan mereka. Semakin dini proses
ini dilakukan, maka upaya pengembangan potensi anak juga semakin efektif.
Identifikasi dini pada masa sekolah sangat menentukan perkembangan anak-anak di
masa mendatang.
3.2 Saran
Adanya kerjasama antara
orang tua dan pihak sekolah atau pembimbing dari peserta didik yang mengalami
kesulitan belajar. Menciptakan lingkungan yang mendukung potensi serta minat
dan bakat peserta didik, sehingga peserta didik dapat mengeksplor potensi yang
dimilikinya dan membangun kepercayaan diri dari peserta didik. Pendidik
diharapkan mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas mengenai penanganan
kesulitan belajar yang dialami peserta didik, pendidik serta orang tua
berinovasi untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran peserta didik. Selain itu,
pendidik diharapkan melakukan komunikasi yang intens dengan peserta didik
ataupun dengan orang tua. Sehingga, dapat menemukan solusi cara pembelajaran
yang tepat untuk setiap peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Pandji,
Dewi. 2013. Sudahkah Kita Ramah Anak Special Needs. PT. Gramedia :
Jakarta.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Anak berkebutuhan
khusus tidak hanya anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan
tunalaras saja. Anak autistik merupakan anak berkebutuhan khusus. Anak autistic
memiliki jumlah yang cukup banyak dilingkungan masyarakat. Autism merupakan
suatu kelainan yang serius dan kompleks. Kelainan ini serius karena didapati
kelainan neuroanatomis yang permanen
pada otak kecil, system limbic dan lobus parietalis. Anak ini juga
membutuhkan suatu layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
yang dimilikinya untuk mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya.
Media informasi yang
kini dibangun dan mengalir di mana-mana seakan memberi secercah pengetahuan
tambahan dan juga kesadaran untuk bersikap jauh lebih terbuka mengenai
keberadaan anak-anak special nedds
ini. Keluarga yang memiliki putra-putri berkebutuhan khusus pun tak lagi mesti
malu, apalagi menyembunyikan keberadaan buah hati mereka. Perlu disadari bahwa
keberadaan anak-anak dengan kondisi berbeda yang membaur di lingkungan kita
bukan lagi menjadi hal yang tabu atau ditampik. Mewujudkan kesetaraan hak,
kesempatan hidup semua manusia terlepas dari bagaimana pun kondisi fisik dan
psikis adalah suatu keniscayaan yang kian hari kian dituntut manifestasinya. Di
lembaga pendidikan, pada lapangan kerja, individu berkebutuhan khusus akan
semakin sering kita temui sebagai implementasi dari persamaan hak tersebut.
Mungkin kita tak lagi setengah-setengah dalam mengenali seseorang yang
dilahirkan spesial.
1.2 Tujuan
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus” yang
diberikan oleh dosen pengampu yaitu Dr. Ahmad Waki, M.A. Selain itu untuk
memberikan suatu pengetahuan kepada mahasiswa sebagai bahan diskusi kelas.
1.3 Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
dari makalah ini yaitu sebagai berikut:
a. Apakah
yang dimaksud dengan anak Special Needs ?
b. Siapa
saja yang termasuk anak Special Needs ?
c. Bagaimana
penanganan anak special needs dalam
sejarah ?
d. Bagaimana
pendidikan anak Special Needs ?
e. Bagaimana
Profil Anak Special Needs dan Orang Tuanya ?
f. Bagaimana
Dedikasi Sosok di Belakang Anak Special
Needs ?
g. Apa
Penjelasan Fakta, Dilema, dan Harapan bagi Anak Special Needs ?
1.4 Metode
Penulisan
Dalam penulisan makalah
ini penulis menggunakan metode pustaka, yaitu dengan melihat sumber dari buku.
1.5 Sistematika
Penulisan
Berikut adalah sistematika penulisan makalah
ini :
BAB
I Pendahuluan
terdiri atas latar belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB
II Pembahasan terdiri atas pengertian
anak special needs, Macam-macam anak special needs, penanganan anak special needs dalam sejarah, pendidikan
znak special needs, profil anak special needs, dedikasi sosok di
belakang anak special needs, fakta,
dilema, dan harapan anak special needs.
BAB
III Penutup terdiri atas Simpulan dan
saran.
Untuk
mempertanggungjawabkan penulisan disertai daftar pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pegertian
anak Special Needs
“Anak-anak
spesial” adalah julukan manis untuk anak spesial needs, anak berkebutuhan
khusus (ABK), yang dipergunakan oleh para orang tua yang putra-putrinya
menyandang predikat tersebut. Biasanya pemakaian singkatan ABK ini diterapkan
di berbagai lembaga pendidikan seperti di sekolah, tempat terapi atau
universitas. Bagi masyarakat, terutama
di perkotaan, ABK yaitu anak-anak yang menyandang kelainan ataupun kekurangan
secara fisik dan mental.
Prof. Frieda
Mangunsong, guru besar Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa
pengertian anak yang tergolong luar biasa atau memiliki kebutuhan khusus
adalah: “Anak yang secara signifikan
berbeda dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara
fisik, psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan
atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta,
mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional.
Juga anak-anak yang berbakat dengan intelegensi yang tinggi dapat dikategorikan
sebagai anak khusus atau luar biasa karena memerlukan penanganan yang terlatih
dari tenaga profesional”.
Adapun beberapa
istilah yang sering kita dengar namun nampak keliru dalam mengartikannya,
diantaraya:
1. Impairment
atau kerusakan
Ini berkaitan
dengan suatu penyakit atau rusaknya suatu jaringan dalam tubuh sehingga
menibulkan kekhususan pada diri seseorang. Sebagai contoh, bayi yang kekurangan
oksigen pada saat proses kelahirannya akhirnya mengalami kerusakan otak dan
syaraf lainnya, akhirnya terjadilah kelumpuhan otak (cerebral palsy).
2. Disability atau kekhususan
Hal ini
menunjukkan konsekuensi fungsional dari kerusakan bagian tubuh yang dialami
seseorang. Contohnya, seseorang yang pertumbuhan kakinya menjadi tidak normal
akibat terjangkit polio. Untuk selanjutnya ia tidak bisa beraktivitas leluasa
apabila tidak dibantu dengan alat penunjang khusus seperti kruk, kursi roda,
atau kaki palsu.
3. Handicapped
atau ketidakmampuan
Hal ini
merupakan konsekuensi sosial yang dialami seseorang berkebutuhan khusus ketika
ia berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai contoh, seorang tunanetra bisa
membaca tetapi tentu saja ia tak mungkin membaca huruf awas dan hanya dapat
membaca huruf Braille. Sehingga
apabila seorang tunarungu dapat melakukan perjalanan jauh seorang diri dengan
berpatokan pada peta konvensional dan papan petunjuk jalan, seorang tunanetra
tidak bisa melakukan hal yang sama tanpa orang lain yang mendampingi, atau
perangkat teknologi yang mentransfer tampilan visual ke audio.
2.2 Macam-macam Anak Special Needs
Ada beberapa
anak-anak special needs yang bisa
kita sebut populer di Indonesia karena tergolong mudah ditemui atau sekedar
mendengarnya dalam berbagai kesempatan. Siapa saja yang disebut anak-anak
berkebutuhan khusus atau anak-anak special
needs ini, mereka adalah sebagai berikut:
1. Tunanetra
Tunanetra adalah
seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan, dapat diklasifikasikan ke
dalam dua golongan, yaitu buta total (blind)
dan low vision. Tunanetra tidak berarti selalu tidak mampu
melihat secara keseluruhan.
Dalam konteks individu
berkebutuhan khusus, tunanetra berarti setiap gangguan atau kelainan yang
terjadi pada indra penglihatan seseorang sehingga mengalami kendala dalam
beraktivitas dan akhirnya, mereka pun memerlukan alat khusus yang dapat
membantu penglihatan atau menggantikan fungsi matanya. Oleh karena tunanetra
memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan, maka proses pembelajaran
menekankan pada alat indra yang lain, yaitu indra peraba dan indra pendengaran,
sebab itu prinsip yang harus diperhatiakn dalam memberikan pengajaran kepada
individu-individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat faktual
dan bersuara. Contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. Sedangkan
media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.
Anak yang buta sejak
lahir secara alamiah memiliki persepsi tentang dunia yang jelas berbeda
daripada anak yang kehilangan penglihatannya pada usia 12 tahun. Kerusakan
penglihatan sejak lahir disebabkan bermacam-macam penyebab seperti faktor keturunan
atau infeksi misalnya campak Jerman yang ditularkan ibu saat janin masih dalam
proses pembentukan disaat kehamilan.
2. Tunarungu
Tunarungu adalah
individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak
permanen. Alat untuk mengukur kemampuan dengar secara kuantitatif disebut
audiometric. Dari pemeriksaan menggunakan audiometric dapat diperoleh
klasifikasi kemampuan mendengar suara sesuai level yang dinyatakan dalam satuan
desibel (dB). Dari mulai gangguan pendengaran sangat ringan, dimana
penderitanya tidak bisa menangkap jelas suara bisikan sampai pada gangguan
pendengaran ekstrem (tuli) yang tidak bisa mendengar dering telepon atau
keramaian lalu lintas besar.
Karena memiliki
kesulitan dalam pendengaran, individu tunarungu memiliki hambatan dalam
berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Individu tunarungu juga
cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Masalah
yang dihadapi oleh anak tunarungu cukup berat
dan biasanya bersumber dari kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi.
Pendekatan komunikasi
yang banyak digunakan pada anak tunarungu, yaitu latihan pendengaran, oralism,
manualism, dan komunikasi total. Latihan pendengaran secara sistematis
mengembangkan kemampuan anak untuk menyadari dan membedakan:
a. Suara-suara
yang mencolok, termasuk suara-suara lingkungan.
b. Pola
irama berbicara dan irama musik.
c. Pengenalan
huruf hidup.
d. Penegnalan
huruf mati.
e. Bicara
dalam situasi ramai atau bising.
Indikator yang bisa
dengan mudah kita lihat untuk menengarai gangguan pendengaran pada seorang
anak, diantaranya:
a. Perkembangan
bahasa terlambat. Dalam tahun pertama kehidupannya, anak tunarungu mengeluarkan
bunyi-bunyian tidak berbeda dengan anak normal. Memasuki usia 12-18 bulan, anak
normal mulai menggunakan kata-kata pertama sementara anak tunarungu belum
menampakkan kemampuan membunyikan kata-kata yang terarah. Pada usia 2 tahun
jika seorang anak masih juga belum memperlihatkan kemampuan berbicara, patut
dicurigai ia mengalami gangguan pendengaran dan tentunya dibutuhkan serangkaian
diagnosis klinis untuk lebih memastikan.
b. Memperdengarkan
suara terlalu lembut ataupun keras tanpa ia menyadari.
c. Berulang
kali menanyakan sesuatu yang baru saja disampaikan, lambat bereaksi terhadap
suatu instruksi karena tidak menangkap pesan secara utuh, salah
menginterpretasikan atau sering meminta seseorang mengulangi perkataannya.
d. Sulit
mengulangi suara, kata-kata, lagu, irama, atau mengingat nama.
e. Bingung
membedakan kata yang bunyinya hampir sama atau membuat kesalahan dalam
pelafalan kata-kata (seperti menghilangkan konsonan di akhir kata).
f. Konsentrasi
berlebihan terhadap wajah dan gerak mulut pembicara.
g. Mengalami
keluhan fisik seperti merasa ada suara bising di telinga, nyeri di telinga,
merasa ada benda di dalam telinga, mendengar dengungan, sering demam dan
mengalami infeksi seputar telinga hidung tenggorokan.
