Selasa, 05 November 2013

NASKAH MONOLOG "POHON USANG DITENGAH TAMAN"

SEORANG PEMAIN MEMASUKI SEBUAH AREA PERTUNJUKAN (PANGGUNG) KEMUDIAN MENANGIS TERSEDU, LALU TERTAWA, DAN BERLARI RIANG GEMBIRA MENUNJUKAN KEBAHAGIAANNYA YANG TERSEMBUNYI DALAM KESEDIHAN  MENUNGGU KEMATIAN

Aku adalah dambaan setiap diri manusia. Bagaimana tidak? Aku indah, tubuhku molek, berdiri tegar ditengah taman kota. Semua orang memandangiku, berlomba mendekatiku, aku adalah sang pemberi kedamaian, sejuk dalam dekapanku, tenang dan damai dalam pelukku. Yang sedih, yang menangis, yang gembira, yang tertawa, mereka beradu meminta perlindunganku dari kejamnya sang pemilik cahaya pagi. aku selalu siap menemani mereka, tak lelah aku dengar keluh kesahnya, berbagi canda tawanya, seringkali angin pun merebak berbisik mengajakku menggelitik mereka. tapi kini tidak lagi seorang pun sudi melihat keringnya tubuh ini, hampanya jiwa ini, tidak! Tidak seorang pun ! angin pun sudah tak lagi menyapaku. Kau kini nampak tua, bagaimana mungkin aku sudi berbisik mengajak kau menggelitik jiwa-jiwa itu! kau tak akan mampu memberikan kedamaian lagi. Sudahlah tunggu saja waktumu hingga ranting-ranting dan batangmu habis terkikis termakan rayap yang perlahan menggerogotimu hingga akhirnya kau pun tumbang. Atau kau mau menunggu amarahku? dan membiarkan aku meniupkan kedamaian abadi untuk kau, hingga ke akar-akar mu di muara kegelapan sana? Aku sendiri, ditengah taman yang hening dalam keramaian, yang kaku dalam pilu, yang ragu dalam derasnya waktu, yang menunggu mati karena sepinya ditinggal sang pemburu.

KEMUDIAN  MENJERIT.... DAN MENANGIS...
_END_

by
 DWI P. H

Rabu, 23 Oktober 2013

MAKALAH BIMBINGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus tidak hanya anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras saja. Anak autistik merupakan anak berkebutuhan khusus. Anak autistic memiliki jumlah yang cukup banyak dilingkungan masyarakat. Autism merupakan suatu kelainan yang serius dan kompleks. Kelainan ini serius karena didapati kelainan neuroanatomis yang permanen pada otak kecil, system limbic dan lobus parietalis. Anak ini juga membutuhkan suatu layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya untuk mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya.
Media informasi yang kini dibangun dan mengalir di mana-mana seakan memberi secercah pengetahuan tambahan dan juga kesadaran untuk bersikap jauh lebih terbuka mengenai keberadaan anak-anak special nedds ini. Keluarga yang memiliki putra-putri berkebutuhan khusus pun tak lagi mesti malu, apalagi menyembunyikan keberadaan buah hati mereka. Perlu disadari bahwa keberadaan anak-anak dengan kondisi berbeda yang membaur di lingkungan kita bukan lagi menjadi hal yang tabu atau ditampik. Mewujudkan kesetaraan hak, kesempatan hidup semua manusia terlepas dari bagaimana pun kondisi fisik dan psikis adalah suatu keniscayaan yang kian hari kian dituntut manifestasinya. Di lembaga pendidikan, pada lapangan kerja, individu berkebutuhan khusus akan semakin sering kita temui sebagai implementasi dari persamaan hak tersebut. Mungkin kita tak lagi setengah-setengah dalam mengenali seseorang yang dilahirkan spesial.

1.2    Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus” yang diberikan oleh dosen pengampu yaitu Dr. Ahmad Waki, M.A. Selain itu untuk memberikan suatu pengetahuan kepada mahasiswa sebagai bahan diskusi kelas.

1.3    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu sebagai berikut:
a.     Apakah yang dimaksud dengan anak Special Needs ?
b.    Siapa saja yang termasuk anak Special Needs ?
c.     Bagaimana penanganan anak special needs dalam sejarah ?
d.    Bagaimana pendidikan anak Special Needs ?
e.     Bagaimana Profil  Anak Special Needs dan Orang Tuanya ?
f.     Bagaimana Dedikasi Sosok di Belakang Anak Special Needs ?
g.    Apa Penjelasan Fakta, Dilema, dan Harapan bagi Anak Special Needs

1.4    Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode pustaka, yaitu dengan melihat sumber dari buku.

1.5    Sistematika Penulisan
 Berikut adalah sistematika penulisan makalah ini :
BAB I        Pendahuluan terdiri atas latar belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah,   metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II    Pembahasan terdiri atas pengertian anak special needs, Macam-macam anak special needs, penanganan anak special needs dalam sejarah, pendidikan znak special needs, profil anak special needs, dedikasi sosok di belakang anak special needs, fakta, dilema, dan harapan anak special needs.
BAB III     Penutup terdiri atas Simpulan dan saran.

Untuk mempertanggungjawabkan penulisan disertai daftar pustaka.





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pegertian anak Special Needs
“Anak-anak spesial” adalah julukan manis untuk anak spesial needs, anak berkebutuhan khusus (ABK), yang dipergunakan oleh para orang tua yang putra-putrinya menyandang predikat tersebut. Biasanya pemakaian singkatan ABK ini diterapkan di berbagai lembaga pendidikan seperti di sekolah, tempat terapi atau universitas. Bagi  masyarakat, terutama di perkotaan, ABK yaitu anak-anak yang menyandang kelainan ataupun kekurangan secara fisik dan mental.  
Prof. Frieda Mangunsong, guru besar Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa pengertian anak yang tergolong luar biasa atau memiliki kebutuhan khusus adalah: “Anak yang secara signifikan berbeda dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional. Juga anak-anak yang berbakat dengan intelegensi yang tinggi dapat dikategorikan sebagai anak khusus atau luar biasa karena memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga profesional”.
Adapun beberapa istilah yang sering kita dengar namun nampak keliru dalam mengartikannya, diantaraya:
1.    Impairment atau kerusakan
Ini berkaitan dengan suatu penyakit atau rusaknya suatu jaringan dalam tubuh sehingga menibulkan kekhususan pada diri seseorang. Sebagai contoh, bayi yang kekurangan oksigen pada saat proses kelahirannya akhirnya mengalami kerusakan otak dan syaraf lainnya, akhirnya terjadilah kelumpuhan otak (cerebral palsy).
2.  Disability atau kekhususan
Hal ini menunjukkan konsekuensi fungsional dari kerusakan bagian tubuh yang dialami seseorang. Contohnya, seseorang yang pertumbuhan kakinya menjadi tidak normal akibat terjangkit polio. Untuk selanjutnya ia tidak bisa beraktivitas leluasa apabila tidak dibantu dengan alat penunjang khusus seperti kruk, kursi roda, atau kaki palsu.


3.    Handicapped atau ketidakmampuan
Hal ini merupakan konsekuensi sosial yang dialami seseorang berkebutuhan khusus ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai contoh, seorang tunanetra bisa membaca tetapi tentu saja ia tak mungkin membaca huruf awas dan hanya dapat membaca huruf Braille. Sehingga apabila seorang tunarungu dapat melakukan perjalanan jauh seorang diri dengan berpatokan pada peta konvensional dan papan petunjuk jalan, seorang tunanetra tidak bisa melakukan hal yang sama tanpa orang lain yang mendampingi, atau perangkat teknologi yang mentransfer tampilan visual ke audio.
2.2  Macam-macam Anak Special Needs
Ada beberapa anak-anak special needs yang bisa kita sebut populer di Indonesia karena tergolong mudah ditemui atau sekedar mendengarnya dalam berbagai kesempatan. Siapa saja yang disebut anak-anak berkebutuhan khusus atau anak-anak special needs ini, mereka adalah sebagai berikut:
1.    Tunanetra
Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan, dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu buta total (blind) dan low vision.  Tunanetra tidak berarti selalu tidak mampu melihat secara keseluruhan.
Dalam konteks individu berkebutuhan khusus, tunanetra berarti setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada indra penglihatan seseorang sehingga mengalami kendala dalam beraktivitas dan akhirnya, mereka pun memerlukan alat khusus yang dapat membantu penglihatan atau menggantikan fungsi matanya. Oleh karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan, maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain, yaitu indra peraba dan indra pendengaran, sebab itu prinsip yang harus diperhatiakn dalam memberikan pengajaran kepada individu-individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat faktual dan bersuara. Contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. Sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.
Anak yang buta sejak lahir secara alamiah memiliki persepsi tentang dunia yang jelas berbeda daripada anak yang kehilangan penglihatannya pada usia 12 tahun. Kerusakan penglihatan sejak lahir disebabkan bermacam-macam penyebab seperti faktor keturunan atau infeksi misalnya campak Jerman yang ditularkan ibu saat janin masih dalam proses pembentukan disaat kehamilan.
2.    Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen. Alat untuk mengukur kemampuan dengar secara kuantitatif disebut audiometric. Dari pemeriksaan menggunakan audiometric dapat diperoleh klasifikasi kemampuan mendengar suara sesuai level yang dinyatakan dalam satuan desibel (dB). Dari mulai gangguan pendengaran sangat ringan, dimana penderitanya tidak bisa menangkap jelas suara bisikan sampai pada gangguan pendengaran ekstrem (tuli) yang tidak bisa mendengar dering telepon atau keramaian lalu lintas besar.
Karena memiliki kesulitan dalam pendengaran, individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Individu tunarungu juga cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Masalah yang dihadapi oleh anak tunarungu cukup berat  dan biasanya bersumber dari kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi.
Pendekatan komunikasi yang banyak digunakan pada anak tunarungu, yaitu latihan pendengaran, oralism, manualism, dan komunikasi total. Latihan pendengaran secara sistematis mengembangkan kemampuan anak untuk menyadari dan membedakan:
a.    Suara-suara yang mencolok, termasuk suara-suara lingkungan.
b.    Pola irama berbicara dan irama musik.
c.    Pengenalan huruf hidup.
d.   Penegnalan huruf mati.
e.    Bicara dalam situasi ramai atau bising.
Indikator yang bisa dengan mudah kita lihat untuk menengarai gangguan pendengaran pada seorang anak, diantaranya:
a.    Perkembangan bahasa terlambat. Dalam tahun pertama kehidupannya, anak tunarungu mengeluarkan bunyi-bunyian tidak berbeda dengan anak normal. Memasuki usia 12-18 bulan, anak normal mulai menggunakan kata-kata pertama sementara anak tunarungu belum menampakkan kemampuan membunyikan kata-kata yang terarah. Pada usia 2 tahun jika seorang anak masih juga belum memperlihatkan kemampuan berbicara, patut dicurigai ia mengalami gangguan pendengaran dan tentunya dibutuhkan serangkaian diagnosis klinis untuk lebih memastikan.
b.    Memperdengarkan suara terlalu lembut ataupun keras tanpa ia menyadari.
c.    Berulang kali menanyakan sesuatu yang baru saja disampaikan, lambat bereaksi terhadap suatu instruksi karena tidak menangkap pesan secara utuh, salah menginterpretasikan atau sering meminta seseorang mengulangi perkataannya.
d.   Sulit mengulangi suara, kata-kata, lagu, irama, atau mengingat nama.
e.    Bingung membedakan kata yang bunyinya hampir sama atau membuat kesalahan dalam pelafalan kata-kata (seperti menghilangkan konsonan di akhir kata).
f.     Konsentrasi berlebihan terhadap wajah dan gerak mulut pembicara.
g.    Mengalami keluhan fisik seperti merasa ada suara bising di telinga, nyeri di telinga, merasa ada benda di dalam telinga, mendengar dengungan, sering demam dan mengalami infeksi seputar telinga hidung tenggorokan.
Berbagai macam penyebab ketunarunguan dibagi dalam empat hal besar yaitu: trauma, penyakit, herditer, dan kelainan genetik. Trauma misalkan akibat tusukan benda tajam kedalam telinga atau benturan di kepala yang merusak syaraf pendengaran. Penyakit seperti virus rubella dalam masa kehamilan dan sifilis kongenital.

3.    Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki tingakat intelegensia. Istilah seperti cacat mental, bodoh, dungu, pandir, lemah pikiran adalah sebutan yang terlebih dulu dikenal sebelum tunagrahita. Grahita sendiri artinya adalah pikiran dan tuna adalah kerugian. Klasifikasi tunagrahita berdasarkan :
a.       Tunagrahita ringan (IQ : 51-70)
b.      Tunagrahita sedang ( IQ : 36-51)
c.       Tunagrahita berat ( IQ : 20-35)
d.      Tunagrahita sangat berat ( IQ dibawah 20 )
Penyebab seorang anak menjadi tunagrahita begitu beragam, mulai dari infeksi, trauma fisik, kelainan genetik, kelainan prematur dan lain sebagainya. Secara garis besar terjadinya tunagrahita adalah bersumber dari luar, seperti paparan sinar X-Rays, pengaruh zat-zat yang bersifat toxic kerusakan otak saat lahir atau terjangkit virus penyakit dan bersumber dari dalam, sepeerti abnormalitas pembentukan kromosom.
Kita masih sering menyamakan tunagrahita dengan down syndrome. Yang benar adalah down syndrome merupakan salah satu bentuk retardasi mental yang menunjukan keterbatasan signifikan dalam fungsi intelektual maupun adaptif. mitos-mitos lain mengenai tunagrahita yang semestinya mulai ditepiskan adalah:
a.    Terbatasan intelektual tunagrahita tidak mentok tanpa perkembngan sepanjang hidupnya. Dengan latihan, motivasi dan pendidikan khusus, tunagrahita terutama yang hanya ringan sampai sedang perkembangan kemampuan mereka dapat meningkat secara baik dalam bidang apapun yang memungkinan bagi meraka.
b.    Tunagrahita bisa dideteksi sejak dari bayi. Ini lebih cocok berlaku bagi penyandang down syndrome yang sejak lahir memiliki tampilan fisik berbeda atau sewaktu masih janin didalam rahim dapat dilakukan test pendeteksi sendiri.
Secara statistik, sindroma down adalah sumber gangguan yang terjadi sebesar 5-6 % dari total kasus tunagrahita. Meski terhitung sedikit jika dilihat dari jumlah keseluruhan kasus tunagrahita, down syndrome lebih menyita perhatian karena karaktersistik fisiknya yang mudah dikenali. Seorang DS (down syndrome) bisa memiliki beberapa atau semua ciri khas seperti dagu sangat kecil, mata sipit dengan lipatan kulit di sudut dalam mata, kelemahan otot-otot, hidung datar, garis telapak tangan hanya satu, lidah menonjol, wajah sangat bulat dan ukuran kepala yang besar.
DS (down syndrome) dikenal juga dengan istilah Trisomy 21 yakni terjadinya kelainan pada kromosom ke-21. Penyimpangan tersebut tertangkap dalam penelitian oleh dr. Jerome Lejeune di tahun 1959. Normalnya jumlah kromosom seorang manusia adalah 46 pasang, tetapi seorang DS (down syndrome) memiliki 47 pasang kromosom.
Menurut Dra. Teti Ichsan, M.Si, peneliti down syndrome, salah satu dampak dari abnormalitas kromosom 21 pada anak yang memiliki DS adalah keterbelakangan intelektual yang erat kaitannya dengan kemampuan akademik, kecerdasan majemuk, memberikan ruang untuk dapat berkembangnya berbagai unsur-unsur dari kecerdasan tersebut. Namun apabila mereka difasilitasi, didorong, dan diberi kesempatan dalam mengembangkan kecerdasan tersebut, tidak menutup kemungkinan mereka mampu mencapai optimalisasi sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
4.    Autisme
Autisme yaitu penarikan diri yang ekstrem dari lingkungan sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi, serta tingkah laku yang terbatas dan berulang yang muncul sebelum usia 3 tahun.
 Seorang autis berinteraksi dengan cara sangat berbeda, jika gangguannya parah, ia benar-benar menunjukkan sikap tidak tertarik pada orang lain. Gejala khas lain yang sering terdapat pada autis adalah menghindar dari kontak mata dan kontak fisik. Membenci suara keras, bau tertentu atau cahaya terlalu terang. Dalam interaksi sosial sehari-hari begitu banyak pesan nonverbal saling ditukarkan dan pemaknaan secara abstrak pada berbagai hal. Seorang autis tidak bisa memahami komponen komunikasi tersebut diakibatkan terdapat semacam kegagalan neurobiologis dalam tubuh mereka. Lebih mudah bagi mereka untuk mengerti sesuatu melalui gambar konkret dan memakai asosiasi daripada berlogika.
Beberapa jenis ASD (Autism Spectrum Disorder) yang paling umum dialami, yaitu:
a.    Autisme. Pengertian dan gejalanya telah dipaparkan di atas. Sebagai informasi tambahan, gejala-gejala tersebut muncul sebelum usia 3 tahun dan prevelansinya 4 kali lebih banyak menimpa anak laki-laki daripada perempuan.
b.    Asperger Sindrom. Ini juga lebih besar menimpa anak laki-laki daripada perempuan. Jika anda melihat seseorang yang disebut autis tetapi ia tidak tampak kesulitan dalam berbahasa dan berkomunikasi namun hanya sekedar terkesan canggung bergaul, kikuk atau kasar/tak sopan, mungkin ia menyandang sindrom asperger. Rata-rata nilai intelektual seorang asperger adalah normal bahkan tinggi, begitu juga kemampuan verbalnya. Permasalahan utama asperger terletak pada gangguan dalam memahami petunjuk sosial, oleh karena itu kerap mereka disalahmengertikan sebagai individu yang tidak menghargai etika bersosial. Asperger dapat disebut autis ringan namun tetap membutuhkan perlakuan dan pendidikan khusus agar di masa dewasa ia bisa mengatasi hambatan dalam interaksi sosial dalam lingkungannya.
c.    Rett Sindrom. Banyak dialami anak perempuan di usia 7-24 bulan. Sebelumnya anak mengalami perkembangan normal, tetapi kemudian mengalami kemunduran yang mencakup keterampilan motorik yang telah dikuasai, kemampuan berbahasa, gerakan stereotipik seperti sedang mencuri tangan dan membahasi tangan dengan air liur, hambatan mengunyah makanan.
d.   Childhood Disintegrative Disorder. Pada usia 2-10 tahun, anak berkembang normal sebelum mengalami kemunduran signifikan pada keterampilan yang telah dikuasai daan terjadi gangguan pada fungsi sosial, komunikasi serta perilaku. Pada beberapa kasus, penderitanya terus mengalami kemunduruan hingga tiba di kondisi retardasi mental berat.
e.    Pervasive Developmental Disorder not Otherwise Specified (PDD-NOS), individu mengalami gejala autisme setelah usia 3 tahun atau lebih.
            Sebagian besar ilmuwan mengemukakan pendapat terdapat faktor herediter penyebab autisme pada seseorang. Anak yang didiagnosis autis apabila ditelusuri garis keturunannya, maka ada salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan sejenis, meski tidak selalu sama-sama autis. Peneliti lainnya memilih memperluas penyebab autisme adalah akibat faktor lingkungan selama kehamilan. Apakah itu diakibatkan infeksi virus, bakteri tertentu, kontaminasi udara atau kontak dengan zat kimia berbahaya seperti pestisida.
            Pada penyandang autisme, disebabkan oleh suatu hal, beberapa sel dan koneksinya tidak berkembang baik bahkan mengalami kerusakan. Gangguan koneksi ini terutama terjadi pada neuron-neuron yang bertanggung jawab di are komunikasi, emosi dan kesadaran.
5.    ADHD, Gangguan Atensi dan Hiperaktif, Bukan Nakal Biasa
Attention Defisit and Hyperactive Disorder. Gangguan Hiperaktif dan Minimnya Rentang Perhatian. Attention Defisit and Hyperactive Disorder merupakan kondisi kronis yang terus berlangsung sampai seseorang dewasa. Yang menjadi gejala utamanya adalah ketidakmampuan berkonsentrasi atau memperhatikan sebuah objek pada rentang waktu minimal dan juga hiperaktivitas disertai impusifitas dalam perilaku sehari-hari.
Seorang anak dicurigai ADHD apabila tindakan-tindakan di atas terus berlangsung lebih dari 6 bulan, bertindak demikian hampir di setiap lingkungan di mana ia berada, (banyak anak yang tampak sering lepas kendali aktivitasnya bila di rumah tetapi menjadi lebih pendiam jika di sekolah), tindakannya tersebut menimbulkan masalah hubungan dengan anak lain atau juga dewasa dan masalah dalam tugas sekolah serta kesehariannya.
Apabila discan, citra otak seorang ADHD memang memiliki perbedaan cukup nyata dengan otak yang tidak mengalami ADHD. Pada seorang yang didiagnosis ADHD terdapat tanda kurang aktifnya area otak yang mengontrol tingkat aktivitas dan perhatian.
6.    Tunadaksa
Tuna berarti kerugian atau tidak punya. Daksa adalah anggota tubuh. Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh beragam hal seperti di antaranya kelainan neuromuskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit seperti infeksi di masa kehamilan, plasenta yang tidak mencukupi (darah janin dan ibu tidak kompatibel), kelahiran prematur, cerebral palsy. Trauma fisik, penyakit kronis serta faktor-faktor terkait lainnya yang dapat membahayakan setelah kelahiran.
Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah :
a.         Ringan, yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik, tetapi masih dapat ditingkatkan melalui terapi.
b.         Sedang, yaitu memiliki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik.
c.         Berat, yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
7.    Tunalaras
Pernah disebut sebagai emotionally disturbed, tetapi lalu dinilai kurang pas dan diubah jadi seriously behavioral disabled, ini pun lalu dipersingkat menjadi behavioral disabled saja. Belakangan dilakukan penggabungan menjadi emotional or behavioral disorder.
Karakteristik sosial dan emosional anak dengan gangguan emosional tingkah laku adalah :
a.         Tingkah laku yang tidak terarah (tidak patuh, perkelahian, perusakan, pengucapan kata-kata kotor dan tidak senonoh, senang memerintah, kurang ajar).
b.         Gangguan kepribadian (merasa rendah diri, cemas, pemalu, depresi, kesedihan yang mendalam, menarik diri dari pergaulan).
c.         Tidak matang dalam sikap, cepat bingung, perhatian terbatas, senang melamun, berkhayal, senang bergaul dengan yang lebih muda.
d.        Pelanggaran sosial (terlibat dalam aktivitas ‘geng’, mencuri, membolos, begadang).
Tunalaras karena gangguan emosional atau tingkah laku terdiri dari faktor-faktor gangguan biologis, hubungan keluarga yang tidak sehat, serta faktor eksternal seperti pengalaman di sekolah yang tidak diharapkan dan pengaruh masyarakat yang buruk.
8.    Tunawicara
Tunawicara adalah kondisi khusus yang justru laku dijual sebagai komoditas hiburan. Setiap gangguan bicara yang dialami seseorang daan berpotensi menghambat komunikasi verbal yang efektif disebut tunawicara.
Gangguan bicara dapat muncul dalam berbagai bentuk. Terlambat bicara, artikulasi yang aneh dan tidak sesuai, gagap, tidak mampu menggunakan kata-kata yang tepat sesuai konteks, penggunaan bahasa yang aneh atau sedikit sekali bicara. Dalam bahasa ilmiahnya disebut Expressive Aphasia atau severe languange delay.
Karakteristik khusus pada anak tunawicara :
a.         Terjadi pada anak-anak yang lahir prematur.
b.         Kemungkinannya empat kali lipat pada anak yang belum berjalan pada usia 18 bulan.
c.         Belum bisa berbicara dalam bentuk kalimat pada usia dua tahun.
d.        Memiliki gangguan penglihatan.
e.         Sering dikategorikan sebagai anak yang kikuk oleh gurunya.
f.          Dari segi perilaku kurang bisa menyesuaikan diri.
g.         Sulit membaca.
h.         Banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan.