Berbagai macam penyebab
ketunarunguan dibagi dalam empat hal besar yaitu: trauma, penyakit, herditer,
dan kelainan genetik. Trauma misalkan akibat tusukan benda tajam kedalam
telinga atau benturan di kepala yang merusak syaraf pendengaran. Penyakit
seperti virus rubella dalam masa kehamilan dan sifilis kongenital.
3. Tunagrahita
Tunagrahita adalah
individu yang memiliki tingakat intelegensia. Istilah seperti cacat mental,
bodoh, dungu, pandir, lemah pikiran adalah sebutan yang terlebih dulu dikenal
sebelum tunagrahita. Grahita sendiri artinya adalah pikiran dan tuna adalah
kerugian. Klasifikasi tunagrahita berdasarkan :
a. Tunagrahita
ringan (IQ : 51-70)
b. Tunagrahita
sedang ( IQ : 36-51)
c. Tunagrahita
berat ( IQ : 20-35)
d. Tunagrahita
sangat berat ( IQ dibawah 20 )
Penyebab seorang anak
menjadi tunagrahita begitu beragam, mulai dari infeksi, trauma fisik, kelainan
genetik, kelainan prematur dan lain sebagainya. Secara garis besar terjadinya
tunagrahita adalah bersumber dari luar, seperti paparan sinar X-Rays, pengaruh
zat-zat yang bersifat toxic kerusakan
otak saat lahir atau terjangkit virus penyakit dan bersumber dari dalam,
sepeerti abnormalitas pembentukan kromosom.
Kita masih sering
menyamakan tunagrahita dengan down syndrome. Yang benar adalah down syndrome
merupakan salah satu bentuk retardasi mental yang menunjukan keterbatasan
signifikan dalam fungsi intelektual maupun adaptif. mitos-mitos lain mengenai
tunagrahita yang semestinya mulai ditepiskan adalah:
a. Terbatasan
intelektual tunagrahita tidak mentok tanpa perkembngan sepanjang hidupnya.
Dengan latihan, motivasi dan pendidikan khusus, tunagrahita terutama yang hanya
ringan sampai sedang perkembangan kemampuan mereka dapat meningkat secara baik
dalam bidang apapun yang memungkinan bagi meraka.
b. Tunagrahita
bisa dideteksi sejak dari bayi. Ini lebih cocok berlaku bagi penyandang down
syndrome yang sejak lahir memiliki tampilan fisik berbeda atau sewaktu masih
janin didalam rahim dapat dilakukan test pendeteksi sendiri.
Secara statistik,
sindroma down adalah sumber gangguan yang terjadi sebesar 5-6 % dari total
kasus tunagrahita. Meski terhitung sedikit jika dilihat dari jumlah keseluruhan
kasus tunagrahita, down syndrome lebih menyita perhatian karena karaktersistik
fisiknya yang mudah dikenali. Seorang DS (down
syndrome) bisa memiliki beberapa atau semua ciri khas seperti dagu sangat
kecil, mata sipit dengan lipatan kulit di sudut dalam mata, kelemahan
otot-otot, hidung datar, garis telapak tangan hanya satu, lidah menonjol, wajah
sangat bulat dan ukuran kepala yang besar.
DS (down syndrome) dikenal
juga dengan istilah Trisomy 21 yakni terjadinya kelainan pada kromosom ke-21.
Penyimpangan tersebut tertangkap dalam penelitian oleh dr. Jerome Lejeune di
tahun 1959. Normalnya jumlah kromosom seorang manusia adalah 46 pasang, tetapi
seorang DS (down syndrome) memiliki
47 pasang kromosom.
Menurut Dra. Teti
Ichsan, M.Si, peneliti down syndrome,
salah satu dampak dari abnormalitas kromosom 21 pada anak yang memiliki DS
adalah keterbelakangan intelektual yang erat kaitannya dengan kemampuan
akademik, kecerdasan majemuk, memberikan ruang untuk dapat berkembangnya
berbagai unsur-unsur dari kecerdasan tersebut. Namun apabila mereka
difasilitasi, didorong, dan diberi kesempatan dalam mengembangkan kecerdasan
tersebut, tidak menutup kemungkinan mereka mampu mencapai optimalisasi sesuai
dengan kapasitas yang dimilikinya.
4. Autisme
Autisme yaitu penarikan
diri yang ekstrem dari lingkungan sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi,
serta tingkah laku yang terbatas dan berulang yang muncul sebelum usia 3 tahun.
Seorang autis berinteraksi dengan cara sangat
berbeda, jika gangguannya parah, ia benar-benar menunjukkan sikap tidak
tertarik pada orang lain. Gejala khas lain yang sering terdapat pada autis adalah
menghindar dari kontak mata dan kontak fisik. Membenci suara keras, bau
tertentu atau cahaya terlalu terang. Dalam interaksi sosial sehari-hari begitu
banyak pesan nonverbal saling ditukarkan dan pemaknaan secara abstrak pada
berbagai hal. Seorang autis tidak bisa memahami komponen komunikasi tersebut
diakibatkan terdapat semacam kegagalan neurobiologis dalam tubuh mereka. Lebih
mudah bagi mereka untuk mengerti sesuatu melalui gambar konkret dan memakai
asosiasi daripada berlogika.
Beberapa jenis ASD (Autism
Spectrum Disorder) yang paling umum dialami, yaitu:
a. Autisme.
Pengertian dan gejalanya telah dipaparkan di atas. Sebagai informasi tambahan,
gejala-gejala tersebut muncul sebelum usia 3 tahun dan prevelansinya 4 kali
lebih banyak menimpa anak laki-laki daripada perempuan.
b. Asperger Sindrom.
Ini juga lebih besar menimpa anak laki-laki daripada perempuan. Jika anda
melihat seseorang yang disebut autis tetapi ia tidak tampak kesulitan dalam
berbahasa dan berkomunikasi namun hanya sekedar terkesan canggung bergaul,
kikuk atau kasar/tak sopan, mungkin ia menyandang sindrom asperger. Rata-rata
nilai intelektual seorang asperger adalah normal bahkan tinggi, begitu juga
kemampuan verbalnya. Permasalahan utama asperger terletak pada gangguan dalam
memahami petunjuk sosial, oleh karena itu kerap mereka disalahmengertikan
sebagai individu yang tidak menghargai etika bersosial. Asperger dapat disebut
autis ringan namun tetap membutuhkan perlakuan dan pendidikan khusus agar di
masa dewasa ia bisa mengatasi hambatan dalam interaksi sosial dalam
lingkungannya.
c. Rett Sindrom.
Banyak dialami anak perempuan di usia 7-24 bulan. Sebelumnya anak mengalami
perkembangan normal, tetapi kemudian mengalami kemunduran yang mencakup
keterampilan motorik yang telah dikuasai, kemampuan berbahasa, gerakan
stereotipik seperti sedang mencuri tangan dan membahasi tangan dengan air liur,
hambatan mengunyah makanan.
d. Childhood Disintegrative Disorder.
Pada usia 2-10 tahun, anak berkembang normal sebelum mengalami kemunduran
signifikan pada keterampilan yang telah dikuasai daan terjadi gangguan pada
fungsi sosial, komunikasi serta perilaku. Pada beberapa kasus, penderitanya
terus mengalami kemunduruan hingga tiba di kondisi retardasi mental berat.
e. Pervasive Developmental Disorder
not Otherwise Specified (PDD-NOS), individu mengalami
gejala autisme setelah usia 3 tahun atau lebih.
Sebagian besar ilmuwan mengemukakan
pendapat terdapat faktor herediter penyebab autisme pada seseorang. Anak yang
didiagnosis autis apabila ditelusuri garis keturunannya, maka ada salah satu
anggota keluarga yang mengalami gangguan sejenis, meski tidak selalu sama-sama
autis. Peneliti lainnya memilih memperluas penyebab autisme adalah akibat
faktor lingkungan selama kehamilan. Apakah itu diakibatkan infeksi virus, bakteri
tertentu, kontaminasi udara atau kontak dengan zat kimia berbahaya seperti
pestisida.
Pada penyandang autisme, disebabkan
oleh suatu hal, beberapa sel dan koneksinya tidak berkembang baik bahkan
mengalami kerusakan. Gangguan koneksi ini terutama terjadi pada neuron-neuron
yang bertanggung jawab di are komunikasi, emosi dan kesadaran.
5. ADHD,
Gangguan Atensi dan Hiperaktif, Bukan Nakal Biasa
Attention
Defisit and Hyperactive Disorder. Gangguan Hiperaktif
dan Minimnya Rentang Perhatian. Attention
Defisit and Hyperactive Disorder merupakan kondisi kronis yang terus
berlangsung sampai seseorang dewasa. Yang menjadi gejala utamanya adalah
ketidakmampuan berkonsentrasi atau memperhatikan sebuah objek pada rentang
waktu minimal dan juga hiperaktivitas disertai impusifitas dalam perilaku
sehari-hari.
Seorang anak dicurigai
ADHD apabila tindakan-tindakan di atas terus berlangsung lebih dari 6 bulan,
bertindak demikian hampir di setiap lingkungan di mana ia berada, (banyak anak
yang tampak sering lepas kendali aktivitasnya bila di rumah tetapi menjadi
lebih pendiam jika di sekolah), tindakannya tersebut menimbulkan masalah
hubungan dengan anak lain atau juga dewasa dan masalah dalam tugas sekolah
serta kesehariannya.
Apabila discan, citra
otak seorang ADHD memang memiliki perbedaan cukup nyata dengan otak yang tidak
mengalami ADHD. Pada seorang yang didiagnosis ADHD terdapat tanda kurang
aktifnya area otak yang mengontrol tingkat aktivitas dan perhatian.
6. Tunadaksa
Tuna berarti kerugian
atau tidak punya. Daksa adalah anggota tubuh. Tunadaksa adalah individu yang
memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh beragam hal seperti di antaranya
kelainan neuromuskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit seperti
infeksi di masa kehamilan, plasenta yang tidak mencukupi (darah janin dan ibu
tidak kompatibel), kelahiran prematur, cerebral palsy. Trauma fisik, penyakit
kronis serta faktor-faktor terkait lainnya yang dapat membahayakan setelah
kelahiran.