9.    Tunaganda
Seseorang yang memiliki kerusakan, kekhususan dan ketidakmampuan dalam beberapa hal sekaligus. Penyebab seseorang menjadi tunaganda dapat disebabkan trauma pada otak, luka waktu lahir (kelahiran sukar), hydrocephalus, penyakit infeksi, misalnya TBC, cacar, meningitis, dan faktor keturunan antara lain kerusakan pada benih plasma, dan hasil perkawinan dari ayah dan ibu yang rendah intelegensi dapat diturunkan pada anak.

10.     Kesulitan Belajar
Anak-anak berkebutuhan khusus yang termasuk dalam kategori ini sebenarnya tidak mengalami permasalahan dengan daya inteligensia hanya saja diperlukan strategi belajar tersendiri yang dapat mengakomodir potensi mereka yang terhambat karena gangguan-gangguan motorik, persepsi- motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang serta keterlambatan konsep.
Mereka memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang disebabkan karena gangguan persepsi seperti dyslexia (gangguan bahasa), discalculia (gangguan matematika) dan dysgraphia (gangguan menulis).
Penyebab kesulitan belajar terbagi dalam beberapa bagian antara lain disfungsi minimal otak, tidak adanya dominasi lateralitas, adanya penyimpangan visual, adanya perkembangan yang tidak normal, penyimpangan psikologos, adanya penyebab yang bersifat genetik, pengaruh/kesalahan dalam cara mengajar dan deprivasi dalam proses berpikir.

11.     Anak-anak Berkebutuhan Khusus Lainnya
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 pasal 3, ayat 4, bahwa “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.” Gifted Children, atau dikenal juga sebagai anak-anak berbakat. Karakter yang biasa melekat pada seorang anak berbakat diantaranya adalah: sangat observatif, memiliki memori sangat baik, rasa ingin tahu yang besar, rentang perhatian panjang, tanggung jawab terhadap tugas, pembelajar cepat, mampu memahami dan menjelaskan hal abstrak dan konseptual, pemecah masalah yang andal, imajinasi kuat yang diwujudkan dalam kekreativitasan di atas rata-rata.
Selain anak-anak “genius” adalah bagian dari warga negara yang berkebutuhan khusu ternyata warga negara yang terbelakang, berada di daerah terpencil dimasukkan juga ke dalam kategori berkebutuhan khusus.

2.3 Penanganan Anak Special Needs dalam Sejarah
Pada zaman permulaan masehi, anak-anak yang terlahir dengan keadaan berkelainan fisik biasanya diperlakukan secara tidak manusiawi karena dianggap sebagai kutukan. Anak-anak dengan kelainan mental tersebut dianggap kerasukan roh jahat sehingga harus dikurung. Autisme sebenarnya telah ada sepanjang sejarah hidup manusia, namun pada zaman tersebut autisme disamakan dengan ketidakwarasan atau penyakit mental yang disebabkan oleh hal-hal mistis. Tak jarang, penyandang yang seharusnya mendapatkan perhatian malah mendapat hukuman karena orang pada masa itu takut pada  pengaruh sihir jahat. Dalam perkembangan dunia modern pun, penyebab autisme sempat ditundingkan kepada ibu yang melahirkan. Refrigerator Mother atau ibu dengan sifat dinginlah yang menolak untuk memberi kehangatan serta kasih sayang dan telah menyebabkan bayinya tumbuh besar menjadi anak autis.
Seiring peradaban barat yang mulai keluar dari zaman kegelapan, perlakuan kepada anak-anak cacat pun mulai mengalami perbaikan. Alat dan teknologi penunjang kegiatan anak-anak berkebutuhan khusus mulai dikembangkan menjadi lebih mumpuni. Hasil penelitian dipublikasikan, diterapkan dimasyarakat,diteliti ulang oleh ilmuwan lain lalu dikoreksi atau disempurnakan. Dalam perkembangannya, sistem baca-tulis, notasi musik serta matematika Braille ditemukan oleh seorang tunanetra berusia 12 tahun bernama Louise Braille. Sistem tersebut ia adopsi dari trik bertukar pesan rahasia di kalangan prajurit saat berada di medan perang. Juan Pablo Bonet dianggap pioner modern yang menerapkan terapi bicara, fonetik dan terapi oral kepada anak yang tunarungu dengan menambahkan bentuk petunjuk dasar alfabet ke dalam isyarat yang sudah ada. Umumnya bahasa isyarat terkomposisi dengan gabungan gesture,mimik,isyarat tangan dan ejaan dengan memakai jari. Cara bahasa isyarat bekerja ialah dengan mempresentasikan keseluruhan ide dan bukan kata tunggal.
Di abad ke-18, Jean Marc Gaspard Itard, seorang dokter Perancis yang mengepalai sebuah institusi nasional bisu-tuli, dinilai sebagai tokoh yang memulai pengembangan metode pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, Itard merumuskan konsep pendidikan pedagogi setelah melakukan observasi dan penelitian terhadap bocah serigala Victor of Aveyron, yang kisahnya melegenda dan menginspirasi pembuatan film-film modern tentang manusia yang sejak kecil hidup tanpa manusia lain di hutan rimba.
Maria Montessori adalah salah satu murid Itard. Ia mengembangkan sistem pendidikan berbasis karakter yang hingga detik ini masih digunakan di Sekolah di berbagai belahan dunia. Secara garis besar sistem Montessori ini menghargai dan menilai setiap anak sebagai individu unik yang memiliki potensi masing-masing dan tidak dapat disamakan satu dengan yang lain. Dalam sistem Montessori ditekankan pengembangan keterampilan sosial dan emosional sebagai pendamping skill intelektual.
Melengkapi kontribusi sistem pendidikan khusus ke arah yang lebih menjanjikan, kita bisa sebut juga sumbangan Alfred Binet, seorang Psikolog Perancis yang telah mengembangkan bentuk tes intelegensia di permulaan tahun 1990. Tes Binet sampai sekarang dipergunakan untuk mengukur standar intelektual seseorang mulai rentang usia 2-23 tahun. Tes ini menunjukan apakah seseorang mengalami hambatan intelegensia dan dikategoriakan berkebutuhan khusus.

2.4 Pendidikan Anak Special Needs
1. Pendidikan Khusus
Mulai dari Hellen Keller, tunaganda yang menjelma menjadi seorang aktivis politik dan dosen. Temple Gadin, doktor di bidang sains hewan yang autis, Stephen Hawking, ahli fisika dan ahli matematika tunadaksa atau juga Charles Burke aktor televisi, penyanyi yang down syndrome, kata kunci yang menghantarkan mereka menjadi tokoh-tokoh berprestasi skala internasional adalah : pendidikan dengan pendekatan khusus yang tepat dan diberikan dengan kesungguhan. Tidak hanya peran lembaga pendidikan yang menonjol, tetapi jangan lupakan orang-orang yang berada di lingkungan utama mereka. Orang tua, keluarga, tutor, pembimbing, guru dan semacamnya.
Sebelum negara Amerika Serikat mengesahkan UU pemerintah yang menetapkan dan menjamin hak semua anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan, terjadi banyak kasus diajukan ke pengadilan oleh para orang tua yang berpendapat anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus untuk tidak diberi kesempatan setara memperoleh pendidikan. Padahal di masa pemerintahan Kennedy, dilanjutkan oleh Johnson telah dirumuskan dasar-dasar untuk memberi akses kepada anak-anak berkebutuhan spesial memperoleh pendidikan di lembaga pendidikan umum.
Pendidikan khusus di Indonesia pun telah berlandaskan yuridisme pada tahun 2003. Di dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional dimuat pasal-pasal dan ayat-ayat yang menspesifikasikan warga yang berhak mendapatkan pendidikan khusus. Tercantum pada UU tersebut warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Tak ketinggalan pula dalam salah satu ayat disebutkan warga negara yang tinggal di daerah terpencil, terbelakang, mengalami bencana alam, bencana sosial dan tidak mampu secara ekonomi termasuk berhak atas pendidikan khusus.

2. Sekolah Luar Biasa Solusi Pertama
Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang hanya menerima siswa berkebutuhan khusus dalam beragam kondisi. Ada juga sekolah Pedagog yang pada prinsipnya sama dengan SLB, menerima murid-murid hanya yang berkategori berkebutuhan khusus. Pendidikan luar biasa tersebut tidak total berbeda dengan pendidikan bagi anak-anak normal pada umumnya. Hanya saja dalam pendidikan khusus terdapat penambahan program pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan murid-muridnya yang spesial. Sementara kurikulumnya sendiri secara garis besar merujuk kepada kurikulum nasional.
Keberadaan SLB merupakan solusi pertama bagi pemenuhan seluruh warga negara berkebutuhan khusus dalam mendapatkan keterampilan primer. Seorang tunanetra atau tunarungu tidak bisa serta merta didaftarkan masuk kesekolah biasa jika sebelumnya ia belum mendapat pelajaran baca tulis Braille atau teknik membaca bibir. Sekolah Luar Biasa adalah jawaban atas kebutuhan utama pendidikan lanjutannya. Pelayanan yang disediakan di SLB umumnya terdiri dari pelayanan medis, psikologis dan sosial. Karena itu di SLB senantiasa melibatkan tenaga dokter, psikolog dan pekerja sosial dan ahli pendidikan luar biasa  sebagai sebuah tim kerja.
SLB dibagi menjadi tujuh berdasarkan kondisi ketunaan, yakni :
a.    SLB A untuk tunanetra
b.    SLB B untuk tunarungu
c.    SLB C untuk tunagrahita yang mampu didik dan C1 untuk tunagrahita yang hanya mampu latih.
d.   SLB D untuk tunadaksa dengan intelegensia normal. D1 untuk tunadaksa yang juga mengalami retardasi mental.
e.    SLB E untuk tunalaras.
f.     SLB F untuk autis.
g.    SLB G untuk tunagranda.
Selain dimasukan ke Sekolah Luar Biasa, terdapat berbagai macam pilihan bagi anak berkebutuhan khusus mampu dididik untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan.
a.    Mainstreaming atau pendidikan terpadu. Anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah ke SD tertentu bersama anak-anak pada umumnya.
b.    Kelas khusus penuh atau paruh waktu. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah ke SD umum. Pada model paruh waktu maka mereka bergabung dengan anak –anak lain. Sedangkan model penuh berarti anak-anak berkebutuhan khusus disediakan kelas tersendiri di sebuah SD umum.
c.    Guru kunjung. Anak-anak berkebutuhan khusus yang domisilinya satu area dikumpulkan dalam satu kelompok belajar secara teratur guru Pendidikan Luar Biasa datang mengadakan kegiatan belajar mengajar di tempat.
d.   Kejar paket A dan B. Sama dengan sistem Guru Kunjung terapi materi belajar yang diberikan terpusat pada paket A dan B. Pemerintah menerapkan model ini dengan misi memberantas tuna aksara.
e.    Asrama atau Panti. Berbagai jenis anak berkebutuhan khusus diasramakan secara insidental dengan penanggung biaya adalah Pemda setempat.
f.     Workshop. Mirip dengan mode asrama, hanya saja belajar mengajar diarahkan ke latihan prevocational, terutama dibidang pekerjaan. Diperlukan kerja sama juga antara Diknas, Depsos, dan Depnaker.

3.      Wadah Anak Special Needs
Juara-juara di SLB Kemala Bhayangkari I Trenggalek. Berbincang dengan Kepala Seolah SLB Kemala Bhayangkari 1 Trenggalek menyiratkan bahwa Pardiono,S.Pd yang sudah bertugas selama 24 tahun ini memang seolah menyatu dengan anak-anak didiknya. SLB Trenggalek didirikan 38 yahun lalu dengan jumlah 17 siswa yang terdiri dar tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita serta 5 orang guru. Kini jumlah siswa telah bertambah menjadi 187. Sekolah ini sangat mengedepankan kegiatan keterampilan para siswanya. Bagi anak tunanetra : masase dan kerajinan tangan. Anak tunarungu : potong rambut, menjahit, dan bengkel. Anak tunagrahita : tataboga, budidaya ikan, dan budidaya bunga. Anak tunadaksa dilatih berternak kambing.
Pramuka menjadi salah satu kegiatan ekstrakulikuler yang dapat dikuti oleh berbagai jenis kekhususan. Selain itu masih banyak kegiatan lain yang dapat diikuti siswa sesuai dengan tingkat kekhususan dan kemampuannya. Misalnya saja anak tunarungu belajar seni pantomim dan seni tari. Anak tunagrahita belajar seni tari, deklamasi dan membaca puisi. Anak tunanetra yang menurut Pardiono lebih peka terhadap rangsangan pendengaran, maka dilatih untuk belajar seni music dan seni suara. Keterampilan serupa juga diberikan juga di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) Luar Biasa, yang didirikan tahun 2010 dengan jumlah siswa 26. Dengan perkembangan teknologi dan komunikasi proses belajar mengajar telah difasilitasi dengan laptop, computer, LCD projector, papan tulis interaktif dan jaringan internet.

4.      Terpadu dan Berbaur di Sekolah Inklusif
SLB dan sejenisnya merupakan jawaban mengenai pertanyaan dimana dan bagaimanakah anak-anak khusus memperoleh “amunisi” berupa keterampilan hidup dasar agar mereka bisa mandiri, tetap mempu berkarya, selarasa dengan lingkungan sosialnya serta potensi kemanusiaannya tidak tersia-siakan. Namun dalam kerangka persepsi masyarakat tumbuh sebuah cap yang ditempelkan kepada SLB sebagai tempat beroleh pendidikan bagi kalangan “asing”. Dalam arti kata asing dalam keseharian, pengalaman dan juga empati. Tidak ada yang salah dengan sekolah-sekolah luar biasa yang khusus menerima anak-anak special needs saja. Harus disadari pada diri anak-anak itu terdapat urgensi agar mereka sesegera mungkin dilatih fasih menguasai keterampilan hidup dasar yang tidak mungkin diperoleh di sekolah-sekolah umum. Namun sengaja memisahkan dan membeda-bedakan sekolah bagi anak-anak khusus untuk seterusnya, adalah tindakan yang berlawanan dengan pandangan hidup yang berlaku universal bahwa semua orang terlahir ke dunia dengan hak-hak yang sama. Kita belajar dan terbiasa tepo saliro mengatasi  perbedaan yang hakiki antara manusia seperti suku, ras, agama, dan lain-lain.
Ada juga anggapan bahwa pemisahan anak-anak berkebutuhan khusus ada baiknya hanya dalam rangka pembelajaran (instruction) dan bukan dalam tujuan pendidikan. Jika secara mental dan fisik anak special need tidak membahayakan orang lain juga dirinya sendiri, alangkah lebih tepatnya apabila mereka diintegrasikan dalam sebuah wadah pendidikan yang sama. Menyatukan anak special needs dengan anak-anak pada umumnya adalah sarana bagi mereka untuk saling belajar hidup dengan cara yang lebih positif.

5.      Pendidikan Inklusif
Menurut Johnen dan Skjorten (2003), pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya.Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak. Artinya dalam pendidikan inklusif tersedia sumber belajar yang beragam dan mendapat dukungan dari semua pihak, meliputi para siswa, guru, orang tua dan masyarakat sekitarnya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Dengan kata lain, pendidikan inklusif merupakan pendidikan terpadu yang diharapkan dapat mengakomodasi pendidikan bagi semua, terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus yang selama ini masih banyak yang belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan seperti anak-anak normal. Menggabungkan murid berlatarkan kemampuan fisik dan mental yang jelas berbeda, sekolah inklusif tentunya tidak bisa menentukan naik kelas atau tidaknya seorang murid berdasarkan penilaian terhadap penguasaan atas kurikulum umum. Konsekuensinya sebuah sekolah inklusif harus memodifikasi aspek-aspek penilaian terhadap seorang murid menjadi lebih terbuka dan benar –benar disesuaikan dengan kondisi anak, guru mata pelajaran dan guru pendidikan khusus. Guru yang bukan lulusan PLB pun harus memiliki pengetahuan dasar tentang pendidikan luar biasa.

6.      Kabupaten atau Kota Pelopor Pendidikan Inklusif
Direktur pembinaan pendidikan khusus dan layanan khusus pendidikan dasar kementrian dan kebudayaan (PKLK), DR.Mudjito menyatakan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus harus mendapatkan pendidikan secara khusus pula. Dia mengacu pada UU Sistem Pendidikan Nasional dan UUD 1945 bahwa setiap warga Negara termasuk anak-anak berkebutuhan khusus/disabilitas berhak atas pendidikan yang sama. Untuk itu pemerintah sampai saat ini telah menyediakan sekiotar 1700 an sekolah luar biasa (SLB). Komitmennya pada pendidikan anak-anak disabilitas direalisasikannya dengan mengirim para stafnya untuk “magang” selama tiga bulan di SLB-SLB agar lebih mendalami dan memahami kebutuhan anak-anak tsb, walaupun hal itu terkadang menyebabkan ia diprotes anak buahnya yang tidak setuju dengan kegiatan tersebut.
Melalui Direktorat PKLK Dikdas, Kemendikbud melakukan dua pendekatan. Pertama, bagi anak –anak yang merasa cocok dan nyaman di SLB, yang mana saja tercatat 85 ribu siswa, tetap mendapat pendidikan di SLB. Kedua, 116 ribu siswa disabilitas saat ini bisa tertampung di 30 ribu sekolah inklusif ini akan terus diperluas dengan pendekatan berbasis kabupaten/kota, sementara 20 pemda lainnya sudah menyatakan keinginan untuk bergabung.  Ada tiga syarat yang harus dipenuhi pemda untuk turut dalam program tersebut, yakni : ada regulasi bupati/walikota, membentuk kelompok kerja lintas sektoral dan menyediakan dana pendamping. Untuk program yang berkenaan dengan kebutuhan sekolah –sekolah inklusif terhadap tenaga guru pendamping khusus (GPK) yang saat ini jumlahnya belum mencukupi, Kemendikbud menempuh langkah kerja sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan pelatihan selama dua semester bagi para guru. Pelatihan tersebut saat ini baru dilaksanakan di UPI dan UNISA karena kedua universitas tersebut telah memiliki program S1 san S2 di bidang GPK.

7.      Mengenal Lebih Dekat Wajah Sekolah Inklusif
a.    SDHT, Tak Sengaja Menjadi Inklusif
Sekolah Dasar Hikmah Teladan bisa disebut sebagai pionir SD Inklusif di wilayah bandung dan sekitarnya. Pada awalnya, SD ini memiliki prinsip bahwa mereka menerima semua murid yang mendaftar masuk tanpa terkecuali. Syaratnya hanya menggunakan tekhnik “siapa cepat dia dapat”.Dengan sendirinya karena memberlakukan aturan yang demikian, banyak orang tua yang kesulitan untuk mencari sekolah untuk anak-anaknya yang special akhirnya menjatuhkan pilihan kepada SD tersebut. Pada tahun 2002 SD tersebut resmi berjalan sebagai sebuah sekolah dasar dengan system yang terbilang sangat unik pada masa itu. Dimana skeolah tersebut  menyatukan kenyamanan bersosialisasi dan interaksi antara seluruh penghuni sekolah, yang berarti tidak hanya sesama murid tetapi juga tenaga pengajar dan para pengurus. Setiap murid dapat naik kelas melalui standar kelayakan masing-masing individu yang tidak dengan kaku berpatokan pada kemampuan akademis.

b.    Sekolah Alam Bogor, Bertrade Mark Pembebasan
Pada awalnya sekolah ini hanyalah tempat mangkal untuk anak-anak jalanan yang pada awalnya dicoba dihimpun agar mereka memiliki kegiatan yang positif lewat pembelajaran keterampilan, baca tulis serta aktivitas lainnya. Pada tahun 1999, Agus yang merupakan seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama beberapa temannya membentuk sebuah yayasan yang kegiatannya tersebar di tiga tempat masing-masing dengan menghimpun 60,30, dan 50 anak jalanan. Pendanaan kegiatan tersebut ia peroleh dari para donator dan Dinas Pendidikan. Kemudian pada tahun 2002 ia bertemu dengan orang yang menawarkan kerja sama yang pada awalnya dalam bentuk program pesantren kilat di Lembah Parigi yang kemudian berkembang menjadi Taman Kanak-Kanak Alam Lembah Pagi.
Sekolah ini terus berkembang hingga pada akhirnya pada tahun 2004 menerima anak-anak disabilitas, antara lain autis, hiperaktif,down syndrome yang digabung dengan anak-anak semacamkelas percobaan yang bertempat tinggal di Cimahpar, akhirnya terus berkembang menjadi areal sekolah alam Bogor.

c.    SDN Putraco, Jumlah murid Special Lebih Banyak
Sekolah ini memiliki enam puluh persen murid berkebutuhan khusus dan empat puluh persen dengan murid regular.Dede Suryana yang merupakan salah satu guru dan pengurus administrasi sekolah tersebut yakin bahwa perbandingan tersebut masih terbilang ideal bagi sekolah inklusif. Ia juga menjelaskan dalam satu kelas terdiri dari 25-30 siswa, dengan murid special mencapai 10-12 siswa yang dibimbing oleh dua orang guru serta helper yang biasanya dibawa oleh orang tua dari murid khusus tersebut.  Pada permulaan saat seklah tersebut ditunjuk sebagai sekolah inklusif oleh pemerintah pada tahun 2002-2003, jumlah ABK tidak sebanyak saat ini. Hal ini terjadi bukan karena banyaknya pendaftar yang mendaftarkan diri di sekolah tersebut namun karena ABK  limpahan dari sekolah lain.
Hampir semua siswa special di Putraco berasal dari keluar dengan tingkat ekonomi menengah keatas. Sementara murid regulernya berlatar keluarga dari tingkat ekonomi ke bawah. Misi Putraco ialah memprioritaskan anak-anak dari keluarga pra-sejahtera, dengan tambahan murid-murid dari ekonomi tidak mampu dijamin bebas biaya sepenuhnya.

8.      Semarak Warna di Balik Gerbang Sekolah Dasar  Inklusif
Dengan berbagai macam alasan, masih banyak orang tua yang tak tergerak atau enggan apabaila anak mereka berdampingan dengan anak-anak special needs dalam kegiatan bersekolah sehari-hari. Seorang pengurus sekolah pernah bercerita dimana pada saat orang tua murid (pendaftar) diberitahu bahwa ada beberapa anak special needs yang turut menjadi bagian dalam kelas yang juga akan diisi oleh anak mereka pada akhirnya mengundurkan diri atau mengurungkan niatnya untuk mendaftar di sekolah tersebut. Sebenarnya, setiap orang tua berhak memiliki pertimbangan masing-masing saat memilih sekolah terbaik bagi putra-putrinya. Termasuk orang tua yang tanpa keraguan sedikitpun mendaftarkan anaknya bersekolah di Sekolah Inklusif. Itu bisa jadi sebuah pembelajaran untuk memperkenalkan dan menerima perbedaan antara manusia. Dengan penyatuan anak-anak regular dengan anak-anak special needs secara alami mereka akan bergaul satu sama lain, melebur karena adanya kebiasaan.

9.      Orang Tua dan Keluarga Inti, Garda Pertama Pendidikan Special Needs
Tentu saja kebanyakan orang tua mengharapkan bahwa keturunan yang lahir akan sempurna dan tidak kekurangan sesuatu apapun. Tetapi kita juga tidak boleh lupa bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup kita tidak akan selalu sama persisi dengan apa yang kita harapkan. Seperti halnya orang tua yang memiliki anak-anak special needs. Reaksi mereka saat mengetahui bahwa anak-anaknya ternyata “berbeda” dari anak-anak pada umumnya sungguh beragam.Sedih, frustasi ataupun berpasrah pada keyakinan bahwa ini semua adalah takdir tuhan (reaksi positif atau negative). Idelanya diharapkan bahwa orang tua mampu bersikap positif menerima keadaan anaknya yang khusus. Juga bukanlah suatu kesalahan atau kelemahan apabila pada mulanya orang tua bersangkutan mengalami atau menunjukan reaksi-reaksi negative.
Agar orang tua bisa mencapai tahapan optimis yaitu menerima lalu bertindak dengan efektif dan efisien  bagi tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus, dipengaruhi beberap hal. Seperti halnya seberapa kompleks dan parah tingkat kekhususan anak, berapa banyak informasi akurat yang bisa orang tua peroleh mengenai kondisi anaknya, bagaimana nilai-nilai yang dianut keluarga besar ataupun kebudayaan yang melingkupi lingkungan tempat keluarga itu berada. Mungkin sepasang orang tua  dibesarkan di dalam lingkungan yang mempercayai bahwa kelahiran seorang bayi “cacat” merupakan karma dari dosa-dosa yang pernah dilakukan. Akibatnya kehadiran generasi baru yang memiliki kekurangan tersebut menjadikan mereka terpuruk dalam rasa bersalah dan malu. Lalu mereka memilih sedapat mungkin menyembunyikan anaknya karena berasumsi masyarakat yang tahu akan berpandangan negative.
Hal terakhir yang sama sekali tidak bisa dianggap enteng adalah masalah keuangan. Semakin mantap perekonomian keluarga yang memiliki anggota berkebutuhan khusus semakin mudah juga bagi mereka untuk mencapai tahapan optimis dan menerima. Mengingat bahwa kondisi-kondisi khusus ini perlu berbagai macam konsultasi kepada para ahli, mengikuti pemeriksaan,menggaji asisten khusus yang membantu pengasuhan anak  serta melengkapi anak dengan sarana yang membantu kegiatan sehari-harinya. Lepas dari materi, masih ada pengeluaran (cost) secara emosi yang butuh diperhatikan dan diatur. Anak-anak yang terlahir tanpa kondisi khusus apapun bertumbuh kembang sesuaid engan interaksi emosi terhadap orang tuanya setiap saat, selama bertahun-tahun. Bila mana orang tuanya cerdas secara emosi, maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan tumbuh besar dan tak jauh dari tipe emosi mereka. Sementara tantangan yang dihadapi oleh orang tua ABK tentu lebih beragam. Orang tua terkadang menjadi sangat lelah dengan semua kebutuhan dan ritual yang diperlukan bagi anak. Orang tua juga terkadang bisa merasa cemburu ketika mereka melihat anak-anak lain yang terlihat baik secara keseluruhan. Ekspresi dan Kalimat bersimpati dari orang lain pun tak bisa kita hiraukan. Karena hal tersebut  sangat rentan menjadi mispersepsi.
Agar tercapai kerja sama keluarga yang harmonis dan efektif adalam mendampingi anak yang special, sudah barang tentu bukan hanya ibu atau ayah saja yang selalu terlibat langsung dengan para ahli dan “dipersenjatai” dengan informasi mengenai kondisi special si anak. Kakak, adik atau anggota keluarga lain yang tinggal serumah dengan anak ‘tersebut’ mesti terinformasikan dengan baik juga dan didorong untuk berinteraksi secara sehat dengan saudara specialnya tersebut.
Fungsi orang tua dalam mendidik anak dengan kebutuhan khusus tidak bisa dilepaskan dari factor-faktor instrinsik dan ekstrinsik yang dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Seperti apa pola interaksi antar anggota keluarga tersebut, bagaimana budaya dna nilai-nilai yang dianut dan mewarnai keseharian keluarga. Dukungan social dari keluarga inti kini diakui oleh para ahli dapat memberi efek positif yang besar bagi pendidikan anak special. Bermacam bantuan dari kerabat, rekan atau kelompok social bisa diberikan kepada keluarga dengan anak special mulai dari dukungan informasi,emosional dan juga materi. Jika orang tua tidak bisa mengandalkan bantuan dari kerabat atau teman, masih terdapat kelompok social lain yang bisa memberikan dukungan seperti halnya Parental Support Grup. Grup ini beranggotakan para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus sejenis. Dan jika orang tua terkendala waktu dan tempat untuk melakukan komunikasi langsung dalam grup semacam itu, maka internet bisa menjadi solusinya.Melalui mailing list, newsgroup dan situs-situs tertentu.
2.5 Profil Anak Special Needs dan  Orang Tuanya
1. Rasty yang “terbang” dari “sarangnya”
Rasty Purnama (33 tahun) adalah penyandang tunadaksa dan selama 23 tahun “disembunyikan” orang tuanya di Karawang, Jawa Barat. Ketika lahir kondisinya sehat dan tumbuh normal. Namun, ketika usianya menginjak 4 tahun-an, Rasti sering sekali jatuh. Saat Rasty terserang demam tinggi dan dilarikan ke puskesmas setempat, konon, setelah dokter memberinya suntikan, Rasty tak bisa lagi berjalan bahkan untuk bangun pun ia tak sanggup. Untuk seterusnya Rasty hanya tergolek di tempat tidur.
Ia tidak pernah bertemu dengan orang di luar rumah karena dianggap membawa aib dan memalukan keluarga. Beruntung kakaknya sering membacakan buku cerita dan sedikit demi sedikit Rasty mulai belajar mengeja tulisan dan menulis. Segala mimpi, harapan dan keinginan untuk hidup normal dicurahkannya di sebuah buku dengan tulisannya sendiri, meski dihadapkan pada keterbatasan bentuk jari yang tidak sempurna. Rasty pun mencoba mengirimkan hasil karyanya di lomba penulisan puisi yang diselenggarakan sebuah stasiun radio daerah. Ia meraih juara satu. Sejak itu ia bertekad untuk terus menulis dan rutin mengirimkan hasil karyanya, hingga ia pun menjadi sempat terkenal hingga liputan stasiun televisi. Namun itu tidak berlangsung lama,  karena orang tua Rasty yang masih berwawasan sangat sederhana itu kurang suka anaknya didatangi banyak orang.
Perasaan tertekan kembali melanda Rasty, sampai-sampai dia mengaku hampir saja ingin mengakhiri hidupnya dengan minum racun tikus, namun alam sadarnya masih mengingatkan bahwa pilihan itu tidak menyelesaikan masalah. Suatu ketika, Rasty dihadiahi sebuah telepon genggam oleh seseorang sehingga memudahkannya berinteraksi dengan teman-teman di dunia maya dan media cetak. Hingga ia bertemu dengan seorang anggota Komnas Perempuan dan seorang pimpinan sebuah lembaga sosial di Jogja, berkat merekalah Rasty bisa sampai di tempat tinggalnya sekarang, Wisma Tunaganda. Walaupun sempat ada pertentangan dari keluarga yang tidak begitu saja mau menyerahkan Rasty, namun setelah diberikan pengertian, akhirnya kedua orang tua Rasty memberikan lampu hijau untuk membawa Rasty dan mereka sadar bahwa putri mereka berada di tempat yang tepat. Disana Rasty selain meneruskan hobinya menulis, dia juga kembali menekuni kegemarannya membuat aksesori seperti bros yang dijual kepada pengunjung panti. Rasty yang tunadaksa mempunyai naluri seperti gadis lain. Ingin punya banyak kawan, ingin dicintai, ingin tidak terlalu tergantung pada orang lain dan yang paling didambakannya, “Ingin menjadi penulis terkenal”.

2. Ridzky Si Tampan Penyandang Autis
Sebagai orang tua anak special needs, Farhan, presenter yang cukup terkenal di Indonesia ini meyakini ada 3 hal penting yang sebaiknya dijadikan pegangan dalam mengarungi hidup bersama anak penderita autis, yaitu: melakukan  assessment (penilaian), terbuka kepada lingkungan dan menetapkan sasaran/target terapi. Si sulung, Ridzky, buah hati Farhan adalah penyandang autis. Lelaki berusia 14 tahun itu duduk di bangku kelas VI di sebuah sekolah inklusif berkat kesabaran dan keuletan Farhan bersama isterinya, Aryati dalam menjalani terapi, mengasuh, merawat dan mendidik Ridzky.
Penilaian terhadap anak-anak autis harus dilakukan agar orang tua realistis dan tidak membohongi diri sendiri bahwa anaknya normal-normal saja. Jujurlah pada diri sendiri bahwa si anak mempunyai kelainan dan berkebutuhan khusus, sehingga bisa segera mencari peluang untuk mengatasinya. Agar orang tua yang bersangkutan tidak kehilangan untuk mendapatkan informasi yang terus berkembang tentang penyandang autis dan aspek-aspek terkait lainnya. Selain itu, anak autis atau berkebutuhan khusus juga jangan disembunyikan, lakukan sesuatu agar keadaan si anak tidak memburuk.

3.      Muhammad Bagja, Anak Down Syndrome yang Penuh Empati
Aneka rasa berkecamuk di dada Teti Ichsan seorang sarjana Pendidikan jurusan Psikologi dan Bimbingan dan mengambil gelar Magister Psikologi Kesehatan Universitas Indonesia serta penulis-peneliti down syndrome ketika anak keduanya, Muhammad Bagja Madani, didiagnosis sebagai down syndrome, di usia 4 bulan. Tidak heran muncul sikap ambivalensi sebagai orang tua. Di satu sisi ia sangat mencintai dan ingin melindungi, di sisi lain muncul perasaan sedih dan berduka. Awal dari sikap penerimaan orang tua dapat terlihat ketika mereka mulai fokus memperhatikan aspek-aspek tumbuh kembang anak mereka. Seperti perkembangan motorik kasar, motorik halus, pemahaman bicara dan sosialisasi.
Aktivitas Bagja, meskipun perkembangannya mengalami keterlambatan, Bagja juga beraktifitas seperti anak lainnya. Selain itu, dia juga mengikuti terapi untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya. Terapi yang diikuti Bagja antara lain:
a.    Terapi Okupasi: merupakan stimulasi yang bertujuan meningkatkan kemampuan fungisional dan kemandirian fisik maupun mental melalui aktivitas bermain yang memiliki tujuan/makna tertentu.
b.    Terapi wicara: merupakan stimulasi untuk meningkatkan kemampuan berbahasa verbal dengan baik, melalui komunikasi dua arah, artikulasi, bahasa dan pengembangan bicara suara dan irama.
c.    Program akustik: merupakan program yang bertujuan untuk menstimulasi kegiatan yang lebih terarah dan bermakna, melalui latihan koordinasi auditori, visual, kinestetik, ekspresi dan persepsi bunyi.
d.   Pedagogi: adalah etode pembelajaran untuk membantu meningkatkan kemampuan akademik dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses belajar.
e.    Program life skill: melatih anak-anak berkebutuhan khusus agar memiliki keterampilan dasar. Dan juga menstimulasi pengenalan konsep, pemahaman, kemandirian serta mengarahkan minat dan bakat anak.
f.     Berenang: dapat mengembangkan aspek kognitif, afeksi dan psikomotorik. Hal ini dapat bermanfaat dalam menumbuhkan keberanian, percaya diri, disiplin, kerja sama, modofikasi peilaku dan emosi serta pengalaman relaksasi.