Tingkat
gangguan pada tunadaksa adalah :
a.
Ringan, yaitu memiliki keterbatasan
dalam melakukan aktivitas fisik, tetapi masih dapat ditingkatkan melalui
terapi.
b.
Sedang, yaitu memiliki keterbatasan
motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik.
c.
Berat, yaitu memiliki keterbatasan total
dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
7. Tunalaras
Pernah disebut sebagai
emotionally disturbed, tetapi lalu dinilai kurang pas dan diubah jadi seriously
behavioral disabled, ini pun lalu dipersingkat menjadi behavioral disabled
saja. Belakangan dilakukan penggabungan menjadi emotional or behavioral
disorder.
Karakteristik sosial
dan emosional anak dengan gangguan emosional tingkah laku adalah :
a.
Tingkah laku yang tidak terarah (tidak
patuh, perkelahian, perusakan, pengucapan kata-kata kotor dan tidak senonoh,
senang memerintah, kurang ajar).
b.
Gangguan kepribadian (merasa rendah
diri, cemas, pemalu, depresi, kesedihan yang mendalam, menarik diri dari
pergaulan).
c.
Tidak matang dalam sikap, cepat bingung,
perhatian terbatas, senang melamun, berkhayal, senang bergaul dengan yang lebih
muda.
d.
Pelanggaran sosial (terlibat dalam
aktivitas ‘geng’, mencuri, membolos, begadang).
Tunalaras
karena gangguan emosional atau tingkah laku terdiri dari faktor-faktor gangguan
biologis, hubungan keluarga yang tidak sehat, serta faktor eksternal seperti
pengalaman di sekolah yang tidak diharapkan dan pengaruh masyarakat yang buruk.
8. Tunawicara
Tunawicara adalah
kondisi khusus yang justru laku dijual sebagai komoditas hiburan. Setiap
gangguan bicara yang dialami seseorang daan berpotensi menghambat komunikasi
verbal yang efektif disebut tunawicara.
Gangguan bicara dapat
muncul dalam berbagai bentuk. Terlambat bicara, artikulasi yang aneh dan tidak
sesuai, gagap, tidak mampu menggunakan kata-kata yang tepat sesuai konteks,
penggunaan bahasa yang aneh atau sedikit sekali bicara. Dalam bahasa ilmiahnya
disebut Expressive Aphasia atau severe languange delay.
Karakteristik khusus
pada anak tunawicara :
a.
Terjadi pada anak-anak yang lahir
prematur.
b.
Kemungkinannya empat kali lipat pada
anak yang belum berjalan pada usia 18 bulan.
c.
Belum bisa berbicara dalam bentuk
kalimat pada usia dua tahun.
d.
Memiliki gangguan penglihatan.
e.
Sering dikategorikan sebagai anak yang
kikuk oleh gurunya.
f.
Dari segi perilaku kurang bisa
menyesuaikan diri.
g.
Sulit membaca.
h.
Banyak terjadi pada anak laki-laki
daripada perempuan.
9. Tunaganda
Seseorang yang memiliki
kerusakan, kekhususan dan ketidakmampuan dalam beberapa hal sekaligus. Penyebab
seseorang menjadi tunaganda dapat disebabkan trauma pada otak, luka waktu lahir
(kelahiran sukar), hydrocephalus, penyakit infeksi, misalnya TBC, cacar,
meningitis, dan faktor keturunan antara lain kerusakan pada benih plasma, dan
hasil perkawinan dari ayah dan ibu yang rendah intelegensi dapat diturunkan
pada anak.
10. Kesulitan
Belajar
Anak-anak berkebutuhan
khusus yang termasuk dalam kategori ini sebenarnya tidak mengalami permasalahan
dengan daya inteligensia hanya saja diperlukan strategi belajar tersendiri yang
dapat mengakomodir potensi mereka yang terhambat karena gangguan-gangguan
motorik, persepsi- motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah
dan ruang serta keterlambatan konsep.
Mereka memiliki
gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup
pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang disebabkan karena
gangguan persepsi seperti dyslexia (gangguan bahasa), discalculia (gangguan
matematika) dan dysgraphia (gangguan menulis).
Penyebab kesulitan
belajar terbagi dalam beberapa bagian antara lain disfungsi minimal otak, tidak
adanya dominasi lateralitas, adanya penyimpangan visual, adanya perkembangan
yang tidak normal, penyimpangan psikologos, adanya penyebab yang bersifat
genetik, pengaruh/kesalahan dalam cara mengajar dan deprivasi dalam proses
berpikir.
11. Anak-anak
Berkebutuhan Khusus Lainnya
Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 pasal 3, ayat 4, bahwa “warga negara yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus.” Gifted Children, atau dikenal juga sebagai anak-anak berbakat.
Karakter yang biasa melekat pada seorang anak berbakat diantaranya adalah:
sangat observatif, memiliki memori sangat baik, rasa ingin tahu yang besar,
rentang perhatian panjang, tanggung jawab terhadap tugas, pembelajar cepat,
mampu memahami dan menjelaskan hal abstrak dan konseptual, pemecah masalah yang
andal, imajinasi kuat yang diwujudkan dalam kekreativitasan di atas rata-rata.
Selain anak-anak
“genius” adalah bagian dari warga negara yang berkebutuhan khusu ternyata warga
negara yang terbelakang, berada di daerah terpencil dimasukkan juga ke dalam
kategori berkebutuhan khusus.
2.3
Penanganan Anak Special Needs dalam Sejarah
Pada zaman
permulaan masehi, anak-anak yang terlahir dengan keadaan berkelainan fisik
biasanya diperlakukan secara tidak manusiawi karena dianggap sebagai kutukan.
Anak-anak dengan kelainan mental tersebut dianggap kerasukan roh jahat sehingga
harus dikurung. Autisme sebenarnya telah ada sepanjang sejarah hidup manusia,
namun pada zaman tersebut autisme disamakan dengan ketidakwarasan atau penyakit
mental yang disebabkan oleh hal-hal mistis. Tak jarang, penyandang yang
seharusnya mendapatkan perhatian malah mendapat hukuman karena orang pada masa
itu takut pada pengaruh sihir jahat.
Dalam perkembangan dunia modern pun, penyebab autisme sempat ditundingkan
kepada ibu yang melahirkan. Refrigerator
Mother atau ibu dengan sifat dinginlah yang menolak untuk memberi
kehangatan serta kasih sayang dan telah menyebabkan bayinya tumbuh besar
menjadi anak autis.
Seiring
peradaban barat yang mulai keluar dari zaman kegelapan, perlakuan kepada
anak-anak cacat pun mulai mengalami perbaikan. Alat dan teknologi penunjang kegiatan
anak-anak berkebutuhan khusus mulai dikembangkan menjadi lebih mumpuni. Hasil
penelitian dipublikasikan, diterapkan dimasyarakat,diteliti ulang oleh ilmuwan
lain lalu dikoreksi atau disempurnakan. Dalam perkembangannya, sistem
baca-tulis, notasi musik serta matematika Braille
ditemukan oleh seorang tunanetra berusia 12 tahun bernama Louise Braille.
Sistem tersebut ia adopsi dari trik bertukar pesan rahasia di kalangan prajurit
saat berada di medan perang. Juan Pablo Bonet dianggap pioner modern yang
menerapkan terapi bicara, fonetik dan terapi oral kepada anak yang tunarungu
dengan menambahkan bentuk petunjuk dasar alfabet ke dalam isyarat yang sudah
ada. Umumnya bahasa isyarat terkomposisi dengan gabungan gesture,mimik,isyarat
tangan dan ejaan dengan memakai jari. Cara bahasa isyarat bekerja ialah dengan
mempresentasikan keseluruhan ide dan bukan kata tunggal.
Di abad ke-18,
Jean Marc Gaspard Itard, seorang dokter Perancis yang mengepalai sebuah
institusi nasional bisu-tuli, dinilai sebagai tokoh yang memulai pengembangan
metode pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, Itard merumuskan konsep
pendidikan pedagogi setelah melakukan observasi dan penelitian terhadap bocah
serigala Victor of Aveyron, yang
kisahnya melegenda dan menginspirasi pembuatan film-film modern tentang manusia
yang sejak kecil hidup tanpa manusia lain di hutan rimba.
Maria Montessori
adalah salah satu murid Itard. Ia mengembangkan sistem pendidikan berbasis
karakter yang hingga detik ini masih digunakan di Sekolah di berbagai belahan
dunia. Secara garis besar sistem Montessori ini menghargai dan menilai setiap
anak sebagai individu unik yang memiliki potensi masing-masing dan tidak dapat
disamakan satu dengan yang lain. Dalam sistem Montessori ditekankan
pengembangan keterampilan sosial dan emosional sebagai pendamping skill
intelektual.
Melengkapi
kontribusi sistem pendidikan khusus ke arah yang lebih menjanjikan, kita bisa
sebut juga sumbangan Alfred Binet, seorang Psikolog Perancis yang telah
mengembangkan bentuk tes intelegensia di permulaan tahun 1990. Tes Binet sampai
sekarang dipergunakan untuk mengukur standar intelektual seseorang mulai
rentang usia 2-23 tahun. Tes ini menunjukan apakah seseorang mengalami hambatan
intelegensia dan dikategoriakan berkebutuhan khusus.
2.4
Pendidikan Anak Special Needs
1.
Pendidikan Khusus
Mulai
dari Hellen Keller, tunaganda yang menjelma menjadi seorang aktivis politik dan
dosen. Temple Gadin, doktor di bidang sains hewan yang autis, Stephen Hawking,
ahli fisika dan ahli matematika tunadaksa atau juga Charles Burke aktor
televisi, penyanyi yang down syndrome, kata kunci yang
menghantarkan mereka menjadi tokoh-tokoh berprestasi skala internasional adalah
: pendidikan dengan pendekatan khusus yang tepat dan diberikan dengan
kesungguhan. Tidak hanya peran lembaga pendidikan yang menonjol, tetapi jangan
lupakan orang-orang yang berada di lingkungan utama mereka. Orang tua,
keluarga, tutor, pembimbing, guru dan semacamnya.
Sebelum negara
Amerika Serikat mengesahkan UU pemerintah yang menetapkan dan menjamin hak
semua anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan, terjadi banyak
kasus diajukan ke pengadilan oleh para orang tua yang berpendapat anak-anak
mereka yang berkebutuhan khusus untuk tidak diberi kesempatan setara memperoleh
pendidikan. Padahal di masa pemerintahan Kennedy, dilanjutkan oleh Johnson
telah dirumuskan dasar-dasar untuk memberi akses kepada anak-anak berkebutuhan
spesial memperoleh pendidikan di lembaga pendidikan umum.