Kini di usia yang ke-13 Bagja dapat berlari kencang padahal dia lahir dengan tonus otot yang lemah. Bagja dapat menonton film kesukaannya padahal dia terlahir dengan kondisi mata minus 5. Selanjutnya Bagja dapat turut berjamaah di mushola padahal dulu dia tidak dapat duduk dengan tenang sekalipun dalam hitungan detik. Dan yang paling mengharukan, Bagja bisa membuatkan segelas teh manis kepada ibunya jika sedang sibuk mengetik, memeluk orang tua dan kakaknya ketika lelah, betul-betul Bagja penuh empati.

4.      Michael Anthony, Peraih Rekor Muri
Michael Antony (9) ketika berusia 6,5 tahun pernah meraih rekor MURI sebagai: pianis tunanetra dan autis termuda. Ibunya, Meta, bercakap dengan saya ketika mengisahkan awal mula putranya diketahui berkubutuhan khusus. Michael baru berusia tiga bulan ketika Meta membawanya spesialis mata. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa bayi Meta yang lahir prematur ini menderita retinopathy of prematury (ROP) stadium 4. Pengobatan bagi Michael dilanjutkan ke Amerika Serikat untuk menjalani operasi mata dan hasilnya baik, lalu mereka kembali ke tanah air. Enam bulan setelah di operasi, matanya diperiksa lagi, ternyata retinanya tidak berkembangnya.
Sejak itu, perempuan yang berprnti membawa profesi sebagai dokter gigi tersebut berhenti membawa Michael berobat dan hanya fokus pada perkembangan yang ada. Paling-paling hanya ke pengobatan alternatif dan ke seorang Romo. Suatu ketika Michael merasa terganggu oleh piano yang dimainkan oleh kakaknya. Tetapi tanpa diduga, di sia 2 tahun, dia malah mendekati piano dan mulai menekan-nekan tutsnya. Barangkali karena sering mendengar, tiba-tiba dia bisa meniru lagu yang biasa dibunyikan oleh tukang es keliling. Sejak itu setiap hari Michael diajari main piano oleh kakaknya. Meta juga mendaftarkan Michael les piano klasik. Terlihat sekali jika Michael “kesemsem” pada piano.
Walaupun Michael pernah menjadi juara 1 lomba piano untuk anak-anak autis dan juara 3 lomba piano untuk umum, dia tidak mengerti apa itu arti juara. Menurut Meta kalau lomba, Michael hanya tahu harus latihan lagu wajib berulang-ulang, tampil sebaik mungkin dan tersenyum ketika mendengar tepuk tangan hadirin. Menangani anak seperti Michael menurut Meta tidak susah asalkan sesuai dengan kemauan dia dan setiap rutinitas terjadwal dengan baik. Misalnya pagi ke sekolah, siang terapi, sore les dan seterusnya. Jika ada perubahan mendadak tanpa pemberitahuan pasti Michael kesal. Sama seperti ribuan orang tua lain, Meta tentunya ingin punya anak normal. Namun Meta enjoy, anak ada jalannya sendiri-sendiri. Tidak perlu dipikirkan berkepanjangan. Karena ia melihat ada perkembangan dalam diri Michael. Jadi jalani saja.
2.6 Dedikasi Sosok di Belakang Anak Special Needs
Jika ingin melihat senyum mengembang yang tak pernah lepas dari anak-anak speciaal needs , itu tak lepas dari peran serta guru, terapis, care giver serta para pendamping yang dengan ikhlas menuntun mereka ke arah kemandirin. Berikut adalah sedikit perbincang-bincangan dengan mereka, yaitu:
1.    Krustina, Kepala Panti Sekaligus Ibu
Kristanti ingat betul sewaktu datang ke panti tunaganda dengan niat sekedar mampir belaka. Kristanti memiliki ijazah sebagai pelajar Sekolah Menengah Atas Pekerja Sosial di Semarang, sehimgga tak asing dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Hal yang mula-mula mengusik perhatian Kristanti justru adalah penampilan para penghuni pengasuh panti yang di matanya “begitu-begitu” saja dan kurang menarik. Merasa punya kebiasaan dalam hal merias, ia menahan gemas dan minta izin kepada kepala panti saat itu untuk mengajari para pengasuh trik bermake up. Kegemasannya merambat ke urusan potongan ala kadarnya rambut anak-anak panti, maka dengan suka rela Kristanti menjadi semacam penata rambut disana.
Hati kecil “berbisik” mengajak Kristanti bekerja sepenuhnya di panti. Namun idealisme atas materi tersebut akhirnya runtuh juga, saat menyadari bahwa sambutan gembira selalu diterimanyadari anak-anak panti setiap ia muncul. Tekadnya pun berseru, mengapa mesti setengah-setengah jika bisa terjun total dalam jenis kebaikan yang disukainya pula. Profesi care griver yang memerlukan kesabaran tinggi dengan honor yang membuat kita bertanya-tanya apakah itu cukup, tentunya manusiawi jika mereka dihinggapi rasa jenuh dan kekesalan yang sewaktu-waktu dapat meledak. Menyikapi kondisi care giver yang sedang turun, Kristanti selalu berupaya memberikan penyejuk dan pereda emosi.

2.    Remaja-remaja diajak berbagi
Dalam melakukan kebaikan kepada sesama Kristanti berusaha tidak statis tetapi terus melakukan pengembangan dan perbaikan. Kristanti tak percaya hukuman atau sanksi tegas kepada siswa bermasalah bisa memberikan efek jera. Ia lebih condong pada metode pendekatan secara kemanusiaan untuk memberikan efek membangunkan nurani. Remaja-remaja peserta konseling diajak terlibat langsung dalam kegiatan merawat para tunaganda di panti agar mereka benar-benar meresapi makna hidup adalah menjadi bermanfaat bagi lingkungan dan sesama mereka.

3.    Shilfi “Jatuh Cinta” pada anak-anak SLB
Bagi Shilfiani Kaisi, pengalaman paling berharga yang didapatnya ketika menjadi guru SLB C (tunagrahita) adalah berhasil memotivasi anak-anak yang dibimbingnya menjadi suka pergi ke sekolah, menumbuhkan rasa kasih sayang dan kepercayaan diri mereka. Kecintaan kepada murid-muridnya akhirnya membuat dia menjalani profesinya itu selam 2,5 tahun dan keluar dari sanahanya karena sarjana jurusan administrasi negara ini ingin lebih mencurahkan perhatian pada pengasuhan bayinya yang baru berusia 18 bulan. Tidak pernah terlintas sebelumnya dalam benak Shilfi akan menjadi guru di sana. Pertama karena jurusan pendidikannya bukan untuk itu, kedua karena dia tidak minat. Namun, ia suka bermain ke SLB karena ayahnya kepala sekolah disana. Namun kemudian ia malah bertahan disana.
Suatu ketika ibunda Shilfi meninggal dunia, mengakibatkan luka di hatinya, rasa kehilangan dan kesedihan mendalam yang berkepanjangan. Melihat kesedihan ini, ajakan untuk menjadi shadow teacher (guru pendamping) malah datang dari teman-teman ayahnya. Salah satu dari alasan yang mendorong dia untuk menerima tawaran menjadi shadow teacher adalah agar bisa terus mendampingi ayahnya yang mulai kurang sehat akibat penyakit diabetesnya. Setelah beberapa bulan menjadi shadow teacher, Shilfi diangkat menjadi guru tetap kelas yang harus mengajar semua mata pelajaran seperti yang diajarkan di SD dan SMP reguler. Hanya saja untuk SLB Tunagrahita ada pelajaran lain yang disebut binadiri agar anak-anak SD dan SMP itu bisa mandiri serta pelajaran keterampilan bagi siswa-siswa SMA. Belajar menjadi guru berarti bagi Shilfi harus terus membuka mata, banyak bertanya baik kepada guru lain, maupun kepada para orang tua siswa sera membaca sebagai literatur.
Situasi tak biasa  yang pernah dihadapinya sebagai guru SLB adalah menenangkan anak-anak yang suka mengamuk. Pada beberapa siswa tunagrahita, kondisi yang tidak nyaman dalam dirinya apakah itu datang dari teman-temannya atau dari dirinya sendiri, bisa memicu kemarahan dan dilampiaskan dengan mengamuk. Jadi kalau sudah terlihat gejalanya, muter-muter dan gelisah, anak-anak lain diminta guru menjauh. Pengalaman tak terduga pada Shilfi saat pelajaran olahraga, ia berusaha menahan dengan kuat agar kerudung tidak terlepas, akibatnya lehernya keseleo. Mengajar anak-anak yang masih SD selama dua tahun berturut-turut kerap melibatkan emosi. Bagaimana tidak, dua anak duduk sebangku, tetapi mereka tidak bisa saling bicara dan saling kenal. Diam-diam Shilfi menangis di kelas. “saya mencucurkan air mata ketika ibu meninggal dan selalu berulang ketika terkenang almarhumah. Tetapi saya bisa membayangkan berapa banyak air mata yang tertumpah dari mata para ibu yang anaknya berkebutuhan khusus,” kata Shilfi terharu.

4.    Pak To Kesayangan Keluarga
Saya kenalkan seorang “anak spesial”, tapi sudah berumur kepala 7. Bukan sekedar Pak To nya yang penyandang tunagrahita dan sebatang kara, tapi, siapa di balik sosok sepuh iniyang tidak pernah bersekolah, tidak mengenal siapapun kecuali lingkungan terdekatnya hingga mampu “eksis” sampai usia 77 tahun? Siapa orang yang mengasuhnya? Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa perhatian khusus bagi penyandang disabilitas tidak hanya harus di panti-panti, tapi rumah yang nyaman, kasih sayang dari orag-orang terdekat membuat mereka merasa “diorangkan”. Adakah Tiwi Sidarto kakak sepupu Pak To yang membawanya ketika dia ditinggal satu demi satu oleh ayah ibu, disusul saudara-saudara kandungnya dan pernah dititipkan di sebuah panti yang situasinya sangat memprihatinkan. Tiwi tidak menyekolahkan Pak To karena pada zaman itu belum ada sekolah-sekolah khusus. Tiwi juga kurang paham apa sebenarnya yag diderita sepupunya itu. Bicara kurang tertata, kemampuan berpikir lambat, tapi yang jelas Pak To dilahirkan oleh seorang ibu yang sedang sakit dan sempat mengonsumsi obat di masa kehamilan.
Meski tidak bersekolah, tidak pernah diterapi khusus, keluarga besar Tiwi melimpahinya dengan kasih sayang yang tulus serta kamar sendiri  tempat Pak To beristirahat dengan nyaman setelah nonton film kartun kesukaannya. Perhatian kecil itu sudah membuat Pak To tertawa kegirangan dan kembali nonton tayangan komedi di televisi. Sikap Tiwi yang penuh perhatian tapi tegas, sedikit demi sedikit membawa dampak positif bagi mental Pak To, diantaranya kebiasaan “ngompol” langsung berhenti akibat “ancaman halus” Tiwi. Demikian juga “terapi” untuk membersihkan diri sendiri sehabis membuang hajat besar, dipatuhi Pak To dengan benar.
Adapun Imam, seorang asisten laki-laki yang tugasnya bersih-bersih rumah dan taman (yang kini disekolahkan Tiwi untuk kuliah lagi) adalah pendamping setia Pak To. Imam menemani tidur bahkan mengolesi tubuh Pak To dengan obat gosok apabila masuk angin. Riang nian wajah pak To ketika saya menyapanya. Berulang kali dia mengatakan tinggal di rumah mbak Tiwi yang baik hati, senang jalan di sekitar kebun dan tak berani keluar rumah karena takut diculik.


2.7 Fakta, Dilema, dan Harapan
1. Aksebilitas Kurang Memadai
Rina Prasarani seorang aktivis penyandang cacat yang juga menjabat Sekjen World Blind Union, dan juga Sekjen Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) mengingatkan sebetulnya Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak-hak penyandang disabilitas dalam menerima pendidikan yang bermutu tingggi dan memperoleh pekerjaan yang bermartabat. Selama ini masyarakat belum menyadari bahwa tinggi rendahnya seorang disabilitas tergantung dari sikap dan interaksi masyarakat itu sendiri. Bagaimana mungkin seorang tunanetra akan mengembangkan daya intelektualnya bila masyarakatnya sendiri tidak bersedia memfasilitasi, seperti laptop yang bisa bicara, buku-buku braille, browsing internet bahkan facebookan yang sedang marak sekarang.
Selain itu fasilitas sering sekali “salah garap” karena pihak pengembang tidak bersedia berkonsultasi dengan penyandang disabilitas yang mereka anggap lemah dan tidak mengerti apa-apa. Akhirnya terjadilah akses jalan bagi tunanetra yang pemasangannya tidak tepat, seperti guilding blok dan warning blok sering tertukar. Seharusnya sekolah luar biasa yang memiliki guru-guru “spesialis anak-anak berkebutuhan khusus” (GPK), memberikan konstribusinya selain untuk mendampingi anak-anak spesial bagi guru pendamping, juga mengajarkan kepada Sekolah dan guru-guru reguler bagaimana mengatur kurikulum yang tepat, mempergunakan bahasa isyarat atau konsep berhitung yang serta menciptakan lingkungan yang kondusif. Kepada anak spesial nedds Rina berharap mereka mau berinteraksi dengan mengenalkan diri terlebih dahulu kepada masyarakat.

2. Sumber Manusia
Pendidikan inklusif tidaklah sekedar menempatkan siswa berkelainan secara fisik dalam kelas reguler dan bukan pula sekedar memasukan mereka sebanyak mungkin dalam lingkungan belajar siswa normal. Selain itu pendidikan inklusif juga berkaitan dengan cara guru dan teman sekelas yang normal menyambut semua siswa dalam kelas dan secara langsung mengenali nilai – nilai keanekaragaman siswa. Dr Mudjito, A.K., M. Si, Direktur Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar menyatakn ketidaksiapan sekolah melakukan penyesuaian terhadap program inklusif pada dasarnya menyangkut ketersediaan sumber daya manusia yang belum memadai. Disamping pemberdayaan guru umum, juga keterbatasan guru pembimbing khusus.
GBK peranannya adalah memberikan program pendampingan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Kendala itu belum termasuk rendahnya dukungan warga sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan mereka. Menyadari kekurangan di atas, maka perlu adanya kompetensi guru secara khusus diantaranya melalui diklat dan dalam kontek sekolah, perlu penyesuaian dalam manajemen sekolah, yaitu mulai dari cara pandang, sikap personil sekolah sampai pada proses pembelajaran (kurikulum) yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.

3. Keteteran Menampung ABK Karena Sekolah Lain Enggan Menerim
Meski program setiap sekolah harus mampu jadi sekolah inklusif ini telah bertahun-tahun didengungkan pemerintah, pada kenyataanya justru “ penolakan” untuk ikut serta menjadi inklusif terjadi bukan hanya dari sekolah yang belum mempunyai nama besar. Ada juga sekolah yang sudah memiliki “predikat unggulan atau favorit”, tidak bersedia menerima anak-anak disabilitas. Karena sekolah itu khawatir namanya anjlok. Jalannya sistem pendidikan inklusif di sekolah-sekolah dasar kini justru jadi kebingungan, mereka mencoba mendaftarkan putra atau puterinya ke SD Negeri yang jelas -jelas telah ditunjuk Diknas sebagai SD Inklusif tetapi malah mendapat penolakan.
“Kami membatasi jumlah ABK hanya 1 murid dalam setiap kelas karena pertimbangan kemampuan SDM yang dimiliki”.  Lia Amalia Wakil Kepala Sekolah Dasar Tunas Unggul, yang merupakan SD Swasta Inklusif di wilayah Bandung Timur, terang – terangan mengakui keterbatasan SDM di tempatnya bekerja berimbas kepada minimnya kouta bagi murid berkebutuhan khusus.
4. Ketika Dilema Bersumber dari Orang Tua
Julie Salama, pimpinan Yayasan Salaman Al Farizi yang mengelola Taman Kanak-kanak menjumpai langsung dilema tersebut. Di satu sisi dia mengerti benar bahwa ABK mempunyai hak yang sama menerima pendidikan di Sekolah reguler. Namun terkadang orang tua yang anak-anaknya normal keberatan ada ABK bergabung bersama dengan alasan klise khawatir mengganggu murid lainnya. Sebenarnya kekhawatiran itu dapat diatasi bila murid ABK
memiliki guru pendamping yang seyogyanya dibayar oleh orang tua murid, karena
pihak sekolah belum mampu menyediakan guru pendamping. Ironisnya orang tua ABK yang mendaftar, kebanyakan dari golongan menengah kebawah yang ekonominya terbatas. Psikolog pun memeratakan profil setiap murid seperti
karakter, sikap belajar, kemandirian, kendala belajar dan bagi anak – anak spesial, dilengkapi juga dengan identifikasi hambatan.


5.    Hak Berpolitik Belum Berprioritas
Nuning Suryatiningsih ketua CIQAL (Centre for Improving Qualifred Activity in Life of People With Disabilites) sebuah organisasi penyandang cacat di Yogya dan juga anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sleman menyampaikan pengalaman para penyandang disabilitas dalam hak berpolitiknya.
Mengenai hak berpolitik penyandang disabilitas, Nuning mengakui kalau selama ini mereka diajak bergabung dalam Parpol, hanya sebagai pelengkap bukan komitmen. Peran dan partisipasinya belum menjadi prioritas, sehingga belum diperhitungkan secara tegas. Oleh karena itu Nuning menyarankan agar dalam UU tentang Parpol penting dimasukkan tentang qouta bagi penyandang disabilitas dalam daftar calon, sehingga bukan hanya sebagai pelengkap penderita.