Pendidikan
khusus di Indonesia pun telah berlandaskan yuridisme pada tahun 2003. Di dalam
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional dimuat pasal-pasal dan ayat-ayat yang
menspesifikasikan warga yang berhak mendapatkan pendidikan khusus. Tercantum
pada UU tersebut warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa. Tak ketinggalan pula dalam salah satu ayat disebutkan warga negara
yang tinggal di daerah terpencil, terbelakang, mengalami bencana alam, bencana
sosial dan tidak mampu secara ekonomi termasuk berhak atas pendidikan khusus.
2.
Sekolah Luar Biasa Solusi Pertama
Sekolah Luar
Biasa adalah sekolah yang hanya menerima siswa berkebutuhan khusus dalam
beragam kondisi. Ada juga sekolah Pedagog yang pada prinsipnya sama dengan SLB,
menerima murid-murid hanya yang berkategori berkebutuhan khusus. Pendidikan
luar biasa tersebut tidak total berbeda dengan pendidikan bagi anak-anak normal
pada umumnya. Hanya saja dalam pendidikan khusus terdapat penambahan program
pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan murid-muridnya yang spesial.
Sementara kurikulumnya sendiri secara garis besar merujuk kepada kurikulum
nasional.
Keberadaan SLB
merupakan solusi pertama bagi pemenuhan seluruh warga negara berkebutuhan
khusus dalam mendapatkan keterampilan primer. Seorang tunanetra atau tunarungu tidak
bisa serta merta didaftarkan masuk kesekolah biasa jika sebelumnya ia belum
mendapat pelajaran baca tulis Braille atau teknik membaca bibir. Sekolah Luar
Biasa adalah jawaban atas kebutuhan utama pendidikan lanjutannya. Pelayanan
yang disediakan di SLB umumnya terdiri dari pelayanan medis, psikologis dan
sosial. Karena itu di SLB senantiasa melibatkan tenaga dokter, psikolog dan
pekerja sosial dan ahli pendidikan luar biasa
sebagai sebuah tim kerja.
SLB
dibagi menjadi tujuh berdasarkan kondisi ketunaan, yakni :
a.
SLB A untuk tunanetra
b.
SLB B untuk tunarungu
c.
SLB C untuk tunagrahita yang mampu didik
dan C1 untuk tunagrahita yang hanya mampu latih.
d.
SLB D untuk tunadaksa dengan
intelegensia normal. D1 untuk tunadaksa yang juga mengalami retardasi mental.
e.
SLB E untuk tunalaras.
f.
SLB F untuk autis.
Selain dimasukan
ke Sekolah Luar Biasa, terdapat berbagai macam pilihan bagi anak berkebutuhan
khusus mampu dididik untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan.
a. Mainstreaming atau
pendidikan terpadu. Anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah ke SD tertentu bersama
anak-anak pada umumnya.
b. Kelas
khusus penuh atau paruh waktu. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah
ke SD umum. Pada model paruh waktu maka mereka bergabung dengan anak –anak
lain. Sedangkan model penuh berarti anak-anak berkebutuhan khusus disediakan
kelas tersendiri di sebuah SD umum.
c. Guru
kunjung. Anak-anak berkebutuhan khusus yang domisilinya satu area dikumpulkan
dalam satu kelompok belajar secara teratur guru Pendidikan Luar Biasa datang
mengadakan kegiatan belajar mengajar di tempat.
d. Kejar
paket A dan B. Sama dengan sistem Guru Kunjung terapi materi belajar yang
diberikan terpusat pada paket A dan B. Pemerintah menerapkan model ini dengan
misi memberantas tuna aksara.
e. Asrama
atau Panti. Berbagai jenis anak berkebutuhan khusus diasramakan secara
insidental dengan penanggung biaya adalah Pemda setempat.
f. Workshop.
Mirip dengan mode asrama, hanya saja belajar mengajar diarahkan ke latihan
prevocational, terutama dibidang pekerjaan. Diperlukan kerja sama juga antara
Diknas, Depsos, dan Depnaker.
3. Wadah
Anak Special Needs
Juara-juara
di SLB Kemala Bhayangkari I Trenggalek. Berbincang dengan Kepala Seolah SLB Kemala Bhayangkari
1 Trenggalek menyiratkan bahwa Pardiono,S.Pd yang sudah bertugas selama 24
tahun ini memang seolah
menyatu dengan anak-anak didiknya. SLB Trenggalek didirikan 38 yahun lalu
dengan jumlah 17 siswa yang terdiri dar tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita
serta 5 orang guru. Kini jumlah siswa telah bertambah menjadi 187.
Sekolah ini sangat
mengedepankan kegiatan keterampilan para siswanya. Bagi anak tunanetra : masase
dan kerajinan tangan. Anak tunarungu : potong rambut, menjahit, dan bengkel.
Anak tunagrahita : tataboga, budidaya ikan, dan budidaya bunga. Anak tunadaksa
dilatih berternak kambing.
Pramuka
menjadi salah satu kegiatan ekstrakulikuler yang dapat dikuti oleh berbagai jenis kekhususan. Selain itu masih
banyak kegiatan lain yang dapat diikuti siswa sesuai dengan tingkat kekhususan
dan kemampuannya. Misalnya saja anak tunarungu belajar seni pantomim dan seni
tari. Anak tunagrahita belajar seni tari, deklamasi dan
membaca puisi. Anak tunanetra yang menurut Pardiono lebih peka
terhadap rangsangan pendengaran, maka dilatih untuk belajar seni music dan seni
suara. Keterampilan serupa juga diberikan juga di jenjang
Sekolah Menengah Atas (SMA) Luar Biasa, yang didirikan tahun 2010 dengan jumlah
siswa 26. Dengan perkembangan teknologi dan komunikasi proses belajar mengajar
telah difasilitasi dengan laptop, computer, LCD projector, papan tulis interaktif dan jaringan internet.
4. Terpadu dan Berbaur di Sekolah Inklusif
SLB dan sejenisnya merupakan jawaban mengenai
pertanyaan dimana dan bagaimanakah anak-anak khusus memperoleh “amunisi” berupa
keterampilan hidup dasar agar mereka bisa mandiri, tetap mempu berkarya, selarasa
dengan lingkungan sosialnya serta potensi kemanusiaannya tidak tersia-siakan.
Namun dalam kerangka persepsi masyarakat tumbuh sebuah cap yang ditempelkan
kepada SLB sebagai tempat beroleh pendidikan bagi kalangan “asing”.
Dalam arti kata asing dalam
keseharian, pengalaman dan juga empati.
Tidak ada yang salah dengan
sekolah-sekolah luar biasa yang khusus menerima anak-anak special needs saja.
Harus disadari pada diri anak-anak itu terdapat urgensi agar mereka sesegera
mungkin dilatih fasih menguasai keterampilan hidup dasar yang tidak mungkin
diperoleh di sekolah-sekolah umum. Namun sengaja memisahkan dan membeda-bedakan
sekolah bagi anak-anak khusus untuk seterusnya, adalah tindakan yang berlawanan
dengan pandangan hidup yang berlaku universal bahwa semua orang terlahir ke
dunia dengan hak-hak yang sama. Kita belajar dan terbiasa tepo saliro
mengatasi perbedaan yang hakiki antara
manusia seperti suku, ras, agama, dan lain-lain.
Ada juga anggapan bahwa pemisahan anak-anak berkebutuhan khusus
ada baiknya hanya dalam rangka pembelajaran (instruction) dan bukan dalam
tujuan pendidikan. Jika secara mental dan fisik anak special need tidak
membahayakan orang lain juga dirinya sendiri, alangkah lebih tepatnya apabila
mereka diintegrasikan dalam sebuah wadah pendidikan yang sama. Menyatukan anak
special needs dengan anak-anak pada umumnya adalah sarana bagi mereka untuk
saling belajar hidup dengan cara yang lebih positif.
5. Pendidikan Inklusif
Menurut Johnen dan Skjorten (2003), pendidikan
inklusif adalah system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak
berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama-sama
teman seusianya.Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah
sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap
anak. Artinya dalam pendidikan inklusif tersedia sumber
belajar yang beragam dan mendapat dukungan dari semua pihak, meliputi para
siswa, guru, orang tua dan masyarakat sekitarnya.
Hal ini dilandasi oleh
kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan
yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Dengan kata lain, pendidikan inklusif merupakan pendidikan terpadu yang diharapkan dapat mengakomodasi pendidikan bagi semua, terutama anak-anak yang memiliki
kebutuhan khusus yang selama ini masih banyak yang belum terpenuhi haknya untuk
memperoleh pendidikan seperti anak-anak normal. Menggabungkan murid berlatarkan
kemampuan fisik dan mental yang jelas berbeda, sekolah inklusif tentunya tidak
bisa menentukan naik kelas atau tidaknya seorang murid berdasarkan penilaian
terhadap penguasaan atas kurikulum umum.
Konsekuensinya sebuah
sekolah inklusif harus memodifikasi aspek-aspek penilaian terhadap seorang
murid menjadi lebih terbuka dan benar –benar disesuaikan dengan kondisi anak,
guru mata pelajaran dan guru pendidikan khusus.
Guru yang bukan lulusan PLB
pun harus memiliki pengetahuan dasar tentang pendidikan luar biasa.
6. Kabupaten atau Kota Pelopor Pendidikan Inklusif
Direktur pembinaan pendidikan khusus dan layanan
khusus pendidikan dasar kementrian dan kebudayaan (PKLK), DR.Mudjito menyatakan
bahwa anak-anak berkebutuhan khusus harus mendapatkan pendidikan secara khusus
pula. Dia mengacu pada UU Sistem Pendidikan Nasional dan UUD 1945 bahwa setiap
warga Negara termasuk anak-anak berkebutuhan khusus/disabilitas berhak atas
pendidikan yang sama. Untuk itu pemerintah sampai saat ini telah menyediakan
sekiotar 1700 an sekolah luar biasa (SLB). Komitmennya pada pendidikan
anak-anak disabilitas direalisasikannya dengan mengirim para stafnya untuk
“magang” selama tiga bulan di SLB-SLB agar lebih mendalami dan memahami
kebutuhan anak-anak tsb, walaupun hal itu terkadang menyebabkan ia diprotes anak buahnya yang tidak
setuju dengan kegiatan tersebut.
Melalui Direktorat PKLK Dikdas, Kemendikbud melakukan
dua pendekatan. Pertama, bagi anak –anak yang merasa cocok dan nyaman di SLB,
yang mana saja tercatat 85 ribu siswa, tetap mendapat pendidikan di SLB. Kedua,
116 ribu siswa disabilitas saat ini bisa tertampung di 30 ribu sekolah inklusif
ini akan terus diperluas dengan pendekatan berbasis kabupaten/kota, sementara
20 pemda lainnya sudah menyatakan keinginan untuk bergabung. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi pemda
untuk turut dalam program tersebut, yakni : ada regulasi bupati/walikota,
membentuk kelompok kerja lintas sektoral dan menyediakan dana pendamping. Untuk
program yang berkenaan dengan kebutuhan sekolah –sekolah inklusif terhadap
tenaga guru pendamping khusus (GPK) yang saat ini jumlahnya belum mencukupi, Kemendikbud
menempuh langkah kerja sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan pelatihan
selama dua semester bagi para guru. Pelatihan tersebut saat ini baru
dilaksanakan di UPI dan UNISA karena kedua universitas tersebut telah memiliki
program S1 san S2 di bidang GPK.