6.        Sinergikan Penyandang Cacat dan Masyarakat
Praktisi Bidang Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Cacat Sarsito Sarwono, menyatakan bahwa dunia sosial terdiri atas dua kelompok, yaitu mereka yang perlu dibantu disebut sebagai mampu membantu. Mereka yang perlu dibantu disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), sedangkan mereka yang mampu membantu disebut potensi sumber kesejahteraan sosial (PSKS) yang mencakup masyarakat, dunia usahadan pemerintah. Perlu dipahami adalah bahwa masalah sosial merupakan masalah multi dimensi, sehingga untuk menyelesaikannya perlu keterpaduan upaya dari berbagai pihak dan berbagai disiplin ilmu. Hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah bahwa masalah sosial tidak akan dapat terselesaikan tanpa kemauan dan usaha dari penyandang masalahnya sendiri.
Masalah penyandang cacat merupakan salah satu bagian dari 7 prioritas penanggulangan masalah sosial yaitu kemiskinan , kacacatan, keterpencilan, ketunaan sosial, dan penyimpangan perilaku, korban bencana serta korban tindak kekerasan, eksploitasi dan kriminisasi.  Dukungan pemeritah dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bidang kesejahteraan sosial sudah banyak, apalagi yang berkaitan dengan penyandang cacat. Termasuk ketentuan yang berkaitan dengan pemenuhan hak – hak penyandang cacat dibidang sosial, pendidikan dan ketenagakerjaan, hanya sangat disayangkan, peraturan perundang-undangan, kurang disosialisasikan dan relatif tidak dijalankan dengan baik karena sanks pelanggarannya tidak jelas atau malah tidak
diterapkan.
Peran orang tua beserta keluarga sangat penting terhadap perkembangan anak penyandang cacat. Kebanyakan penyandang cacat yang sukses dalam karirnya karena mendapat dukungan penuh dari orang tua dan keluarganya. Masyarakat terkadang masih menganggap memiliki anak cacat merupakan aib keluarga.padahal tidak ada satu pun pasangan suami-istri yang menginginkan punya anak cacat.pandangan masyarakat ini perlu diubah. Hal yang palinhg esensial dalam upaya merehabilitasi para penyandang cacat adalah membangun kepercayaan diri dan kreativitasnya. Orang yang percaya diri akan berani tampil dan berani menghadapi tantangan. Sedangkan pikiran dan kreatif akan mampu memecahan masalah dan mengatasi masalah hambatan.

7.        Peran Orang Tua Nomor Satu
Menurut Teti Ichsan, Ketua Perkumpulan Peduli Anak, menegaskan sejak awal orang tua anak-anak special nedds sudah harus memiliki aspirasi megenai perkembangan anak nantinya, mau bagaimana dan mau diapakan. Semua hal tersebut menurutnya harus disosialisasikan dan dibangun sejak dini di dalam masyarakat inklusif sehingga mereka akan menghargai perbedaan serta tidak lagi memandang iba terhadap anak  anak berkebutuhan khusus.  Diharuskan ada stimulasi dini sejak lahir terhadap anak dan orang tua mesti banyak menyerap pengetahuan tentang jenis kelainan yang disandang anak-anak.
Orang tua juga mesti bersikap lebih terbuka kepada lingkungan dan selalu mengajak anak-anaknya bersosialisasi dengan masyarakat. Seluruh keluarga harus dikondisikan menerima anak-anak special needs ini dengan tangna terbuka. Itu berarti termasuk pembantu rumah tangga, pengemudi atau pun orang-orang di sekitarnya yang perlu diberikan pendidikan tentang cara merawat, mendampingi, dan mengajak bermain anak–anak tersebut sehingga mereka turut mengasuh dengan tulus. Banyak orang tua anak-anak special needs berkaca pada keberhasilan sebagian dari mereka yang dianggap mampu mencapai rekor pada bidang tertentu. Di saat anak itu tidak berhasil pada bidang tertentu. Di saat anaknya sendiri tidak berhasil pada titik itu orang tua malah menjadi depresi sendiri, terutama bagi anak down syndrome dimana mereka mempunyai keterlambatan berpikir dan penanganan yang tidak sama jika dibandingkan dengan anak penyandang tunadaksa.



BAB III
PENUTUP
3.1     Simpulan
“Anak-anak spesial” adalah julukan manis untuk anak spesial needs, anak berkebutuhan khusus (ABK), yang dipergunakan oleh para orang tua yang putra-putrinya menyandang predikat tersebut. Biasanya pemakaian singkatan ABK ini diterapkan di berbagai lembaga pendidikan seperti di sekolah, tempat terapi atau universitas. Bagi  masyarakat, terutama di perkotaan, ABK yaitu anak-anak yang menyandang kelainan ataupun kekurangan secara fisik dan mental.  
Adapun yang disebut anak-anak berkebutuhan khusus atau anak-anak special needs adalah: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, down syndrome, autis, ADHD, tunadaksa, tunalaras, tunawicara, tunaganda, kesulitan belajar, dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya.
Keberadaan SLB merupakan solusi pertama bagi pemenuhan seluruh warga negara berkebutuhan khusus dalam mendapatkan keterampilan primer. Dengan adanya sekolah inklusi saat ini merupakan alternatif bagi anak berkebutuhan khusus terutama bagi anak yang kesulitan belajar. Yang dimaksud dengan kesulitan belajar atau gangguan belajar (learning disorder) adalah gangguan belajar pada anak yang ditandai dengan adanya kesenjangan yang signifikan antara intelegensi dengan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai. Adapun pengenalan dini pada perkembangan anak merupakan suatu proses yang penting untuk memahami potensi dan kebutuhan mereka. Semakin dini proses ini dilakukan, maka upaya pengembangan potensi anak juga semakin efektif. Identifikasi dini pada masa sekolah sangat menentukan perkembangan anak-anak di masa mendatang.

3.2  Saran
Adanya kerjasama antara orang tua dan pihak sekolah atau pembimbing dari peserta didik yang mengalami kesulitan belajar. Menciptakan lingkungan yang mendukung potensi serta minat dan bakat peserta didik, sehingga peserta didik dapat mengeksplor potensi yang dimilikinya dan membangun kepercayaan diri dari peserta didik. Pendidik diharapkan mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas mengenai penanganan kesulitan belajar yang dialami peserta didik, pendidik serta orang tua berinovasi untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran peserta didik. Selain itu, pendidik diharapkan melakukan komunikasi yang intens dengan peserta didik ataupun dengan orang tua. Sehingga, dapat menemukan solusi cara pembelajaran yang tepat untuk setiap peserta didik.


































DAFTAR PUSTAKA
Pandji, Dewi. 2013. Sudahkah Kita Ramah Anak Special Needs. PT. Gramedia  :  Jakarta.

 BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus tidak hanya anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras saja. Anak autistik merupakan anak berkebutuhan khusus. Anak autistic memiliki jumlah yang cukup banyak dilingkungan masyarakat. Autism merupakan suatu kelainan yang serius dan kompleks. Kelainan ini serius karena didapati kelainan neuroanatomis yang permanen pada otak kecil, system limbic dan lobus parietalis. Anak ini juga membutuhkan suatu layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya untuk mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya.
Media informasi yang kini dibangun dan mengalir di mana-mana seakan memberi secercah pengetahuan tambahan dan juga kesadaran untuk bersikap jauh lebih terbuka mengenai keberadaan anak-anak special nedds ini. Keluarga yang memiliki putra-putri berkebutuhan khusus pun tak lagi mesti malu, apalagi menyembunyikan keberadaan buah hati mereka. Perlu disadari bahwa keberadaan anak-anak dengan kondisi berbeda yang membaur di lingkungan kita bukan lagi menjadi hal yang tabu atau ditampik. Mewujudkan kesetaraan hak, kesempatan hidup semua manusia terlepas dari bagaimana pun kondisi fisik dan psikis adalah suatu keniscayaan yang kian hari kian dituntut manifestasinya. Di lembaga pendidikan, pada lapangan kerja, individu berkebutuhan khusus akan semakin sering kita temui sebagai implementasi dari persamaan hak tersebut. Mungkin kita tak lagi setengah-setengah dalam mengenali seseorang yang dilahirkan spesial.

1.2    Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus” yang diberikan oleh dosen pengampu yaitu Dr. Ahmad Waki, M.A. Selain itu untuk memberikan suatu pengetahuan kepada mahasiswa sebagai bahan diskusi kelas.




1.3    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu sebagai berikut:
a.     Apakah yang dimaksud dengan anak Special Needs ?
b.    Siapa saja yang termasuk anak Special Needs ?
c.     Bagaimana penanganan anak special needs dalam sejarah ?
d.    Bagaimana pendidikan anak Special Needs ?
e.     Bagaimana Profil  Anak Special Needs dan Orang Tuanya ?
f.     Bagaimana Dedikasi Sosok di Belakang Anak Special Needs ?
g.    Apa Penjelasan Fakta, Dilema, dan Harapan bagi Anak Special Needs

1.4    Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode pustaka, yaitu dengan melihat sumber dari buku.

1.5    Sistematika Penulisan
 Berikut adalah sistematika penulisan makalah ini :
BAB I        Pendahuluan terdiri atas latar belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah,   metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II    Pembahasan terdiri atas pengertian anak special needs, Macam-macam anak special needs, penanganan anak special needs dalam sejarah, pendidikan znak special needs, profil anak special needs, dedikasi sosok di belakang anak special needs, fakta, dilema, dan harapan anak special needs.
BAB III     Penutup terdiri atas Simpulan dan saran.

Untuk mempertanggungjawabkan penulisan disertai daftar pustaka.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pegertian anak Special Needs
“Anak-anak spesial” adalah julukan manis untuk anak spesial needs, anak berkebutuhan khusus (ABK), yang dipergunakan oleh para orang tua yang putra-putrinya menyandang predikat tersebut. Biasanya pemakaian singkatan ABK ini diterapkan di berbagai lembaga pendidikan seperti di sekolah, tempat terapi atau universitas. Bagi  masyarakat, terutama di perkotaan, ABK yaitu anak-anak yang menyandang kelainan ataupun kekurangan secara fisik dan mental.  
Prof. Frieda Mangunsong, guru besar Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa pengertian anak yang tergolong luar biasa atau memiliki kebutuhan khusus adalah: “Anak yang secara signifikan berbeda dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional. Juga anak-anak yang berbakat dengan intelegensi yang tinggi dapat dikategorikan sebagai anak khusus atau luar biasa karena memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga profesional”.
Adapun beberapa istilah yang sering kita dengar namun nampak keliru dalam mengartikannya, diantaraya:
1.    Impairment atau kerusakan
Ini berkaitan dengan suatu penyakit atau rusaknya suatu jaringan dalam tubuh sehingga menibulkan kekhususan pada diri seseorang. Sebagai contoh, bayi yang kekurangan oksigen pada saat proses kelahirannya akhirnya mengalami kerusakan otak dan syaraf lainnya, akhirnya terjadilah kelumpuhan otak (cerebral palsy).
2.  Disability atau kekhususan
Hal ini menunjukkan konsekuensi fungsional dari kerusakan bagian tubuh yang dialami seseorang. Contohnya, seseorang yang pertumbuhan kakinya menjadi tidak normal akibat terjangkit polio. Untuk selanjutnya ia tidak bisa beraktivitas leluasa apabila tidak dibantu dengan alat penunjang khusus seperti kruk, kursi roda, atau kaki palsu.
3.    Handicapped atau ketidakmampuan
Hal ini merupakan konsekuensi sosial yang dialami seseorang berkebutuhan khusus ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai contoh, seorang tunanetra bisa membaca tetapi tentu saja ia tak mungkin membaca huruf awas dan hanya dapat membaca huruf Braille. Sehingga apabila seorang tunarungu dapat melakukan perjalanan jauh seorang diri dengan berpatokan pada peta konvensional dan papan petunjuk jalan, seorang tunanetra tidak bisa melakukan hal yang sama tanpa orang lain yang mendampingi, atau perangkat teknologi yang mentransfer tampilan visual ke audio.
2.2  Macam-macam Anak Special Needs
Ada beberapa anak-anak special needs yang bisa kita sebut populer di Indonesia karena tergolong mudah ditemui atau sekedar mendengarnya dalam berbagai kesempatan. Siapa saja yang disebut anak-anak berkebutuhan khusus atau anak-anak special needs ini, mereka adalah sebagai berikut:
1.    Tunanetra
Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan, dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu buta total (blind) dan low vision.  Tunanetra tidak berarti selalu tidak mampu melihat secara keseluruhan.
Dalam konteks individu berkebutuhan khusus, tunanetra berarti setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada indra penglihatan seseorang sehingga mengalami kendala dalam beraktivitas dan akhirnya, mereka pun memerlukan alat khusus yang dapat membantu penglihatan atau menggantikan fungsi matanya. Oleh karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan, maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain, yaitu indra peraba dan indra pendengaran, sebab itu prinsip yang harus diperhatiakn dalam memberikan pengajaran kepada individu-individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat faktual dan bersuara. Contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. Sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.
Anak yang buta sejak lahir secara alamiah memiliki persepsi tentang dunia yang jelas berbeda daripada anak yang kehilangan penglihatannya pada usia 12 tahun. Kerusakan penglihatan sejak lahir disebabkan bermacam-macam penyebab seperti faktor keturunan atau infeksi misalnya campak Jerman yang ditularkan ibu saat janin masih dalam proses pembentukan disaat kehamilan.
2.    Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen. Alat untuk mengukur kemampuan dengar secara kuantitatif disebut audiometric. Dari pemeriksaan menggunakan audiometric dapat diperoleh klasifikasi kemampuan mendengar suara sesuai level yang dinyatakan dalam satuan desibel (dB). Dari mulai gangguan pendengaran sangat ringan, dimana penderitanya tidak bisa menangkap jelas suara bisikan sampai pada gangguan pendengaran ekstrem (tuli) yang tidak bisa mendengar dering telepon atau keramaian lalu lintas besar.
Karena memiliki kesulitan dalam pendengaran, individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Individu tunarungu juga cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Masalah yang dihadapi oleh anak tunarungu cukup berat  dan biasanya bersumber dari kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi.
Pendekatan komunikasi yang banyak digunakan pada anak tunarungu, yaitu latihan pendengaran, oralism, manualism, dan komunikasi total. Latihan pendengaran secara sistematis mengembangkan kemampuan anak untuk menyadari dan membedakan:
a.    Suara-suara yang mencolok, termasuk suara-suara lingkungan.
b.    Pola irama berbicara dan irama musik.
c.    Pengenalan huruf hidup.
d.   Penegnalan huruf mati.
e.    Bicara dalam situasi ramai atau bising.
Indikator yang bisa dengan mudah kita lihat untuk menengarai gangguan pendengaran pada seorang anak, diantaranya:
a.    Perkembangan bahasa terlambat. Dalam tahun pertama kehidupannya, anak tunarungu mengeluarkan bunyi-bunyian tidak berbeda dengan anak normal. Memasuki usia 12-18 bulan, anak normal mulai menggunakan kata-kata pertama sementara anak tunarungu belum menampakkan kemampuan membunyikan kata-kata yang terarah. Pada usia 2 tahun jika seorang anak masih juga belum memperlihatkan kemampuan berbicara, patut dicurigai ia mengalami gangguan pendengaran dan tentunya dibutuhkan serangkaian diagnosis klinis untuk lebih memastikan.
b.    Memperdengarkan suara terlalu lembut ataupun keras tanpa ia menyadari.
c.    Berulang kali menanyakan sesuatu yang baru saja disampaikan, lambat bereaksi terhadap suatu instruksi karena tidak menangkap pesan secara utuh, salah menginterpretasikan atau sering meminta seseorang mengulangi perkataannya.
d.   Sulit mengulangi suara, kata-kata, lagu, irama, atau mengingat nama.
e.    Bingung membedakan kata yang bunyinya hampir sama atau membuat kesalahan dalam pelafalan kata-kata (seperti menghilangkan konsonan di akhir kata).
f.     Konsentrasi berlebihan terhadap wajah dan gerak mulut pembicara.
g.    Mengalami keluhan fisik seperti merasa ada suara bising di telinga, nyeri di telinga, merasa ada benda di dalam telinga, mendengar dengungan, sering demam dan mengalami infeksi seputar telinga hidung tenggorokan.
Berbagai macam penyebab ketunarunguan dibagi dalam empat hal besar yaitu: trauma, penyakit, herditer, dan kelainan genetik. Trauma misalkan akibat tusukan benda tajam kedalam telinga atau benturan di kepala yang merusak syaraf pendengaran. Penyakit seperti virus rubella dalam masa kehamilan dan sifilis kongenital.

3.    Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki tingakat intelegensia. Istilah seperti cacat mental, bodoh, dungu, pandir, lemah pikiran adalah sebutan yang terlebih dulu dikenal sebelum tunagrahita. Grahita sendiri artinya adalah pikiran dan tuna adalah kerugian. Klasifikasi tunagrahita berdasarkan :
a.       Tunagrahita ringan (IQ : 51-70)
b.      Tunagrahita sedang ( IQ : 36-51)
c.       Tunagrahita berat ( IQ : 20-35)
d.      Tunagrahita sangat berat ( IQ dibawah 20 )
Penyebab seorang anak menjadi tunagrahita begitu beragam, mulai dari infeksi, trauma fisik, kelainan genetik, kelainan prematur dan lain sebagainya. Secara garis besar terjadinya tunagrahita adalah bersumber dari luar, seperti paparan sinar X-Rays, pengaruh zat-zat yang bersifat toxic kerusakan otak saat lahir atau terjangkit virus penyakit dan bersumber dari dalam, sepeerti abnormalitas pembentukan kromosom.
Kita masih sering menyamakan tunagrahita dengan down syndrome. Yang benar adalah down syndrome merupakan salah satu bentuk retardasi mental yang menunjukan keterbatasan signifikan dalam fungsi intelektual maupun adaptif. mitos-mitos lain mengenai tunagrahita yang semestinya mulai ditepiskan adalah:
a.    Terbatasan intelektual tunagrahita tidak mentok tanpa perkembngan sepanjang hidupnya. Dengan latihan, motivasi dan pendidikan khusus, tunagrahita terutama yang hanya ringan sampai sedang perkembangan kemampuan mereka dapat meningkat secara baik dalam bidang apapun yang memungkinan bagi meraka.
b.    Tunagrahita bisa dideteksi sejak dari bayi. Ini lebih cocok berlaku bagi penyandang down syndrome yang sejak lahir memiliki tampilan fisik berbeda atau sewaktu masih janin didalam rahim dapat dilakukan test pendeteksi sendiri.
Secara statistik, sindroma down adalah sumber gangguan yang terjadi sebesar 5-6 % dari total kasus tunagrahita. Meski terhitung sedikit jika dilihat dari jumlah keseluruhan kasus tunagrahita, down syndrome lebih menyita perhatian karena karaktersistik fisiknya yang mudah dikenali. Seorang DS (down syndrome) bisa memiliki beberapa atau semua ciri khas seperti dagu sangat kecil, mata sipit dengan lipatan kulit di sudut dalam mata, kelemahan otot-otot, hidung datar, garis telapak tangan hanya satu, lidah menonjol, wajah sangat bulat dan ukuran kepala yang besar.
DS (down syndrome) dikenal juga dengan istilah Trisomy 21 yakni terjadinya kelainan pada kromosom ke-21. Penyimpangan tersebut tertangkap dalam penelitian oleh dr. Jerome Lejeune di tahun 1959. Normalnya jumlah kromosom seorang manusia adalah 46 pasang, tetapi seorang DS (down syndrome) memiliki 47 pasang kromosom.
Menurut Dra. Teti Ichsan, M.Si, peneliti down syndrome, salah satu dampak dari abnormalitas kromosom 21 pada anak yang memiliki DS adalah keterbelakangan intelektual yang erat kaitannya dengan kemampuan akademik, kecerdasan majemuk, memberikan ruang untuk dapat berkembangnya berbagai unsur-unsur dari kecerdasan tersebut. Namun apabila mereka difasilitasi, didorong, dan diberi kesempatan dalam mengembangkan kecerdasan tersebut, tidak menutup kemungkinan mereka mampu mencapai optimalisasi sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
4.    Autisme
Autisme yaitu penarikan diri yang ekstrem dari lingkungan sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi, serta tingkah laku yang terbatas dan berulang yang muncul sebelum usia 3 tahun.
 Seorang autis berinteraksi dengan cara sangat berbeda, jika gangguannya parah, ia benar-benar menunjukkan sikap tidak tertarik pada orang lain. Gejala khas lain yang sering terdapat pada autis adalah menghindar dari kontak mata dan kontak fisik. Membenci suara keras, bau tertentu atau cahaya terlalu terang. Dalam interaksi sosial sehari-hari begitu banyak pesan nonverbal saling ditukarkan dan pemaknaan secara abstrak pada berbagai hal. Seorang autis tidak bisa memahami komponen komunikasi tersebut diakibatkan terdapat semacam kegagalan neurobiologis dalam tubuh mereka. Lebih mudah bagi mereka untuk mengerti sesuatu melalui gambar konkret dan memakai asosiasi daripada berlogika.
Beberapa jenis ASD (Autism Spectrum Disorder) yang paling umum dialami, yaitu:
a.    Autisme. Pengertian dan gejalanya telah dipaparkan di atas. Sebagai informasi tambahan, gejala-gejala tersebut muncul sebelum usia 3 tahun dan prevelansinya 4 kali lebih banyak menimpa anak laki-laki daripada perempuan.
b.    Asperger Sindrom. Ini juga lebih besar menimpa anak laki-laki daripada perempuan. Jika anda melihat seseorang yang disebut autis tetapi ia tidak tampak kesulitan dalam berbahasa dan berkomunikasi namun hanya sekedar terkesan canggung bergaul, kikuk atau kasar/tak sopan, mungkin ia menyandang sindrom asperger. Rata-rata nilai intelektual seorang asperger adalah normal bahkan tinggi, begitu juga kemampuan verbalnya. Permasalahan utama asperger terletak pada gangguan dalam memahami petunjuk sosial, oleh karena itu kerap mereka disalahmengertikan sebagai individu yang tidak menghargai etika bersosial. Asperger dapat disebut autis ringan namun tetap membutuhkan perlakuan dan pendidikan khusus agar di masa dewasa ia bisa mengatasi hambatan dalam interaksi sosial dalam lingkungannya.
c.    Rett Sindrom. Banyak dialami anak perempuan di usia 7-24 bulan. Sebelumnya anak mengalami perkembangan normal, tetapi kemudian mengalami kemunduran yang mencakup keterampilan motorik yang telah dikuasai, kemampuan berbahasa, gerakan stereotipik seperti sedang mencuri tangan dan membahasi tangan dengan air liur, hambatan mengunyah makanan.
d.   Childhood Disintegrative Disorder. Pada usia 2-10 tahun, anak berkembang normal sebelum mengalami kemunduran signifikan pada keterampilan yang telah dikuasai daan terjadi gangguan pada fungsi sosial, komunikasi serta perilaku. Pada beberapa kasus, penderitanya terus mengalami kemunduruan hingga tiba di kondisi retardasi mental berat.
e.    Pervasive Developmental Disorder not Otherwise Specified (PDD-NOS), individu mengalami gejala autisme setelah usia 3 tahun atau lebih.
            Sebagian besar ilmuwan mengemukakan pendapat terdapat faktor herediter penyebab autisme pada seseorang. Anak yang didiagnosis autis apabila ditelusuri garis keturunannya, maka ada salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan sejenis, meski tidak selalu sama-sama autis. Peneliti lainnya memilih memperluas penyebab autisme adalah akibat faktor lingkungan selama kehamilan. Apakah itu diakibatkan infeksi virus, bakteri tertentu, kontaminasi udara atau kontak dengan zat kimia berbahaya seperti pestisida.
            Pada penyandang autisme, disebabkan oleh suatu hal, beberapa sel dan koneksinya tidak berkembang baik bahkan mengalami kerusakan. Gangguan koneksi ini terutama terjadi pada neuron-neuron yang bertanggung jawab di are komunikasi, emosi dan kesadaran.
5.    ADHD, Gangguan Atensi dan Hiperaktif, Bukan Nakal Biasa
Attention Defisit and Hyperactive Disorder. Gangguan Hiperaktif dan Minimnya Rentang Perhatian. Attention Defisit and Hyperactive Disorder merupakan kondisi kronis yang terus berlangsung sampai seseorang dewasa. Yang menjadi gejala utamanya adalah ketidakmampuan berkonsentrasi atau memperhatikan sebuah objek pada rentang waktu minimal dan juga hiperaktivitas disertai impusifitas dalam perilaku sehari-hari.
Seorang anak dicurigai ADHD apabila tindakan-tindakan di atas terus berlangsung lebih dari 6 bulan, bertindak demikian hampir di setiap lingkungan di mana ia berada, (banyak anak yang tampak sering lepas kendali aktivitasnya bila di rumah tetapi menjadi lebih pendiam jika di sekolah), tindakannya tersebut menimbulkan masalah hubungan dengan anak lain atau juga dewasa dan masalah dalam tugas sekolah serta kesehariannya.
Apabila discan, citra otak seorang ADHD memang memiliki perbedaan cukup nyata dengan otak yang tidak mengalami ADHD. Pada seorang yang didiagnosis ADHD terdapat tanda kurang aktifnya area otak yang mengontrol tingkat aktivitas dan perhatian.
6.    Tunadaksa
Tuna berarti kerugian atau tidak punya. Daksa adalah anggota tubuh. Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh beragam hal seperti di antaranya kelainan neuromuskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit seperti infeksi di masa kehamilan, plasenta yang tidak mencukupi (darah janin dan ibu tidak kompatibel), kelahiran prematur, cerebral palsy. Trauma fisik, penyakit kronis serta faktor-faktor terkait lainnya yang dapat membahayakan setelah kelahiran.
Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah :
a.         Ringan, yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik, tetapi masih dapat ditingkatkan melalui terapi.
b.         Sedang, yaitu memiliki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik.
c.         Berat, yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
7.    Tunalaras
Pernah disebut sebagai emotionally disturbed, tetapi lalu dinilai kurang pas dan diubah jadi seriously behavioral disabled, ini pun lalu dipersingkat menjadi behavioral disabled saja. Belakangan dilakukan penggabungan menjadi emotional or behavioral disorder.
Karakteristik sosial dan emosional anak dengan gangguan emosional tingkah laku adalah :
a.         Tingkah laku yang tidak terarah (tidak patuh, perkelahian, perusakan, pengucapan kata-kata kotor dan tidak senonoh, senang memerintah, kurang ajar).
b.         Gangguan kepribadian (merasa rendah diri, cemas, pemalu, depresi, kesedihan yang mendalam, menarik diri dari pergaulan).
c.         Tidak matang dalam sikap, cepat bingung, perhatian terbatas, senang melamun, berkhayal, senang bergaul dengan yang lebih muda.
d.        Pelanggaran sosial (terlibat dalam aktivitas ‘geng’, mencuri, membolos, begadang).
Tunalaras karena gangguan emosional atau tingkah laku terdiri dari faktor-faktor gangguan biologis, hubungan keluarga yang tidak sehat, serta faktor eksternal seperti pengalaman di sekolah yang tidak diharapkan dan pengaruh masyarakat yang buruk.
8.    Tunawicara
Tunawicara adalah kondisi khusus yang justru laku dijual sebagai komoditas hiburan. Setiap gangguan bicara yang dialami seseorang daan berpotensi menghambat komunikasi verbal yang efektif disebut tunawicara.
Gangguan bicara dapat muncul dalam berbagai bentuk. Terlambat bicara, artikulasi yang aneh dan tidak sesuai, gagap, tidak mampu menggunakan kata-kata yang tepat sesuai konteks, penggunaan bahasa yang aneh atau sedikit sekali bicara. Dalam bahasa ilmiahnya disebut Expressive Aphasia atau severe languange delay.
Karakteristik khusus pada anak tunawicara :
a.         Terjadi pada anak-anak yang lahir prematur.
b.         Kemungkinannya empat kali lipat pada anak yang belum berjalan pada usia 18 bulan.
c.         Belum bisa berbicara dalam bentuk kalimat pada usia dua tahun.
d.        Memiliki gangguan penglihatan.
e.         Sering dikategorikan sebagai anak yang kikuk oleh gurunya.
f.          Dari segi perilaku kurang bisa menyesuaikan diri.
g.         Sulit membaca.
h.         Banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan.

9.    Tunaganda
Seseorang yang memiliki kerusakan, kekhususan dan ketidakmampuan dalam beberapa hal sekaligus. Penyebab seseorang menjadi tunaganda dapat disebabkan trauma pada otak, luka waktu lahir (kelahiran sukar), hydrocephalus, penyakit infeksi, misalnya TBC, cacar, meningitis, dan faktor keturunan antara lain kerusakan pada benih plasma, dan hasil perkawinan dari ayah dan ibu yang rendah intelegensi dapat diturunkan pada anak.

10.     Kesulitan Belajar
Anak-anak berkebutuhan khusus yang termasuk dalam kategori ini sebenarnya tidak mengalami permasalahan dengan daya inteligensia hanya saja diperlukan strategi belajar tersendiri yang dapat mengakomodir potensi mereka yang terhambat karena gangguan-gangguan motorik, persepsi- motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang serta keterlambatan konsep.
Mereka memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang disebabkan karena gangguan persepsi seperti dyslexia (gangguan bahasa), discalculia (gangguan matematika) dan dysgraphia (gangguan menulis).
Penyebab kesulitan belajar terbagi dalam beberapa bagian antara lain disfungsi minimal otak, tidak adanya dominasi lateralitas, adanya penyimpangan visual, adanya perkembangan yang tidak normal, penyimpangan psikologos, adanya penyebab yang bersifat genetik, pengaruh/kesalahan dalam cara mengajar dan deprivasi dalam proses berpikir.

11.     Anak-anak Berkebutuhan Khusus Lainnya
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 pasal 3, ayat 4, bahwa “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.” Gifted Children, atau dikenal juga sebagai anak-anak berbakat. Karakter yang biasa melekat pada seorang anak berbakat diantaranya adalah: sangat observatif, memiliki memori sangat baik, rasa ingin tahu yang besar, rentang perhatian panjang, tanggung jawab terhadap tugas, pembelajar cepat, mampu memahami dan menjelaskan hal abstrak dan konseptual, pemecah masalah yang andal, imajinasi kuat yang diwujudkan dalam kekreativitasan di atas rata-rata.
Selain anak-anak “genius” adalah bagian dari warga negara yang berkebutuhan khusu ternyata warga negara yang terbelakang, berada di daerah terpencil dimasukkan juga ke dalam kategori berkebutuhan khusus.

2.3 Penanganan Anak Special Needs dalam Sejarah
Pada zaman permulaan masehi, anak-anak yang terlahir dengan keadaan berkelainan fisik biasanya diperlakukan secara tidak manusiawi karena dianggap sebagai kutukan. Anak-anak dengan kelainan mental tersebut dianggap kerasukan roh jahat sehingga harus dikurung. Autisme sebenarnya telah ada sepanjang sejarah hidup manusia, namun pada zaman tersebut autisme disamakan dengan ketidakwarasan atau penyakit mental yang disebabkan oleh hal-hal mistis. Tak jarang, penyandang yang seharusnya mendapatkan perhatian malah mendapat hukuman karena orang pada masa itu takut pada  pengaruh sihir jahat. Dalam perkembangan dunia modern pun, penyebab autisme sempat ditundingkan kepada ibu yang melahirkan. Refrigerator Mother atau ibu dengan sifat dinginlah yang menolak untuk memberi kehangatan serta kasih sayang dan telah menyebabkan bayinya tumbuh besar menjadi anak autis.
Seiring peradaban barat yang mulai keluar dari zaman kegelapan, perlakuan kepada anak-anak cacat pun mulai mengalami perbaikan. Alat dan teknologi penunjang kegiatan anak-anak berkebutuhan khusus mulai dikembangkan menjadi lebih mumpuni. Hasil penelitian dipublikasikan, diterapkan dimasyarakat,diteliti ulang oleh ilmuwan lain lalu dikoreksi atau disempurnakan. Dalam perkembangannya, sistem baca-tulis, notasi musik serta matematika Braille ditemukan oleh seorang tunanetra berusia 12 tahun bernama Louise Braille. Sistem tersebut ia adopsi dari trik bertukar pesan rahasia di kalangan prajurit saat berada di medan perang. Juan Pablo Bonet dianggap pioner modern yang menerapkan terapi bicara, fonetik dan terapi oral kepada anak yang tunarungu dengan menambahkan bentuk petunjuk dasar alfabet ke dalam isyarat yang sudah ada. Umumnya bahasa isyarat terkomposisi dengan gabungan gesture,mimik,isyarat tangan dan ejaan dengan memakai jari. Cara bahasa isyarat bekerja ialah dengan mempresentasikan keseluruhan ide dan bukan kata tunggal.
Di abad ke-18, Jean Marc Gaspard Itard, seorang dokter Perancis yang mengepalai sebuah institusi nasional bisu-tuli, dinilai sebagai tokoh yang memulai pengembangan metode pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, Itard merumuskan konsep pendidikan pedagogi setelah melakukan observasi dan penelitian terhadap bocah serigala Victor of Aveyron, yang kisahnya melegenda dan menginspirasi pembuatan film-film modern tentang manusia yang sejak kecil hidup tanpa manusia lain di hutan rimba.
Maria Montessori adalah salah satu murid Itard. Ia mengembangkan sistem pendidikan berbasis karakter yang hingga detik ini masih digunakan di Sekolah di berbagai belahan dunia. Secara garis besar sistem Montessori ini menghargai dan menilai setiap anak sebagai individu unik yang memiliki potensi masing-masing dan tidak dapat disamakan satu dengan yang lain. Dalam sistem Montessori ditekankan pengembangan keterampilan sosial dan emosional sebagai pendamping skill intelektual.
Melengkapi kontribusi sistem pendidikan khusus ke arah yang lebih menjanjikan, kita bisa sebut juga sumbangan Alfred Binet, seorang Psikolog Perancis yang telah mengembangkan bentuk tes intelegensia di permulaan tahun 1990. Tes Binet sampai sekarang dipergunakan untuk mengukur standar intelektual seseorang mulai rentang usia 2-23 tahun. Tes ini menunjukan apakah seseorang mengalami hambatan intelegensia dan dikategoriakan berkebutuhan khusus.

2.4 Pendidikan Anak Special Needs
1. Pendidikan Khusus
Mulai dari Hellen Keller, tunaganda yang menjelma menjadi seorang aktivis politik dan dosen. Temple Gadin, doktor di bidang sains hewan yang autis, Stephen Hawking, ahli fisika dan ahli matematika tunadaksa atau juga Charles Burke aktor televisi, penyanyi yang down syndrome, kata kunci yang menghantarkan mereka menjadi tokoh-tokoh berprestasi skala internasional adalah : pendidikan dengan pendekatan khusus yang tepat dan diberikan dengan kesungguhan. Tidak hanya peran lembaga pendidikan yang menonjol, tetapi jangan lupakan orang-orang yang berada di lingkungan utama mereka. Orang tua, keluarga, tutor, pembimbing, guru dan semacamnya.
Sebelum negara Amerika Serikat mengesahkan UU pemerintah yang menetapkan dan menjamin hak semua anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan, terjadi banyak kasus diajukan ke pengadilan oleh para orang tua yang berpendapat anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus untuk tidak diberi kesempatan setara memperoleh pendidikan. Padahal di masa pemerintahan Kennedy, dilanjutkan oleh Johnson telah dirumuskan dasar-dasar untuk memberi akses kepada anak-anak berkebutuhan spesial memperoleh pendidikan di lembaga pendidikan umum.
Pendidikan khusus di Indonesia pun telah berlandaskan yuridisme pada tahun 2003. Di dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional dimuat pasal-pasal dan ayat-ayat yang menspesifikasikan warga yang berhak mendapatkan pendidikan khusus. Tercantum pada UU tersebut warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Tak ketinggalan pula dalam salah satu ayat disebutkan warga negara yang tinggal di daerah terpencil, terbelakang, mengalami bencana alam, bencana sosial dan tidak mampu secara ekonomi termasuk berhak atas pendidikan khusus.

2. Sekolah Luar Biasa Solusi Pertama
Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang hanya menerima siswa berkebutuhan khusus dalam beragam kondisi. Ada juga sekolah Pedagog yang pada prinsipnya sama dengan SLB, menerima murid-murid hanya yang berkategori berkebutuhan khusus. Pendidikan luar biasa tersebut tidak total berbeda dengan pendidikan bagi anak-anak normal pada umumnya. Hanya saja dalam pendidikan khusus terdapat penambahan program pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan murid-muridnya yang spesial. Sementara kurikulumnya sendiri secara garis besar merujuk kepada kurikulum nasional.
Keberadaan SLB merupakan solusi pertama bagi pemenuhan seluruh warga negara berkebutuhan khusus dalam mendapatkan keterampilan primer. Seorang tunanetra atau tunarungu tidak bisa serta merta didaftarkan masuk kesekolah biasa jika sebelumnya ia belum mendapat pelajaran baca tulis Braille atau teknik membaca bibir. Sekolah Luar Biasa adalah jawaban atas kebutuhan utama pendidikan lanjutannya. Pelayanan yang disediakan di SLB umumnya terdiri dari pelayanan medis, psikologis dan sosial. Karena itu di SLB senantiasa melibatkan tenaga dokter, psikolog dan pekerja sosial dan ahli pendidikan luar biasa  sebagai sebuah tim kerja.
SLB dibagi menjadi tujuh berdasarkan kondisi ketunaan, yakni :
a.    SLB A untuk tunanetra
b.    SLB B untuk tunarungu
c.    SLB C untuk tunagrahita yang mampu didik dan C1 untuk tunagrahita yang hanya mampu latih.
d.   SLB D untuk tunadaksa dengan intelegensia normal. D1 untuk tunadaksa yang juga mengalami retardasi mental.
e.    SLB E untuk tunalaras.
f.     SLB F untuk autis.
g.    SLB G untuk tunagranda.
Selain dimasukan ke Sekolah Luar Biasa, terdapat berbagai macam pilihan bagi anak berkebutuhan khusus mampu dididik untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan.
a.    Mainstreaming atau pendidikan terpadu. Anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah ke SD tertentu bersama anak-anak pada umumnya.
b.    Kelas khusus penuh atau paruh waktu. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah ke SD umum. Pada model paruh waktu maka mereka bergabung dengan anak –anak lain. Sedangkan model penuh berarti anak-anak berkebutuhan khusus disediakan kelas tersendiri di sebuah SD umum.
c.    Guru kunjung. Anak-anak berkebutuhan khusus yang domisilinya satu area dikumpulkan dalam satu kelompok belajar secara teratur guru Pendidikan Luar Biasa datang mengadakan kegiatan belajar mengajar di tempat.
d.   Kejar paket A dan B. Sama dengan sistem Guru Kunjung terapi materi belajar yang diberikan terpusat pada paket A dan B. Pemerintah menerapkan model ini dengan misi memberantas tuna aksara.
e.    Asrama atau Panti. Berbagai jenis anak berkebutuhan khusus diasramakan secara insidental dengan penanggung biaya adalah Pemda setempat.
f.     Workshop. Mirip dengan mode asrama, hanya saja belajar mengajar diarahkan ke latihan prevocational, terutama dibidang pekerjaan. Diperlukan kerja sama juga antara Diknas, Depsos, dan Depnaker.