7. Mengenal Lebih Dekat Wajah Sekolah Inklusif
a. SDHT, Tak Sengaja Menjadi Inklusif
Sekolah
Dasar Hikmah Teladan bisa disebut sebagai pionir SD Inklusif di wilayah bandung
dan sekitarnya. Pada awalnya, SD ini memiliki prinsip bahwa mereka menerima
semua murid yang mendaftar masuk tanpa terkecuali.
Syaratnya hanya menggunakan
tekhnik “siapa cepat dia dapat”.Dengan sendirinya karena memberlakukan aturan
yang demikian, banyak orang tua yang kesulitan untuk mencari sekolah untuk anak-anaknya
yang special akhirnya menjatuhkan pilihan kepada SD tersebut.
Pada tahun 2002 SD tersebut
resmi berjalan sebagai sebuah sekolah dasar dengan system yang terbilang sangat
unik pada masa itu. Dimana skeolah tersebut
menyatukan kenyamanan bersosialisasi dan interaksi antara seluruh
penghuni sekolah, yang berarti tidak hanya sesama murid tetapi juga tenaga pengajar dan para pengurus.
Setiap murid dapat naik kelas melalui standar kelayakan masing-masing individu
yang tidak dengan kaku berpatokan pada kemampuan akademis.
b. Sekolah Alam Bogor, Bertrade Mark Pembebasan
Pada
awalnya sekolah ini hanyalah tempat mangkal untuk anak-anak jalanan yang pada
awalnya dicoba dihimpun agar mereka memiliki kegiatan yang positif lewat
pembelajaran keterampilan, baca tulis serta aktivitas lainnya.
Pada tahun 1999, Agus yang
merupakan seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama beberapa
temannya membentuk sebuah yayasan yang kegiatannya tersebar di tiga tempat
masing-masing dengan menghimpun 60,30, dan 50 anak jalanan. Pendanaan kegiatan
tersebut ia peroleh dari para donator dan Dinas Pendidikan. Kemudian pada tahun
2002 ia bertemu dengan orang yang menawarkan kerja sama yang pada awalnya dalam
bentuk program pesantren kilat di Lembah Parigi yang kemudian berkembang
menjadi Taman Kanak-Kanak Alam Lembah Pagi.
Sekolah
ini terus berkembang hingga pada akhirnya pada tahun 2004 menerima anak-anak
disabilitas, antara lain autis, hiperaktif,down syndrome yang digabung dengan
anak-anak semacamkelas percobaan yang bertempat tinggal di Cimahpar, akhirnya
terus berkembang menjadi areal sekolah alam Bogor.
c. SDN Putraco, Jumlah murid Special Lebih Banyak
Sekolah
ini memiliki enam puluh persen murid berkebutuhan khusus dan empat puluh persen
dengan murid regular.Dede Suryana yang merupakan salah satu guru dan pengurus
administrasi sekolah tersebut yakin bahwa perbandingan tersebut masih terbilang
ideal bagi sekolah inklusif.
Ia juga menjelaskan dalam
satu kelas terdiri dari 25-30 siswa, dengan murid special mencapai 10-12 siswa
yang dibimbing oleh dua orang guru serta helper
yang biasanya dibawa oleh orang tua dari murid khusus tersebut. Pada
permulaan saat seklah tersebut ditunjuk sebagai sekolah inklusif oleh
pemerintah pada tahun 2002-2003, jumlah ABK tidak sebanyak saat ini. Hal ini
terjadi bukan karena banyaknya pendaftar yang mendaftarkan diri di sekolah
tersebut namun karena ABK limpahan dari
sekolah lain.
Hampir
semua siswa special di Putraco berasal dari keluar dengan tingkat ekonomi
menengah keatas. Sementara murid regulernya berlatar keluarga dari
tingkat ekonomi ke bawah. Misi Putraco ialah memprioritaskan anak-anak dari
keluarga pra-sejahtera, dengan tambahan murid-murid dari ekonomi tidak mampu
dijamin bebas biaya sepenuhnya.
8. Semarak Warna di Balik Gerbang Sekolah Dasar Inklusif
Dengan berbagai macam alasan, masih banyak orang tua
yang tak tergerak atau enggan apabaila anak mereka berdampingan dengan
anak-anak special needs dalam kegiatan bersekolah sehari-hari. Seorang pengurus
sekolah pernah bercerita dimana pada saat orang tua murid (pendaftar)
diberitahu bahwa ada beberapa anak special needs yang turut menjadi bagian
dalam kelas yang juga akan diisi oleh anak mereka pada akhirnya mengundurkan
diri atau mengurungkan niatnya untuk mendaftar di sekolah tersebut. Sebenarnya,
setiap orang tua berhak memiliki pertimbangan masing-masing saat memilih
sekolah terbaik bagi putra-putrinya. Termasuk orang tua yang tanpa keraguan sedikitpun
mendaftarkan anaknya bersekolah di Sekolah Inklusif.
Itu bisa jadi sebuah
pembelajaran untuk memperkenalkan dan menerima perbedaan antara manusia. Dengan
penyatuan anak-anak regular dengan anak-anak special needs secara alami mereka akan bergaul satu sama lain,
melebur karena adanya kebiasaan.
9. Orang Tua dan Keluarga Inti, Garda Pertama Pendidikan
Special Needs
Tentu saja kebanyakan orang tua mengharapkan bahwa
keturunan yang lahir akan sempurna dan tidak kekurangan sesuatu apapun. Tetapi
kita juga tidak boleh lupa bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup
kita tidak akan selalu sama persisi dengan apa yang kita harapkan. Seperti
halnya orang tua yang memiliki anak-anak special needs.
Reaksi mereka saat
mengetahui bahwa anak-anaknya ternyata “berbeda” dari anak-anak pada umumnya
sungguh beragam.Sedih, frustasi ataupun berpasrah pada keyakinan bahwa ini
semua adalah takdir tuhan (reaksi positif atau negative).
Idelanya diharapkan bahwa
orang tua mampu bersikap positif menerima keadaan anaknya yang khusus.
Juga bukanlah suatu
kesalahan atau kelemahan apabila pada mulanya orang tua bersangkutan mengalami
atau menunjukan reaksi-reaksi negative.
Agar orang tua bisa mencapai tahapan optimis yaitu
menerima lalu bertindak dengan efektif dan efisien bagi tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus,
dipengaruhi beberap hal. Seperti halnya seberapa kompleks dan parah tingkat
kekhususan anak, berapa banyak informasi akurat yang bisa orang tua peroleh
mengenai kondisi anaknya, bagaimana nilai-nilai yang dianut keluarga besar
ataupun kebudayaan yang melingkupi lingkungan tempat keluarga itu berada.
Mungkin sepasang orang tua dibesarkan di
dalam lingkungan yang mempercayai bahwa kelahiran seorang bayi “cacat”
merupakan karma dari dosa-dosa yang pernah dilakukan. Akibatnya kehadiran
generasi baru yang memiliki kekurangan tersebut menjadikan mereka terpuruk
dalam rasa bersalah dan malu. Lalu mereka memilih sedapat mungkin
menyembunyikan anaknya karena berasumsi masyarakat yang tahu akan berpandangan
negative.
Hal terakhir yang sama sekali tidak bisa dianggap enteng
adalah masalah keuangan. Semakin mantap perekonomian keluarga yang memiliki
anggota berkebutuhan khusus semakin mudah juga bagi mereka untuk mencapai
tahapan optimis dan menerima. Mengingat bahwa kondisi-kondisi khusus ini perlu
berbagai macam konsultasi kepada para ahli, mengikuti pemeriksaan,menggaji
asisten khusus yang membantu pengasuhan anak
serta melengkapi anak dengan sarana yang membantu kegiatan
sehari-harinya. Lepas dari materi, masih ada pengeluaran (cost) secara emosi
yang butuh diperhatikan dan diatur. Anak-anak yang terlahir tanpa kondisi khusus apapun
bertumbuh kembang sesuaid engan interaksi emosi terhadap orang tuanya setiap
saat, selama bertahun-tahun. Bila mana orang tuanya cerdas secara emosi, maka
dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan tumbuh besar dan tak jauh dari tipe
emosi mereka. Sementara tantangan yang dihadapi oleh orang tua ABK tentu lebih beragam. Orang tua terkadang menjadi sangat lelah dengan semua
kebutuhan dan ritual yang diperlukan bagi anak.
Orang tua juga terkadang
bisa merasa cemburu ketika mereka melihat anak-anak lain yang terlihat baik
secara keseluruhan. Ekspresi dan Kalimat bersimpati dari orang lain pun
tak bisa kita hiraukan. Karena hal tersebut
sangat rentan menjadi mispersepsi.
Agar tercapai kerja sama keluarga yang harmonis dan
efektif adalam mendampingi anak yang special, sudah barang tentu bukan hanya
ibu atau ayah saja yang selalu terlibat langsung dengan para ahli dan
“dipersenjatai” dengan informasi mengenai kondisi special si anak. Kakak, adik atau
anggota keluarga lain yang tinggal serumah dengan anak ‘tersebut’ mesti
terinformasikan dengan baik juga dan didorong untuk berinteraksi secara sehat
dengan saudara specialnya tersebut.
Fungsi orang tua dalam mendidik anak dengan kebutuhan
khusus tidak bisa dilepaskan dari factor-faktor instrinsik dan ekstrinsik yang dipengaruhi oleh karakteristik keluarga.
Seperti apa pola interaksi antar anggota keluarga tersebut, bagaimana budaya
dna nilai-nilai yang dianut dan mewarnai keseharian keluarga. Dukungan social
dari keluarga inti kini diakui oleh para ahli dapat memberi efek positif yang
besar bagi pendidikan anak special. Bermacam bantuan dari kerabat, rekan atau
kelompok social bisa diberikan kepada keluarga dengan anak special mulai dari
dukungan informasi,emosional dan juga materi. Jika orang tua tidak bisa
mengandalkan bantuan dari kerabat atau teman, masih terdapat kelompok social
lain yang bisa memberikan dukungan seperti halnya Parental Support Grup. Grup ini beranggotakan para orang tua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus sejenis. Dan jika orang tua terkendala waktu dan tempat untuk
melakukan komunikasi langsung dalam grup semacam itu, maka internet bisa
menjadi solusinya.Melalui mailing list,
newsgroup dan situs-situs tertentu.
2.5
Profil Anak Special Needs dan Orang
Tuanya
1.
Rasty yang “terbang” dari “sarangnya”
Rasty Purnama
(33 tahun) adalah penyandang tunadaksa dan selama 23 tahun “disembunyikan”
orang tuanya di Karawang, Jawa Barat. Ketika lahir kondisinya sehat dan tumbuh
normal. Namun, ketika usianya menginjak 4 tahun-an, Rasti sering sekali jatuh.