3.      Wadah Anak Special Needs
Juara-juara di SLB Kemala Bhayangkari I Trenggalek. Berbincang dengan Kepala Seolah SLB Kemala Bhayangkari 1 Trenggalek menyiratkan bahwa Pardiono,S.Pd yang sudah bertugas selama 24 tahun ini memang seolah menyatu dengan anak-anak didiknya. SLB Trenggalek didirikan 38 yahun lalu dengan jumlah 17 siswa yang terdiri dar tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita serta 5 orang guru. Kini jumlah siswa telah bertambah menjadi 187. Sekolah ini sangat mengedepankan kegiatan keterampilan para siswanya. Bagi anak tunanetra : masase dan kerajinan tangan. Anak tunarungu : potong rambut, menjahit, dan bengkel. Anak tunagrahita : tataboga, budidaya ikan, dan budidaya bunga. Anak tunadaksa dilatih berternak kambing.
Pramuka menjadi salah satu kegiatan ekstrakulikuler yang dapat dikuti oleh berbagai jenis kekhususan. Selain itu masih banyak kegiatan lain yang dapat diikuti siswa sesuai dengan tingkat kekhususan dan kemampuannya. Misalnya saja anak tunarungu belajar seni pantomim dan seni tari. Anak tunagrahita belajar seni tari, deklamasi dan membaca puisi. Anak tunanetra yang menurut Pardiono lebih peka terhadap rangsangan pendengaran, maka dilatih untuk belajar seni music dan seni suara. Keterampilan serupa juga diberikan juga di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) Luar Biasa, yang didirikan tahun 2010 dengan jumlah siswa 26. Dengan perkembangan teknologi dan komunikasi proses belajar mengajar telah difasilitasi dengan laptop, computer, LCD projector, papan tulis interaktif dan jaringan internet.

4.      Terpadu dan Berbaur di Sekolah Inklusif
SLB dan sejenisnya merupakan jawaban mengenai pertanyaan dimana dan bagaimanakah anak-anak khusus memperoleh “amunisi” berupa keterampilan hidup dasar agar mereka bisa mandiri, tetap mempu berkarya, selarasa dengan lingkungan sosialnya serta potensi kemanusiaannya tidak tersia-siakan. Namun dalam kerangka persepsi masyarakat tumbuh sebuah cap yang ditempelkan kepada SLB sebagai tempat beroleh pendidikan bagi kalangan “asing”. Dalam arti kata asing dalam keseharian, pengalaman dan juga empati. Tidak ada yang salah dengan sekolah-sekolah luar biasa yang khusus menerima anak-anak special needs saja. Harus disadari pada diri anak-anak itu terdapat urgensi agar mereka sesegera mungkin dilatih fasih menguasai keterampilan hidup dasar yang tidak mungkin diperoleh di sekolah-sekolah umum. Namun sengaja memisahkan dan membeda-bedakan sekolah bagi anak-anak khusus untuk seterusnya, adalah tindakan yang berlawanan dengan pandangan hidup yang berlaku universal bahwa semua orang terlahir ke dunia dengan hak-hak yang sama. Kita belajar dan terbiasa tepo saliro mengatasi  perbedaan yang hakiki antara manusia seperti suku, ras, agama, dan lain-lain.
Ada juga anggapan bahwa pemisahan anak-anak berkebutuhan khusus ada baiknya hanya dalam rangka pembelajaran (instruction) dan bukan dalam tujuan pendidikan. Jika secara mental dan fisik anak special need tidak membahayakan orang lain juga dirinya sendiri, alangkah lebih tepatnya apabila mereka diintegrasikan dalam sebuah wadah pendidikan yang sama. Menyatukan anak special needs dengan anak-anak pada umumnya adalah sarana bagi mereka untuk saling belajar hidup dengan cara yang lebih positif.

5.      Pendidikan Inklusif
Menurut Johnen dan Skjorten (2003), pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya.Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak. Artinya dalam pendidikan inklusif tersedia sumber belajar yang beragam dan mendapat dukungan dari semua pihak, meliputi para siswa, guru, orang tua dan masyarakat sekitarnya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Dengan kata lain, pendidikan inklusif merupakan pendidikan terpadu yang diharapkan dapat mengakomodasi pendidikan bagi semua, terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus yang selama ini masih banyak yang belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan seperti anak-anak normal. Menggabungkan murid berlatarkan kemampuan fisik dan mental yang jelas berbeda, sekolah inklusif tentunya tidak bisa menentukan naik kelas atau tidaknya seorang murid berdasarkan penilaian terhadap penguasaan atas kurikulum umum. Konsekuensinya sebuah sekolah inklusif harus memodifikasi aspek-aspek penilaian terhadap seorang murid menjadi lebih terbuka dan benar –benar disesuaikan dengan kondisi anak, guru mata pelajaran dan guru pendidikan khusus. Guru yang bukan lulusan PLB pun harus memiliki pengetahuan dasar tentang pendidikan luar biasa.

6.      Kabupaten atau Kota Pelopor Pendidikan Inklusif
Direktur pembinaan pendidikan khusus dan layanan khusus pendidikan dasar kementrian dan kebudayaan (PKLK), DR.Mudjito menyatakan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus harus mendapatkan pendidikan secara khusus pula. Dia mengacu pada UU Sistem Pendidikan Nasional dan UUD 1945 bahwa setiap warga Negara termasuk anak-anak berkebutuhan khusus/disabilitas berhak atas pendidikan yang sama. Untuk itu pemerintah sampai saat ini telah menyediakan sekiotar 1700 an sekolah luar biasa (SLB). Komitmennya pada pendidikan anak-anak disabilitas direalisasikannya dengan mengirim para stafnya untuk “magang” selama tiga bulan di SLB-SLB agar lebih mendalami dan memahami kebutuhan anak-anak tsb, walaupun hal itu terkadang menyebabkan ia diprotes anak buahnya yang tidak setuju dengan kegiatan tersebut.
Melalui Direktorat PKLK Dikdas, Kemendikbud melakukan dua pendekatan. Pertama, bagi anak –anak yang merasa cocok dan nyaman di SLB, yang mana saja tercatat 85 ribu siswa, tetap mendapat pendidikan di SLB. Kedua, 116 ribu siswa disabilitas saat ini bisa tertampung di 30 ribu sekolah inklusif ini akan terus diperluas dengan pendekatan berbasis kabupaten/kota, sementara 20 pemda lainnya sudah menyatakan keinginan untuk bergabung.  Ada tiga syarat yang harus dipenuhi pemda untuk turut dalam program tersebut, yakni : ada regulasi bupati/walikota, membentuk kelompok kerja lintas sektoral dan menyediakan dana pendamping. Untuk program yang berkenaan dengan kebutuhan sekolah –sekolah inklusif terhadap tenaga guru pendamping khusus (GPK) yang saat ini jumlahnya belum mencukupi, Kemendikbud menempuh langkah kerja sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan pelatihan selama dua semester bagi para guru. Pelatihan tersebut saat ini baru dilaksanakan di UPI dan UNISA karena kedua universitas tersebut telah memiliki program S1 san S2 di bidang GPK.

7.      Mengenal Lebih Dekat Wajah Sekolah Inklusif
a.    SDHT, Tak Sengaja Menjadi Inklusif
Sekolah Dasar Hikmah Teladan bisa disebut sebagai pionir SD Inklusif di wilayah bandung dan sekitarnya. Pada awalnya, SD ini memiliki prinsip bahwa mereka menerima semua murid yang mendaftar masuk tanpa terkecuali. Syaratnya hanya menggunakan tekhnik “siapa cepat dia dapat”.Dengan sendirinya karena memberlakukan aturan yang demikian, banyak orang tua yang kesulitan untuk mencari sekolah untuk anak-anaknya yang special akhirnya menjatuhkan pilihan kepada SD tersebut. Pada tahun 2002 SD tersebut resmi berjalan sebagai sebuah sekolah dasar dengan system yang terbilang sangat unik pada masa itu. Dimana skeolah tersebut  menyatukan kenyamanan bersosialisasi dan interaksi antara seluruh penghuni sekolah, yang berarti tidak hanya sesama murid tetapi juga tenaga pengajar dan para pengurus. Setiap murid dapat naik kelas melalui standar kelayakan masing-masing individu yang tidak dengan kaku berpatokan pada kemampuan akademis.

b.    Sekolah Alam Bogor, Bertrade Mark Pembebasan
Pada awalnya sekolah ini hanyalah tempat mangkal untuk anak-anak jalanan yang pada awalnya dicoba dihimpun agar mereka memiliki kegiatan yang positif lewat pembelajaran keterampilan, baca tulis serta aktivitas lainnya. Pada tahun 1999, Agus yang merupakan seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama beberapa temannya membentuk sebuah yayasan yang kegiatannya tersebar di tiga tempat masing-masing dengan menghimpun 60,30, dan 50 anak jalanan. Pendanaan kegiatan tersebut ia peroleh dari para donator dan Dinas Pendidikan. Kemudian pada tahun 2002 ia bertemu dengan orang yang menawarkan kerja sama yang pada awalnya dalam bentuk program pesantren kilat di Lembah Parigi yang kemudian berkembang menjadi Taman Kanak-Kanak Alam Lembah Pagi.
Sekolah ini terus berkembang hingga pada akhirnya pada tahun 2004 menerima anak-anak disabilitas, antara lain autis, hiperaktif,down syndrome yang digabung dengan anak-anak semacamkelas percobaan yang bertempat tinggal di Cimahpar, akhirnya terus berkembang menjadi areal sekolah alam Bogor.

c.    SDN Putraco, Jumlah murid Special Lebih Banyak
Sekolah ini memiliki enam puluh persen murid berkebutuhan khusus dan empat puluh persen dengan murid regular.Dede Suryana yang merupakan salah satu guru dan pengurus administrasi sekolah tersebut yakin bahwa perbandingan tersebut masih terbilang ideal bagi sekolah inklusif. Ia juga menjelaskan dalam satu kelas terdiri dari 25-30 siswa, dengan murid special mencapai 10-12 siswa yang dibimbing oleh dua orang guru serta helper yang biasanya dibawa oleh orang tua dari murid khusus tersebut.  Pada permulaan saat seklah tersebut ditunjuk sebagai sekolah inklusif oleh pemerintah pada tahun 2002-2003, jumlah ABK tidak sebanyak saat ini. Hal ini terjadi bukan karena banyaknya pendaftar yang mendaftarkan diri di sekolah tersebut namun karena ABK  limpahan dari sekolah lain.
Hampir semua siswa special di Putraco berasal dari keluar dengan tingkat ekonomi menengah keatas. Sementara murid regulernya berlatar keluarga dari tingkat ekonomi ke bawah. Misi Putraco ialah memprioritaskan anak-anak dari keluarga pra-sejahtera, dengan tambahan murid-murid dari ekonomi tidak mampu dijamin bebas biaya sepenuhnya.

8.      Semarak Warna di Balik Gerbang Sekolah Dasar  Inklusif
Dengan berbagai macam alasan, masih banyak orang tua yang tak tergerak atau enggan apabaila anak mereka berdampingan dengan anak-anak special needs dalam kegiatan bersekolah sehari-hari. Seorang pengurus sekolah pernah bercerita dimana pada saat orang tua murid (pendaftar) diberitahu bahwa ada beberapa anak special needs yang turut menjadi bagian dalam kelas yang juga akan diisi oleh anak mereka pada akhirnya mengundurkan diri atau mengurungkan niatnya untuk mendaftar di sekolah tersebut. Sebenarnya, setiap orang tua berhak memiliki pertimbangan masing-masing saat memilih sekolah terbaik bagi putra-putrinya. Termasuk orang tua yang tanpa keraguan sedikitpun mendaftarkan anaknya bersekolah di Sekolah Inklusif. Itu bisa jadi sebuah pembelajaran untuk memperkenalkan dan menerima perbedaan antara manusia. Dengan penyatuan anak-anak regular dengan anak-anak special needs secara alami mereka akan bergaul satu sama lain, melebur karena adanya kebiasaan.

9.      Orang Tua dan Keluarga Inti, Garda Pertama Pendidikan Special Needs
Tentu saja kebanyakan orang tua mengharapkan bahwa keturunan yang lahir akan sempurna dan tidak kekurangan sesuatu apapun. Tetapi kita juga tidak boleh lupa bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup kita tidak akan selalu sama persisi dengan apa yang kita harapkan. Seperti halnya orang tua yang memiliki anak-anak special needs. Reaksi mereka saat mengetahui bahwa anak-anaknya ternyata “berbeda” dari anak-anak pada umumnya sungguh beragam.Sedih, frustasi ataupun berpasrah pada keyakinan bahwa ini semua adalah takdir tuhan (reaksi positif atau negative). Idelanya diharapkan bahwa orang tua mampu bersikap positif menerima keadaan anaknya yang khusus. Juga bukanlah suatu kesalahan atau kelemahan apabila pada mulanya orang tua bersangkutan mengalami atau menunjukan reaksi-reaksi negative.
Agar orang tua bisa mencapai tahapan optimis yaitu menerima lalu bertindak dengan efektif dan efisien  bagi tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus, dipengaruhi beberap hal. Seperti halnya seberapa kompleks dan parah tingkat kekhususan anak, berapa banyak informasi akurat yang bisa orang tua peroleh mengenai kondisi anaknya, bagaimana nilai-nilai yang dianut keluarga besar ataupun kebudayaan yang melingkupi lingkungan tempat keluarga itu berada. Mungkin sepasang orang tua  dibesarkan di dalam lingkungan yang mempercayai bahwa kelahiran seorang bayi “cacat” merupakan karma dari dosa-dosa yang pernah dilakukan. Akibatnya kehadiran generasi baru yang memiliki kekurangan tersebut menjadikan mereka terpuruk dalam rasa bersalah dan malu. Lalu mereka memilih sedapat mungkin menyembunyikan anaknya karena berasumsi masyarakat yang tahu akan berpandangan negative.
Hal terakhir yang sama sekali tidak bisa dianggap enteng adalah masalah keuangan. Semakin mantap perekonomian keluarga yang memiliki anggota berkebutuhan khusus semakin mudah juga bagi mereka untuk mencapai tahapan optimis dan menerima. Mengingat bahwa kondisi-kondisi khusus ini perlu berbagai macam konsultasi kepada para ahli, mengikuti pemeriksaan,menggaji asisten khusus yang membantu pengasuhan anak  serta melengkapi anak dengan sarana yang membantu kegiatan sehari-harinya. Lepas dari materi, masih ada pengeluaran (cost) secara emosi yang butuh diperhatikan dan diatur. Anak-anak yang terlahir tanpa kondisi khusus apapun bertumbuh kembang sesuaid engan interaksi emosi terhadap orang tuanya setiap saat, selama bertahun-tahun. Bila mana orang tuanya cerdas secara emosi, maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan tumbuh besar dan tak jauh dari tipe emosi mereka. Sementara tantangan yang dihadapi oleh orang tua ABK tentu lebih beragam. Orang tua terkadang menjadi sangat lelah dengan semua kebutuhan dan ritual yang diperlukan bagi anak. Orang tua juga terkadang bisa merasa cemburu ketika mereka melihat anak-anak lain yang terlihat baik secara keseluruhan. Ekspresi dan Kalimat bersimpati dari orang lain pun tak bisa kita hiraukan. Karena hal tersebut  sangat rentan menjadi mispersepsi.
Agar tercapai kerja sama keluarga yang harmonis dan efektif adalam mendampingi anak yang special, sudah barang tentu bukan hanya ibu atau ayah saja yang selalu terlibat langsung dengan para ahli dan “dipersenjatai” dengan informasi mengenai kondisi special si anak. Kakak, adik atau anggota keluarga lain yang tinggal serumah dengan anak ‘tersebut’ mesti terinformasikan dengan baik juga dan didorong untuk berinteraksi secara sehat dengan saudara specialnya tersebut.
Fungsi orang tua dalam mendidik anak dengan kebutuhan khusus tidak bisa dilepaskan dari factor-faktor instrinsik dan ekstrinsik yang dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Seperti apa pola interaksi antar anggota keluarga tersebut, bagaimana budaya dna nilai-nilai yang dianut dan mewarnai keseharian keluarga. Dukungan social dari keluarga inti kini diakui oleh para ahli dapat memberi efek positif yang besar bagi pendidikan anak special. Bermacam bantuan dari kerabat, rekan atau kelompok social bisa diberikan kepada keluarga dengan anak special mulai dari dukungan informasi,emosional dan juga materi. Jika orang tua tidak bisa mengandalkan bantuan dari kerabat atau teman, masih terdapat kelompok social lain yang bisa memberikan dukungan seperti halnya Parental Support Grup. Grup ini beranggotakan para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus sejenis. Dan jika orang tua terkendala waktu dan tempat untuk melakukan komunikasi langsung dalam grup semacam itu, maka internet bisa menjadi solusinya.Melalui mailing list, newsgroup dan situs-situs tertentu.
2.5 Profil Anak Special Needs dan  Orang Tuanya
1. Rasty yang “terbang” dari “sarangnya”
Rasty Purnama (33 tahun) adalah penyandang tunadaksa dan selama 23 tahun “disembunyikan” orang tuanya di Karawang, Jawa Barat. Ketika lahir kondisinya sehat dan tumbuh normal. Namun, ketika usianya menginjak 4 tahun-an, Rasti sering sekali jatuh. Saat Rasty terserang demam tinggi dan dilarikan ke puskesmas setempat, konon, setelah dokter memberinya suntikan, Rasty tak bisa lagi berjalan bahkan untuk bangun pun ia tak sanggup. Untuk seterusnya Rasty hanya tergolek di tempat tidur.
Ia tidak pernah bertemu dengan orang di luar rumah karena dianggap membawa aib dan memalukan keluarga. Beruntung kakaknya sering membacakan buku cerita dan sedikit demi sedikit Rasty mulai belajar mengeja tulisan dan menulis. Segala mimpi, harapan dan keinginan untuk hidup normal dicurahkannya di sebuah buku dengan tulisannya sendiri, meski dihadapkan pada keterbatasan bentuk jari yang tidak sempurna. Rasty pun mencoba mengirimkan hasil karyanya di lomba penulisan puisi yang diselenggarakan sebuah stasiun radio daerah. Ia meraih juara satu. Sejak itu ia bertekad untuk terus menulis dan rutin mengirimkan hasil karyanya, hingga ia pun menjadi sempat terkenal hingga liputan stasiun televisi. Namun itu tidak berlangsung lama,  karena orang tua Rasty yang masih berwawasan sangat sederhana itu kurang suka anaknya didatangi banyak orang.
Perasaan tertekan kembali melanda Rasty, sampai-sampai dia mengaku hampir saja ingin mengakhiri hidupnya dengan minum racun tikus, namun alam sadarnya masih mengingatkan bahwa pilihan itu tidak menyelesaikan masalah. Suatu ketika, Rasty dihadiahi sebuah telepon genggam oleh seseorang sehingga memudahkannya berinteraksi dengan teman-teman di dunia maya dan media cetak. Hingga ia bertemu dengan seorang anggota Komnas Perempuan dan seorang pimpinan sebuah lembaga sosial di Jogja, berkat merekalah Rasty bisa sampai di tempat tinggalnya sekarang, Wisma Tunaganda. Walaupun sempat ada pertentangan dari keluarga yang tidak begitu saja mau menyerahkan Rasty, namun setelah diberikan pengertian, akhirnya kedua orang tua Rasty memberikan lampu hijau untuk membawa Rasty dan mereka sadar bahwa putri mereka berada di tempat yang tepat. Disana Rasty selain meneruskan hobinya menulis, dia juga kembali menekuni kegemarannya membuat aksesori seperti bros yang dijual kepada pengunjung panti. Rasty yang tunadaksa mempunyai naluri seperti gadis lain. Ingin punya banyak kawan, ingin dicintai, ingin tidak terlalu tergantung pada orang lain dan yang paling didambakannya, “Ingin menjadi penulis terkenal”.