Saat Rasty terserang demam tinggi dan dilarikan ke puskesmas setempat, konon,
setelah dokter memberinya suntikan, Rasty tak bisa lagi berjalan bahkan untuk
bangun pun ia tak sanggup. Untuk seterusnya Rasty hanya tergolek di tempat
tidur.
Ia tidak pernah
bertemu dengan orang di luar rumah karena dianggap membawa aib dan memalukan
keluarga. Beruntung kakaknya sering membacakan buku cerita dan sedikit demi
sedikit Rasty mulai belajar mengeja tulisan dan menulis. Segala mimpi, harapan
dan keinginan untuk hidup normal dicurahkannya di sebuah buku dengan tulisannya
sendiri, meski dihadapkan pada keterbatasan bentuk jari yang tidak sempurna. Rasty
pun mencoba mengirimkan hasil karyanya di lomba penulisan puisi yang
diselenggarakan sebuah stasiun radio daerah. Ia meraih juara satu. Sejak itu ia
bertekad untuk terus menulis dan rutin mengirimkan hasil karyanya, hingga ia
pun menjadi sempat terkenal hingga liputan stasiun televisi. Namun itu tidak
berlangsung lama, karena orang tua Rasty
yang masih berwawasan sangat sederhana itu kurang suka anaknya didatangi banyak
orang.
Perasaan
tertekan kembali melanda Rasty, sampai-sampai dia mengaku hampir saja ingin
mengakhiri hidupnya dengan minum racun tikus, namun alam sadarnya masih
mengingatkan bahwa pilihan itu tidak menyelesaikan masalah. Suatu ketika, Rasty
dihadiahi sebuah telepon genggam oleh seseorang sehingga memudahkannya
berinteraksi dengan teman-teman di dunia maya dan media cetak. Hingga ia
bertemu dengan seorang anggota Komnas Perempuan dan seorang pimpinan sebuah
lembaga sosial di Jogja, berkat merekalah Rasty bisa sampai di tempat
tinggalnya sekarang, Wisma Tunaganda. Walaupun sempat ada pertentangan dari
keluarga yang tidak begitu saja mau menyerahkan Rasty, namun setelah diberikan
pengertian, akhirnya kedua orang tua Rasty memberikan lampu hijau untuk membawa
Rasty dan mereka sadar bahwa putri mereka berada di tempat yang tepat. Disana
Rasty selain meneruskan hobinya menulis, dia juga kembali menekuni kegemarannya
membuat aksesori seperti bros yang dijual kepada pengunjung panti. Rasty yang
tunadaksa mempunyai naluri seperti gadis lain. Ingin punya banyak kawan, ingin
dicintai, ingin tidak terlalu tergantung pada orang lain dan yang paling didambakannya,
“Ingin menjadi penulis terkenal”.
2. Ridzky Si
Tampan Penyandang Autis
Sebagai orang
tua anak special needs, Farhan,
presenter yang cukup terkenal di Indonesia ini meyakini ada 3 hal penting yang
sebaiknya dijadikan pegangan dalam mengarungi hidup bersama anak penderita
autis, yaitu: melakukan assessment (penilaian), terbuka kepada
lingkungan dan menetapkan sasaran/target terapi. Si sulung, Ridzky, buah hati
Farhan adalah penyandang autis. Lelaki berusia 14 tahun itu duduk di bangku
kelas VI di sebuah sekolah inklusif berkat kesabaran dan keuletan Farhan
bersama isterinya, Aryati dalam menjalani terapi, mengasuh, merawat dan
mendidik Ridzky.
Penilaian
terhadap anak-anak autis harus dilakukan agar orang tua realistis dan tidak
membohongi diri sendiri bahwa anaknya normal-normal saja. Jujurlah pada diri
sendiri bahwa si anak mempunyai kelainan dan berkebutuhan khusus, sehingga bisa
segera mencari peluang untuk mengatasinya. Agar orang tua yang bersangkutan
tidak kehilangan untuk mendapatkan informasi yang terus berkembang tentang
penyandang autis dan aspek-aspek terkait lainnya. Selain itu, anak autis atau berkebutuhan
khusus juga jangan disembunyikan, lakukan sesuatu agar keadaan si anak tidak
memburuk.
3. Muhammad
Bagja, Anak Down Syndrome yang Penuh Empati
Aneka rasa berkecamuk
di dada Teti Ichsan seorang sarjana Pendidikan jurusan Psikologi dan Bimbingan
dan mengambil gelar Magister Psikologi Kesehatan Universitas Indonesia serta
penulis-peneliti down syndrome ketika
anak keduanya, Muhammad Bagja Madani, didiagnosis sebagai down syndrome, di usia 4 bulan. Tidak heran muncul sikap
ambivalensi sebagai orang tua. Di satu sisi ia sangat mencintai dan ingin
melindungi, di sisi lain muncul perasaan sedih dan berduka. Awal dari sikap
penerimaan orang tua dapat terlihat ketika mereka mulai fokus memperhatikan
aspek-aspek tumbuh kembang anak mereka. Seperti perkembangan motorik kasar,
motorik halus, pemahaman bicara dan sosialisasi.
Aktivitas Bagja, meskipun
perkembangannya mengalami keterlambatan, Bagja juga beraktifitas seperti anak
lainnya. Selain itu, dia juga mengikuti terapi untuk mengoptimalkan tumbuh
kembangnya. Terapi yang diikuti Bagja antara lain:
a. Terapi
Okupasi: merupakan stimulasi yang bertujuan meningkatkan kemampuan fungisional
dan kemandirian fisik maupun mental melalui aktivitas bermain yang memiliki
tujuan/makna tertentu.
b. Terapi
wicara: merupakan stimulasi untuk meningkatkan kemampuan berbahasa verbal
dengan baik, melalui komunikasi dua arah, artikulasi, bahasa dan pengembangan
bicara suara dan irama.
c. Program
akustik: merupakan program yang bertujuan untuk menstimulasi kegiatan yang
lebih terarah dan bermakna, melalui latihan koordinasi auditori, visual,
kinestetik, ekspresi dan persepsi bunyi.
d. Pedagogi:
adalah etode pembelajaran untuk membantu meningkatkan kemampuan akademik dengan
memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses belajar.
e. Program
life skill: melatih anak-anak
berkebutuhan khusus agar memiliki keterampilan dasar. Dan juga menstimulasi
pengenalan konsep, pemahaman, kemandirian serta mengarahkan minat dan bakat
anak.
f. Berenang:
dapat mengembangkan aspek kognitif, afeksi dan psikomotorik. Hal ini dapat
bermanfaat dalam menumbuhkan keberanian, percaya diri, disiplin, kerja sama,
modofikasi peilaku dan emosi serta pengalaman relaksasi.
Kini di usia yang ke-13
Bagja dapat berlari kencang padahal dia lahir dengan tonus otot yang lemah.
Bagja dapat menonton film kesukaannya padahal dia terlahir dengan kondisi mata
minus 5. Selanjutnya Bagja dapat turut berjamaah di mushola padahal dulu dia
tidak dapat duduk dengan tenang sekalipun dalam hitungan detik. Dan yang paling
mengharukan, Bagja bisa membuatkan segelas teh manis kepada ibunya jika sedang
sibuk mengetik, memeluk orang tua dan kakaknya ketika lelah, betul-betul Bagja
penuh empati.
4. Michael
Anthony, Peraih Rekor Muri
Michael Antony (9)
ketika berusia 6,5 tahun pernah meraih rekor MURI sebagai: pianis tunanetra dan
autis termuda. Ibunya, Meta, bercakap dengan saya ketika mengisahkan awal mula
putranya diketahui berkubutuhan khusus. Michael baru berusia tiga bulan ketika
Meta membawanya spesialis mata. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa bayi
Meta yang lahir prematur ini menderita retinopathy
of prematury (ROP) stadium 4. Pengobatan bagi Michael dilanjutkan ke
Amerika Serikat untuk menjalani operasi mata dan hasilnya baik, lalu mereka
kembali ke tanah air. Enam bulan setelah di operasi, matanya diperiksa lagi,
ternyata retinanya tidak berkembangnya.
Sejak itu, perempuan
yang berprnti membawa profesi sebagai dokter gigi tersebut berhenti membawa
Michael berobat dan hanya fokus pada perkembangan yang ada. Paling-paling hanya
ke pengobatan alternatif dan ke seorang Romo. Suatu ketika Michael merasa
terganggu oleh piano yang dimainkan oleh kakaknya. Tetapi tanpa diduga, di sia
2 tahun, dia malah mendekati piano dan mulai menekan-nekan tutsnya. Barangkali
karena sering mendengar, tiba-tiba dia bisa meniru lagu yang biasa dibunyikan
oleh tukang es keliling. Sejak itu setiap hari Michael diajari main piano oleh
kakaknya. Meta juga mendaftarkan Michael les piano klasik. Terlihat sekali jika
Michael “kesemsem” pada piano.
Walaupun Michael pernah
menjadi juara 1 lomba piano untuk anak-anak autis dan juara 3 lomba piano untuk
umum, dia tidak mengerti apa itu arti juara. Menurut Meta kalau lomba, Michael
hanya tahu harus latihan lagu wajib berulang-ulang, tampil sebaik mungkin dan
tersenyum ketika mendengar tepuk tangan hadirin. Menangani anak seperti Michael
menurut Meta tidak susah asalkan sesuai dengan kemauan dia dan setiap rutinitas
terjadwal dengan baik. Misalnya pagi ke sekolah, siang terapi, sore les dan
seterusnya. Jika ada perubahan mendadak tanpa pemberitahuan pasti Michael
kesal. Sama seperti ribuan orang tua lain, Meta tentunya ingin punya anak
normal. Namun Meta enjoy, anak ada
jalannya sendiri-sendiri. Tidak perlu dipikirkan berkepanjangan. Karena ia
melihat ada perkembangan dalam diri Michael. Jadi jalani saja.
2.6 Dedikasi
Sosok di Belakang Anak Special Needs
Jika
ingin melihat senyum mengembang yang tak pernah lepas dari anak-anak speciaal needs , itu tak lepas dari
peran serta guru, terapis, care giver
serta para pendamping yang dengan ikhlas menuntun mereka ke arah kemandirin.
Berikut adalah sedikit perbincang-bincangan dengan mereka, yaitu:
1. Krustina,
Kepala Panti Sekaligus Ibu
Kristanti ingat betul
sewaktu datang ke panti tunaganda dengan niat sekedar mampir belaka. Kristanti
memiliki ijazah sebagai pelajar Sekolah Menengah Atas Pekerja Sosial di
Semarang, sehimgga tak asing dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Hal yang
mula-mula mengusik perhatian Kristanti justru adalah penampilan para penghuni
pengasuh panti yang di matanya “begitu-begitu” saja dan kurang menarik. Merasa
punya kebiasaan dalam hal merias, ia menahan gemas dan minta izin kepada kepala
panti saat itu untuk mengajari para pengasuh trik bermake up. Kegemasannya
merambat ke urusan potongan ala kadarnya rambut anak-anak panti, maka dengan
suka rela Kristanti menjadi semacam penata rambut disana.
Hati kecil “berbisik”
mengajak Kristanti bekerja sepenuhnya di panti. Namun idealisme atas materi
tersebut akhirnya runtuh juga, saat menyadari bahwa sambutan gembira selalu
diterimanyadari anak-anak panti setiap ia muncul. Tekadnya pun berseru, mengapa
mesti setengah-setengah jika bisa terjun total dalam jenis kebaikan yang
disukainya pula. Profesi care griver
yang memerlukan kesabaran tinggi dengan honor yang membuat kita bertanya-tanya
apakah itu cukup, tentunya manusiawi jika mereka dihinggapi rasa jenuh dan
kekesalan yang sewaktu-waktu dapat meledak. Menyikapi kondisi care giver yang sedang turun, Kristanti
selalu berupaya memberikan penyejuk dan pereda emosi.
2. Remaja-remaja
diajak berbagi
Dalam melakukan
kebaikan kepada sesama Kristanti berusaha tidak statis tetapi terus melakukan
pengembangan dan perbaikan. Kristanti tak percaya hukuman atau sanksi tegas
kepada siswa bermasalah bisa memberikan efek jera. Ia lebih condong pada metode
pendekatan secara kemanusiaan untuk memberikan efek membangunkan nurani. Remaja-remaja
peserta konseling diajak terlibat langsung dalam kegiatan merawat para
tunaganda di panti agar mereka benar-benar meresapi makna hidup adalah menjadi
bermanfaat bagi lingkungan dan sesama mereka.
3. Shilfi
“Jatuh Cinta” pada anak-anak SLB
Bagi Shilfiani Kaisi,
pengalaman paling berharga yang didapatnya ketika menjadi guru SLB C
(tunagrahita) adalah berhasil memotivasi anak-anak yang dibimbingnya menjadi
suka pergi ke sekolah, menumbuhkan rasa kasih sayang dan kepercayaan diri
mereka. Kecintaan kepada murid-muridnya akhirnya membuat dia menjalani
profesinya itu selam 2,5 tahun dan keluar dari sanahanya karena sarjana jurusan
administrasi negara ini ingin lebih mencurahkan perhatian pada pengasuhan
bayinya yang baru berusia 18 bulan. Tidak pernah terlintas sebelumnya dalam
benak Shilfi akan menjadi guru di sana. Pertama karena jurusan pendidikannya
bukan untuk itu, kedua karena dia tidak minat. Namun, ia suka bermain ke SLB
karena ayahnya kepala sekolah disana. Namun kemudian ia malah bertahan disana.
Suatu ketika ibunda
Shilfi meninggal dunia, mengakibatkan luka di hatinya, rasa kehilangan dan
kesedihan mendalam yang berkepanjangan. Melihat kesedihan ini, ajakan untuk
menjadi shadow teacher (guru
pendamping) malah datang dari teman-teman ayahnya. Salah satu dari alasan yang
mendorong dia untuk menerima tawaran menjadi shadow teacher adalah agar bisa terus mendampingi ayahnya yang
mulai kurang sehat akibat penyakit diabetesnya. Setelah beberapa bulan menjadi shadow teacher, Shilfi diangkat menjadi
guru tetap kelas yang harus mengajar semua mata pelajaran seperti yang diajarkan
di SD dan SMP reguler. Hanya saja untuk SLB Tunagrahita ada pelajaran lain yang
disebut binadiri agar anak-anak SD dan SMP itu bisa mandiri serta pelajaran
keterampilan bagi siswa-siswa SMA. Belajar menjadi guru berarti bagi Shilfi
harus terus membuka mata, banyak bertanya baik kepada guru lain, maupun kepada
para orang tua siswa sera membaca sebagai literatur.
Situasi tak biasa yang pernah dihadapinya sebagai guru SLB
adalah menenangkan anak-anak yang suka mengamuk. Pada beberapa siswa
tunagrahita, kondisi yang tidak nyaman dalam dirinya apakah itu datang dari
teman-temannya atau dari dirinya sendiri, bisa memicu kemarahan dan
dilampiaskan dengan mengamuk. Jadi kalau sudah terlihat gejalanya, muter-muter dan gelisah, anak-anak lain
diminta guru menjauh. Pengalaman tak terduga pada Shilfi saat pelajaran
olahraga, ia berusaha menahan dengan kuat agar kerudung tidak terlepas,
akibatnya lehernya keseleo. Mengajar anak-anak yang masih SD selama dua tahun
berturut-turut kerap melibatkan emosi. Bagaimana tidak, dua anak duduk
sebangku, tetapi mereka tidak bisa saling bicara dan saling kenal. Diam-diam
Shilfi menangis di kelas. “saya mencucurkan air mata ketika ibu meninggal dan
selalu berulang ketika terkenang almarhumah. Tetapi saya bisa membayangkan
berapa banyak air mata yang tertumpah dari mata para ibu yang anaknya
berkebutuhan khusus,” kata Shilfi terharu.
4. Pak
To Kesayangan Keluarga
Saya kenalkan seorang
“anak spesial”, tapi sudah berumur kepala 7. Bukan sekedar Pak To nya yang
penyandang tunagrahita dan sebatang kara, tapi, siapa di balik sosok sepuh
iniyang tidak pernah bersekolah, tidak mengenal siapapun kecuali lingkungan
terdekatnya hingga mampu “eksis” sampai usia 77 tahun? Siapa orang yang
mengasuhnya? Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa perhatian khusus bagi
penyandang disabilitas tidak hanya harus di panti-panti, tapi rumah yang
nyaman, kasih sayang dari orag-orang terdekat membuat mereka merasa
“diorangkan”. Adakah Tiwi Sidarto kakak sepupu Pak To yang membawanya ketika
dia ditinggal satu demi satu oleh ayah ibu, disusul saudara-saudara kandungnya
dan pernah dititipkan di sebuah panti yang situasinya sangat memprihatinkan.
Tiwi tidak menyekolahkan Pak To karena pada zaman itu belum ada sekolah-sekolah
khusus. Tiwi juga kurang paham apa sebenarnya yag diderita sepupunya itu.
Bicara kurang tertata, kemampuan berpikir lambat, tapi yang jelas Pak To
dilahirkan oleh seorang ibu yang sedang sakit dan sempat mengonsumsi obat di
masa kehamilan.
Meski tidak bersekolah,
tidak pernah diterapi khusus, keluarga besar Tiwi melimpahinya dengan kasih
sayang yang tulus serta kamar sendiri
tempat Pak To beristirahat dengan nyaman setelah nonton film kartun
kesukaannya. Perhatian kecil itu sudah membuat Pak To tertawa kegirangan dan
kembali nonton tayangan komedi di televisi. Sikap Tiwi yang penuh perhatian
tapi tegas, sedikit demi sedikit membawa dampak positif bagi mental Pak To,
diantaranya kebiasaan “ngompol” langsung berhenti akibat “ancaman halus” Tiwi.
Demikian juga “terapi” untuk membersihkan diri sendiri sehabis membuang hajat
besar, dipatuhi Pak To dengan benar.
Adapun Imam, seorang
asisten laki-laki yang tugasnya bersih-bersih rumah dan taman (yang kini
disekolahkan Tiwi untuk kuliah lagi) adalah pendamping setia Pak To. Imam
menemani tidur bahkan mengolesi tubuh Pak To dengan obat gosok apabila masuk
angin. Riang nian wajah pak To ketika saya menyapanya. Berulang kali dia
mengatakan tinggal di rumah mbak Tiwi yang baik hati, senang jalan di sekitar
kebun dan tak berani keluar rumah karena takut diculik.
2.7
Fakta, Dilema, dan Harapan
1. Aksebilitas
Kurang Memadai
Rina Prasarani seorang aktivis penyandang cacat yang juga
menjabat Sekjen World Blind Union, dan juga Sekjen Persatuan Tunanetra
Indonesia (Pertuni) mengingatkan sebetulnya Indonesia sudah meratifikasi
konvensi hak-hak penyandang disabilitas dalam menerima pendidikan yang bermutu
tingggi dan memperoleh pekerjaan yang bermartabat. Selama ini masyarakat belum
menyadari bahwa tinggi rendahnya seorang disabilitas tergantung dari sikap dan
interaksi masyarakat itu sendiri. Bagaimana mungkin seorang tunanetra akan
mengembangkan daya intelektualnya bila masyarakatnya sendiri tidak bersedia
memfasilitasi, seperti laptop yang bisa bicara, buku-buku braille, browsing internet bahkan facebookan yang sedang marak
sekarang.
Selain itu fasilitas sering sekali “salah garap” karena pihak
pengembang tidak bersedia berkonsultasi dengan penyandang disabilitas yang
mereka anggap lemah dan tidak mengerti apa-apa. Akhirnya terjadilah akses jalan
bagi tunanetra yang pemasangannya tidak tepat, seperti guilding blok dan
warning blok sering tertukar. Seharusnya sekolah luar biasa yang memiliki
guru-guru “spesialis anak-anak berkebutuhan khusus” (GPK), memberikan
konstribusinya selain untuk mendampingi anak-anak spesial bagi guru pendamping,
juga mengajarkan kepada Sekolah dan guru-guru reguler bagaimana mengatur
kurikulum yang tepat, mempergunakan bahasa isyarat atau konsep berhitung yang
serta menciptakan lingkungan yang kondusif. Kepada anak spesial nedds Rina
berharap mereka mau berinteraksi dengan mengenalkan diri terlebih dahulu kepada
masyarakat.
2. Sumber Manusia
Pendidikan
inklusif tidaklah sekedar menempatkan siswa berkelainan secara fisik dalam
kelas reguler dan bukan pula sekedar memasukan mereka sebanyak mungkin dalam
lingkungan belajar siswa normal. Selain itu pendidikan inklusif juga berkaitan
dengan cara guru dan teman sekelas yang normal menyambut semua siswa dalam
kelas dan secara langsung mengenali nilai – nilai keanekaragaman siswa. Dr
Mudjito,
A.K., M. Si, Direktur Pembinaan PKLK Pendidikan
Dasar menyatakn ketidaksiapan sekolah
melakukan penyesuaian terhadap program inklusif pada dasarnya menyangkut ketersediaan sumber daya manusia yang belum
memadai. Disamping pemberdayaan guru
umum, juga keterbatasan guru pembimbing khusus.
GBK
peranannya adalah memberikan program
pendampingan pembelajaran bagi peserta didik
berkebutuhan khusus. Kendala itu belum termasuk rendahnya dukungan warga
sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan
mereka. Menyadari kekurangan di atas,
maka perlu adanya kompetensi guru secara
khusus diantaranya melalui diklat dan dalam kontek sekolah, perlu penyesuaian
dalam manajemen sekolah, yaitu mulai dari cara pandang, sikap personil sekolah sampai pada proses pembelajaran
(kurikulum) yang berorientasi pada
kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
3. Keteteran Menampung
ABK Karena Sekolah Lain Enggan Menerim
Meski program setiap sekolah harus mampu jadi sekolah
inklusif ini telah bertahun-tahun didengungkan
pemerintah, pada kenyataanya justru “
penolakan” untuk ikut serta menjadi inklusif terjadi bukan hanya dari sekolah yang belum mempunyai nama besar. Ada juga
sekolah yang sudah memiliki “predikat
unggulan atau favorit”, tidak bersedia menerima anak-anak disabilitas. Karena sekolah itu khawatir namanya anjlok. Jalannya sistem pendidikan inklusif di sekolah-sekolah
dasar kini justru jadi kebingungan, mereka
mencoba mendaftarkan putra atau puterinya
ke SD Negeri yang jelas -jelas telah ditunjuk Diknas sebagai SD Inklusif tetapi malah mendapat penolakan.
“Kami
membatasi jumlah ABK hanya 1 murid dalam setiap kelas karena pertimbangan
kemampuan SDM yang dimiliki”. Lia Amalia
Wakil Kepala Sekolah Dasar Tunas Unggul, yang merupakan SD Swasta Inklusif di
wilayah Bandung Timur, terang – terangan mengakui keterbatasan SDM di tempatnya
bekerja berimbas kepada minimnya kouta bagi murid berkebutuhan khusus.
4. Ketika
Dilema Bersumber dari Orang Tua
Julie
Salama,
pimpinan Yayasan Salaman Al Farizi yang
mengelola Taman Kanak-kanak menjumpai langsung
dilema tersebut. Di satu sisi dia mengerti benar bahwa ABK mempunyai hak yang sama menerima pendidikan di Sekolah reguler.
Namun terkadang orang tua yang anak-anaknya
normal keberatan ada ABK bergabung bersama dengan alasan klise khawatir mengganggu murid lainnya. Sebenarnya kekhawatiran itu dapat diatasi bila murid
ABK
memiliki guru pendamping yang seyogyanya dibayar oleh orang tua murid, karena
pihak sekolah belum mampu menyediakan guru pendamping. Ironisnya orang tua ABK yang mendaftar, kebanyakan dari golongan menengah kebawah yang ekonominya terbatas. Psikolog pun memeratakan profil setiap murid seperti
karakter, sikap belajar, kemandirian, kendala belajar dan bagi anak – anak spesial, dilengkapi juga dengan identifikasi hambatan.
memiliki guru pendamping yang seyogyanya dibayar oleh orang tua murid, karena
pihak sekolah belum mampu menyediakan guru pendamping. Ironisnya orang tua ABK yang mendaftar, kebanyakan dari golongan menengah kebawah yang ekonominya terbatas. Psikolog pun memeratakan profil setiap murid seperti
karakter, sikap belajar, kemandirian, kendala belajar dan bagi anak – anak spesial, dilengkapi juga dengan identifikasi hambatan.
5. Hak
Berpolitik Belum Berprioritas
Nuning Suryatiningsih
ketua CIQAL (Centre for Improving Qualifred Activity in Life of People With
Disabilites) sebuah organisasi penyandang cacat di Yogya dan juga anggota
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sleman menyampaikan pengalaman para penyandang
disabilitas dalam hak berpolitiknya.
Mengenai
hak berpolitik penyandang disabilitas, Nuning mengakui kalau selama ini mereka
diajak bergabung dalam Parpol, hanya sebagai pelengkap bukan komitmen. Peran
dan partisipasinya belum menjadi prioritas, sehingga belum diperhitungkan
secara tegas. Oleh karena itu Nuning menyarankan agar dalam UU tentang Parpol
penting dimasukkan tentang qouta bagi penyandang disabilitas dalam daftar calon,
sehingga bukan hanya sebagai pelengkap penderita.
6.
Sinergikan Penyandang
Cacat dan Masyarakat
Praktisi
Bidang Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang
Cacat Sarsito Sarwono, menyatakan bahwa dunia
sosial terdiri atas dua kelompok, yaitu mereka yang perlu dibantu disebut
sebagai mampu membantu. Mereka yang perlu
dibantu disebut sebagai penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS), sedangkan mereka yang mampu membantu disebut potensi sumber kesejahteraan sosial (PSKS)
yang mencakup masyarakat, dunia usahadan
pemerintah. Perlu dipahami adalah bahwa
masalah sosial merupakan masalah multi dimensi, sehingga untuk menyelesaikannya perlu keterpaduan upaya dari
berbagai pihak dan berbagai disiplin
ilmu. Hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah bahwa masalah sosial tidak akan dapat terselesaikan tanpa kemauan
dan usaha dari penyandang masalahnya
sendiri.
Masalah
penyandang cacat merupakan salah satu bagian
dari 7 prioritas penanggulangan masalah
sosial yaitu kemiskinan , kacacatan, keterpencilan, ketunaan sosial, dan penyimpangan perilaku, korban bencana serta korban
tindak kekerasan, eksploitasi dan
kriminisasi. Dukungan pemeritah
dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bidang kesejahteraan sosial sudah banyak, apalagi yang berkaitan dengan
penyandang cacat. Termasuk ketentuan yang
berkaitan dengan pemenuhan hak – hak penyandang cacat dibidang sosial, pendidikan dan ketenagakerjaan, hanya sangat
disayangkan, peraturan perundang-undangan,
kurang disosialisasikan dan relatif tidak dijalankan dengan baik karena sanks pelanggarannya tidak jelas
atau malah tidak
diterapkan.
diterapkan.
Peran
orang tua beserta keluarga sangat penting
terhadap perkembangan anak penyandang cacat.
Kebanyakan penyandang cacat yang sukses dalam karirnya karena mendapat dukungan penuh dari orang tua dan keluarganya.
Masyarakat terkadang masih menganggap
memiliki anak cacat merupakan aib keluarga.padahal tidak ada satu pun pasangan suami-istri yang menginginkan punya anak
cacat.pandangan masyarakat ini perlu
diubah. Hal yang palinhg esensial dalam
upaya merehabilitasi para penyandang cacat adalah membangun kepercayaan diri dan kreativitasnya. Orang
yang percaya diri akan berani tampil dan
berani menghadapi tantangan. Sedangkan pikiran dan kreatif akan mampu memecahan masalah dan mengatasi masalah
hambatan.
7.
Peran Orang Tua Nomor
Satu
Menurut
Teti Ichsan, Ketua Perkumpulan
Peduli Anak, menegaskan sejak awal orang tua anak-anak special nedds sudah harus memiliki aspirasi megenai
perkembangan anak nantinya, mau bagaimana
dan mau diapakan. Semua hal tersebut menurutnya harus disosialisasikan dan dibangun sejak dini di dalam
masyarakat inklusif sehingga mereka akan
menghargai perbedaan serta tidak lagi memandang iba terhadap anak anak berkebutuhan khusus. Diharuskan ada stimulasi dini sejak lahir terhadap
anak dan orang tua mesti banyak menyerap
pengetahuan tentang jenis kelainan yang disandang
anak-anak.
Orang
tua juga mesti bersikap lebih terbuka kepada lingkungan dan selalu mengajak anak-anaknya
bersosialisasi dengan masyarakat. Seluruh
keluarga harus dikondisikan menerima anak-anak special needs ini dengan tangna terbuka. Itu berarti termasuk pembantu
rumah tangga, pengemudi atau pun orang-orang
di sekitarnya yang perlu diberikan pendidikan
tentang cara merawat, mendampingi, dan mengajak bermain anak–anak tersebut sehingga mereka turut mengasuh dengan tulus.
Banyak orang tua anak-anak special needs berkaca
pada keberhasilan sebagian dari mereka
yang dianggap mampu mencapai rekor pada bidang
tertentu. Di saat anak itu tidak berhasil pada bidang tertentu. Di saat anaknya sendiri tidak berhasil pada titik itu orang
tua malah menjadi depresi sendiri, terutama
bagi anak down syndrome dimana mereka
mempunyai keterlambatan berpikir dan
penanganan yang tidak sama jika dibandingkan dengan anak penyandang tunadaksa.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
“Anak-anak spesial”
adalah julukan manis untuk anak spesial needs, anak berkebutuhan khusus (ABK),
yang dipergunakan oleh para orang tua yang putra-putrinya menyandang predikat
tersebut. Biasanya pemakaian singkatan ABK ini diterapkan di berbagai lembaga pendidikan
seperti di sekolah, tempat terapi atau universitas. Bagi masyarakat, terutama di perkotaan, ABK yaitu
anak-anak yang menyandang kelainan ataupun kekurangan secara fisik dan mental.
Adapun yang disebut
anak-anak berkebutuhan khusus atau anak-anak special needs adalah: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, down
syndrome, autis, ADHD, tunadaksa, tunalaras, tunawicara, tunaganda, kesulitan
belajar, dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya.
Keberadaan SLB
merupakan solusi pertama bagi pemenuhan seluruh warga negara berkebutuhan
khusus dalam mendapatkan keterampilan primer. Dengan adanya sekolah inklusi
saat ini merupakan alternatif bagi anak berkebutuhan khusus terutama bagi anak
yang kesulitan belajar. Yang dimaksud dengan kesulitan belajar atau gangguan
belajar (learning disorder) adalah
gangguan belajar pada anak yang ditandai dengan adanya kesenjangan yang
signifikan antara intelegensi dengan kemampuan akademik yang seharusnya
dicapai. Adapun pengenalan dini pada perkembangan anak merupakan suatu proses
yang penting untuk memahami potensi dan kebutuhan mereka. Semakin dini proses
ini dilakukan, maka upaya pengembangan potensi anak juga semakin efektif.
Identifikasi dini pada masa sekolah sangat menentukan perkembangan anak-anak di
masa mendatang.
3.2 Saran
Adanya kerjasama antara
orang tua dan pihak sekolah atau pembimbing dari peserta didik yang mengalami
kesulitan belajar. Menciptakan lingkungan yang mendukung potensi serta minat
dan bakat peserta didik, sehingga peserta didik dapat mengeksplor potensi yang
dimilikinya dan membangun kepercayaan diri dari peserta didik. Pendidik
diharapkan mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas mengenai penanganan
kesulitan belajar yang dialami peserta didik, pendidik serta orang tua
berinovasi untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran peserta didik. Selain itu,
pendidik diharapkan melakukan komunikasi yang intens dengan peserta didik
ataupun dengan orang tua. Sehingga, dapat menemukan solusi cara pembelajaran
yang tepat untuk setiap peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Pandji,
Dewi. 2013. Sudahkah Kita Ramah Anak Special Needs. PT. Gramedia :
Jakarta.
waw bagus niee
BalasHapusya, sama-sama kingkong
BalasHapusterimakasih Darsani