2. Ridzky Si Tampan Penyandang Autis
Sebagai orang tua anak special needs, Farhan, presenter yang cukup terkenal di Indonesia ini meyakini ada 3 hal penting yang sebaiknya dijadikan pegangan dalam mengarungi hidup bersama anak penderita autis, yaitu: melakukan  assessment (penilaian), terbuka kepada lingkungan dan menetapkan sasaran/target terapi. Si sulung, Ridzky, buah hati Farhan adalah penyandang autis. Lelaki berusia 14 tahun itu duduk di bangku kelas VI di sebuah sekolah inklusif berkat kesabaran dan keuletan Farhan bersama isterinya, Aryati dalam menjalani terapi, mengasuh, merawat dan mendidik Ridzky.
Penilaian terhadap anak-anak autis harus dilakukan agar orang tua realistis dan tidak membohongi diri sendiri bahwa anaknya normal-normal saja. Jujurlah pada diri sendiri bahwa si anak mempunyai kelainan dan berkebutuhan khusus, sehingga bisa segera mencari peluang untuk mengatasinya. Agar orang tua yang bersangkutan tidak kehilangan untuk mendapatkan informasi yang terus berkembang tentang penyandang autis dan aspek-aspek terkait lainnya. Selain itu, anak autis atau berkebutuhan khusus juga jangan disembunyikan, lakukan sesuatu agar keadaan si anak tidak memburuk.

3.      Muhammad Bagja, Anak Down Syndrome yang Penuh Empati
Aneka rasa berkecamuk di dada Teti Ichsan seorang sarjana Pendidikan jurusan Psikologi dan Bimbingan dan mengambil gelar Magister Psikologi Kesehatan Universitas Indonesia serta penulis-peneliti down syndrome ketika anak keduanya, Muhammad Bagja Madani, didiagnosis sebagai down syndrome, di usia 4 bulan. Tidak heran muncul sikap ambivalensi sebagai orang tua. Di satu sisi ia sangat mencintai dan ingin melindungi, di sisi lain muncul perasaan sedih dan berduka. Awal dari sikap penerimaan orang tua dapat terlihat ketika mereka mulai fokus memperhatikan aspek-aspek tumbuh kembang anak mereka. Seperti perkembangan motorik kasar, motorik halus, pemahaman bicara dan sosialisasi.
Aktivitas Bagja, meskipun perkembangannya mengalami keterlambatan, Bagja juga beraktifitas seperti anak lainnya. Selain itu, dia juga mengikuti terapi untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya. Terapi yang diikuti Bagja antara lain:
a.    Terapi Okupasi: merupakan stimulasi yang bertujuan meningkatkan kemampuan fungisional dan kemandirian fisik maupun mental melalui aktivitas bermain yang memiliki tujuan/makna tertentu.
b.    Terapi wicara: merupakan stimulasi untuk meningkatkan kemampuan berbahasa verbal dengan baik, melalui komunikasi dua arah, artikulasi, bahasa dan pengembangan bicara suara dan irama.
c.    Program akustik: merupakan program yang bertujuan untuk menstimulasi kegiatan yang lebih terarah dan bermakna, melalui latihan koordinasi auditori, visual, kinestetik, ekspresi dan persepsi bunyi.
d.   Pedagogi: adalah etode pembelajaran untuk membantu meningkatkan kemampuan akademik dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses belajar.
e.    Program life skill: melatih anak-anak berkebutuhan khusus agar memiliki keterampilan dasar. Dan juga menstimulasi pengenalan konsep, pemahaman, kemandirian serta mengarahkan minat dan bakat anak.
f.     Berenang: dapat mengembangkan aspek kognitif, afeksi dan psikomotorik. Hal ini dapat bermanfaat dalam menumbuhkan keberanian, percaya diri, disiplin, kerja sama, modofikasi peilaku dan emosi serta pengalaman relaksasi.

Kini di usia yang ke-13 Bagja dapat berlari kencang padahal dia lahir dengan tonus otot yang lemah. Bagja dapat menonton film kesukaannya padahal dia terlahir dengan kondisi mata minus 5. Selanjutnya Bagja dapat turut berjamaah di mushola padahal dulu dia tidak dapat duduk dengan tenang sekalipun dalam hitungan detik. Dan yang paling mengharukan, Bagja bisa membuatkan segelas teh manis kepada ibunya jika sedang sibuk mengetik, memeluk orang tua dan kakaknya ketika lelah, betul-betul Bagja penuh empati.

4.      Michael Anthony, Peraih Rekor Muri
Michael Antony (9) ketika berusia 6,5 tahun pernah meraih rekor MURI sebagai: pianis tunanetra dan autis termuda. Ibunya, Meta, bercakap dengan saya ketika mengisahkan awal mula putranya diketahui berkubutuhan khusus. Michael baru berusia tiga bulan ketika Meta membawanya spesialis mata. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa bayi Meta yang lahir prematur ini menderita retinopathy of prematury (ROP) stadium 4. Pengobatan bagi Michael dilanjutkan ke Amerika Serikat untuk menjalani operasi mata dan hasilnya baik, lalu mereka kembali ke tanah air. Enam bulan setelah di operasi, matanya diperiksa lagi, ternyata retinanya tidak berkembangnya.
Sejak itu, perempuan yang berprnti membawa profesi sebagai dokter gigi tersebut berhenti membawa Michael berobat dan hanya fokus pada perkembangan yang ada. Paling-paling hanya ke pengobatan alternatif dan ke seorang Romo. Suatu ketika Michael merasa terganggu oleh piano yang dimainkan oleh kakaknya. Tetapi tanpa diduga, di sia 2 tahun, dia malah mendekati piano dan mulai menekan-nekan tutsnya. Barangkali karena sering mendengar, tiba-tiba dia bisa meniru lagu yang biasa dibunyikan oleh tukang es keliling. Sejak itu setiap hari Michael diajari main piano oleh kakaknya. Meta juga mendaftarkan Michael les piano klasik. Terlihat sekali jika Michael “kesemsem” pada piano.
Walaupun Michael pernah menjadi juara 1 lomba piano untuk anak-anak autis dan juara 3 lomba piano untuk umum, dia tidak mengerti apa itu arti juara. Menurut Meta kalau lomba, Michael hanya tahu harus latihan lagu wajib berulang-ulang, tampil sebaik mungkin dan tersenyum ketika mendengar tepuk tangan hadirin. Menangani anak seperti Michael menurut Meta tidak susah asalkan sesuai dengan kemauan dia dan setiap rutinitas terjadwal dengan baik. Misalnya pagi ke sekolah, siang terapi, sore les dan seterusnya. Jika ada perubahan mendadak tanpa pemberitahuan pasti Michael kesal. Sama seperti ribuan orang tua lain, Meta tentunya ingin punya anak normal. Namun Meta enjoy, anak ada jalannya sendiri-sendiri. Tidak perlu dipikirkan berkepanjangan. Karena ia melihat ada perkembangan dalam diri Michael. Jadi jalani saja.
2.6 Dedikasi Sosok di Belakang Anak Special Needs
Jika ingin melihat senyum mengembang yang tak pernah lepas dari anak-anak speciaal needs , itu tak lepas dari peran serta guru, terapis, care giver serta para pendamping yang dengan ikhlas menuntun mereka ke arah kemandirin. Berikut adalah sedikit perbincang-bincangan dengan mereka, yaitu:
1.    Krustina, Kepala Panti Sekaligus Ibu
Kristanti ingat betul sewaktu datang ke panti tunaganda dengan niat sekedar mampir belaka. Kristanti memiliki ijazah sebagai pelajar Sekolah Menengah Atas Pekerja Sosial di Semarang, sehimgga tak asing dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Hal yang mula-mula mengusik perhatian Kristanti justru adalah penampilan para penghuni pengasuh panti yang di matanya “begitu-begitu” saja dan kurang menarik. Merasa punya kebiasaan dalam hal merias, ia menahan gemas dan minta izin kepada kepala panti saat itu untuk mengajari para pengasuh trik bermake up. Kegemasannya merambat ke urusan potongan ala kadarnya rambut anak-anak panti, maka dengan suka rela Kristanti menjadi semacam penata rambut disana.
Hati kecil “berbisik” mengajak Kristanti bekerja sepenuhnya di panti. Namun idealisme atas materi tersebut akhirnya runtuh juga, saat menyadari bahwa sambutan gembira selalu diterimanyadari anak-anak panti setiap ia muncul. Tekadnya pun berseru, mengapa mesti setengah-setengah jika bisa terjun total dalam jenis kebaikan yang disukainya pula. Profesi care griver yang memerlukan kesabaran tinggi dengan honor yang membuat kita bertanya-tanya apakah itu cukup, tentunya manusiawi jika mereka dihinggapi rasa jenuh dan kekesalan yang sewaktu-waktu dapat meledak. Menyikapi kondisi care giver yang sedang turun, Kristanti selalu berupaya memberikan penyejuk dan pereda emosi.

2.    Remaja-remaja diajak berbagi
Dalam melakukan kebaikan kepada sesama Kristanti berusaha tidak statis tetapi terus melakukan pengembangan dan perbaikan. Kristanti tak percaya hukuman atau sanksi tegas kepada siswa bermasalah bisa memberikan efek jera. Ia lebih condong pada metode pendekatan secara kemanusiaan untuk memberikan efek membangunkan nurani. Remaja-remaja peserta konseling diajak terlibat langsung dalam kegiatan merawat para tunaganda di panti agar mereka benar-benar meresapi makna hidup adalah menjadi bermanfaat bagi lingkungan dan sesama mereka.

3.    Shilfi “Jatuh Cinta” pada anak-anak SLB
Bagi Shilfiani Kaisi, pengalaman paling berharga yang didapatnya ketika menjadi guru SLB C (tunagrahita) adalah berhasil memotivasi anak-anak yang dibimbingnya menjadi suka pergi ke sekolah, menumbuhkan rasa kasih sayang dan kepercayaan diri mereka. Kecintaan kepada murid-muridnya akhirnya membuat dia menjalani profesinya itu selam 2,5 tahun dan keluar dari sanahanya karena sarjana jurusan administrasi negara ini ingin lebih mencurahkan perhatian pada pengasuhan bayinya yang baru berusia 18 bulan. Tidak pernah terlintas sebelumnya dalam benak Shilfi akan menjadi guru di sana. Pertama karena jurusan pendidikannya bukan untuk itu, kedua karena dia tidak minat. Namun, ia suka bermain ke SLB karena ayahnya kepala sekolah disana. Namun kemudian ia malah bertahan disana.
Suatu ketika ibunda Shilfi meninggal dunia, mengakibatkan luka di hatinya, rasa kehilangan dan kesedihan mendalam yang berkepanjangan. Melihat kesedihan ini, ajakan untuk menjadi shadow teacher (guru pendamping) malah datang dari teman-teman ayahnya. Salah satu dari alasan yang mendorong dia untuk menerima tawaran menjadi shadow teacher adalah agar bisa terus mendampingi ayahnya yang mulai kurang sehat akibat penyakit diabetesnya. Setelah beberapa bulan menjadi shadow teacher, Shilfi diangkat menjadi guru tetap kelas yang harus mengajar semua mata pelajaran seperti yang diajarkan di SD dan SMP reguler. Hanya saja untuk SLB Tunagrahita ada pelajaran lain yang disebut binadiri agar anak-anak SD dan SMP itu bisa mandiri serta pelajaran keterampilan bagi siswa-siswa SMA. Belajar menjadi guru berarti bagi Shilfi harus terus membuka mata, banyak bertanya baik kepada guru lain, maupun kepada para orang tua siswa sera membaca sebagai literatur.
Situasi tak biasa  yang pernah dihadapinya sebagai guru SLB adalah menenangkan anak-anak yang suka mengamuk. Pada beberapa siswa tunagrahita, kondisi yang tidak nyaman dalam dirinya apakah itu datang dari teman-temannya atau dari dirinya sendiri, bisa memicu kemarahan dan dilampiaskan dengan mengamuk. Jadi kalau sudah terlihat gejalanya, muter-muter dan gelisah, anak-anak lain diminta guru menjauh. Pengalaman tak terduga pada Shilfi saat pelajaran olahraga, ia berusaha menahan dengan kuat agar kerudung tidak terlepas, akibatnya lehernya keseleo. Mengajar anak-anak yang masih SD selama dua tahun berturut-turut kerap melibatkan emosi. Bagaimana tidak, dua anak duduk sebangku, tetapi mereka tidak bisa saling bicara dan saling kenal. Diam-diam Shilfi menangis di kelas. “saya mencucurkan air mata ketika ibu meninggal dan selalu berulang ketika terkenang almarhumah. Tetapi saya bisa membayangkan berapa banyak air mata yang tertumpah dari mata para ibu yang anaknya berkebutuhan khusus,” kata Shilfi terharu.

4.    Pak To Kesayangan Keluarga
Saya kenalkan seorang “anak spesial”, tapi sudah berumur kepala 7. Bukan sekedar Pak To nya yang penyandang tunagrahita dan sebatang kara, tapi, siapa di balik sosok sepuh iniyang tidak pernah bersekolah, tidak mengenal siapapun kecuali lingkungan terdekatnya hingga mampu “eksis” sampai usia 77 tahun? Siapa orang yang mengasuhnya? Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa perhatian khusus bagi penyandang disabilitas tidak hanya harus di panti-panti, tapi rumah yang nyaman, kasih sayang dari orag-orang terdekat membuat mereka merasa “diorangkan”. Adakah Tiwi Sidarto kakak sepupu Pak To yang membawanya ketika dia ditinggal satu demi satu oleh ayah ibu, disusul saudara-saudara kandungnya dan pernah dititipkan di sebuah panti yang situasinya sangat memprihatinkan. Tiwi tidak menyekolahkan Pak To karena pada zaman itu belum ada sekolah-sekolah khusus. Tiwi juga kurang paham apa sebenarnya yag diderita sepupunya itu. Bicara kurang tertata, kemampuan berpikir lambat, tapi yang jelas Pak To dilahirkan oleh seorang ibu yang sedang sakit dan sempat mengonsumsi obat di masa kehamilan.
Meski tidak bersekolah, tidak pernah diterapi khusus, keluarga besar Tiwi melimpahinya dengan kasih sayang yang tulus serta kamar sendiri  tempat Pak To beristirahat dengan nyaman setelah nonton film kartun kesukaannya. Perhatian kecil itu sudah membuat Pak To tertawa kegirangan dan kembali nonton tayangan komedi di televisi. Sikap Tiwi yang penuh perhatian tapi tegas, sedikit demi sedikit membawa dampak positif bagi mental Pak To, diantaranya kebiasaan “ngompol” langsung berhenti akibat “ancaman halus” Tiwi. Demikian juga “terapi” untuk membersihkan diri sendiri sehabis membuang hajat besar, dipatuhi Pak To dengan benar.
Adapun Imam, seorang asisten laki-laki yang tugasnya bersih-bersih rumah dan taman (yang kini disekolahkan Tiwi untuk kuliah lagi) adalah pendamping setia Pak To. Imam menemani tidur bahkan mengolesi tubuh Pak To dengan obat gosok apabila masuk angin. Riang nian wajah pak To ketika saya menyapanya. Berulang kali dia mengatakan tinggal di rumah mbak Tiwi yang baik hati, senang jalan di sekitar kebun dan tak berani keluar rumah karena takut diculik.


2.7 Fakta, Dilema, dan Harapan
1. Aksebilitas Kurang Memadai
Rina Prasarani seorang aktivis penyandang cacat yang juga menjabat Sekjen World Blind Union, dan juga Sekjen Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) mengingatkan sebetulnya Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak-hak penyandang disabilitas dalam menerima pendidikan yang bermutu tingggi dan memperoleh pekerjaan yang bermartabat. Selama ini masyarakat belum menyadari bahwa tinggi rendahnya seorang disabilitas tergantung dari sikap dan interaksi masyarakat itu sendiri. Bagaimana mungkin seorang tunanetra akan mengembangkan daya intelektualnya bila masyarakatnya sendiri tidak bersedia memfasilitasi, seperti laptop yang bisa bicara, buku-buku braille, browsing internet bahkan facebookan yang sedang marak sekarang.
Selain itu fasilitas sering sekali “salah garap” karena pihak pengembang tidak bersedia berkonsultasi dengan penyandang disabilitas yang mereka anggap lemah dan tidak mengerti apa-apa. Akhirnya terjadilah akses jalan bagi tunanetra yang pemasangannya tidak tepat, seperti guilding blok dan warning blok sering tertukar. Seharusnya sekolah luar biasa yang memiliki guru-guru “spesialis anak-anak berkebutuhan khusus” (GPK), memberikan konstribusinya selain untuk mendampingi anak-anak spesial bagi guru pendamping, juga mengajarkan kepada Sekolah dan guru-guru reguler bagaimana mengatur kurikulum yang tepat, mempergunakan bahasa isyarat atau konsep berhitung yang serta menciptakan lingkungan yang kondusif. Kepada anak spesial nedds Rina berharap mereka mau berinteraksi dengan mengenalkan diri terlebih dahulu kepada masyarakat.

2. Sumber Manusia
Pendidikan inklusif tidaklah sekedar menempatkan siswa berkelainan secara fisik dalam kelas reguler dan bukan pula sekedar memasukan mereka sebanyak mungkin dalam lingkungan belajar siswa normal. Selain itu pendidikan inklusif juga berkaitan dengan cara guru dan teman sekelas yang normal menyambut semua siswa dalam kelas dan secara langsung mengenali nilai – nilai keanekaragaman siswa. Dr Mudjito, A.K., M. Si, Direktur Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar menyatakn ketidaksiapan sekolah melakukan penyesuaian terhadap program inklusif pada dasarnya menyangkut ketersediaan sumber daya manusia yang belum memadai. Disamping pemberdayaan guru umum, juga keterbatasan guru pembimbing khusus.
GBK peranannya adalah memberikan program pendampingan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Kendala itu belum termasuk rendahnya dukungan warga sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan mereka. Menyadari kekurangan di atas, maka perlu adanya kompetensi guru secara khusus diantaranya melalui diklat dan dalam kontek sekolah, perlu penyesuaian dalam manajemen sekolah, yaitu mulai dari cara pandang, sikap personil sekolah sampai pada proses pembelajaran (kurikulum) yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.

3. Keteteran Menampung ABK Karena Sekolah Lain Enggan Menerim
Meski program setiap sekolah harus mampu jadi sekolah inklusif ini telah bertahun-tahun didengungkan pemerintah, pada kenyataanya justru “ penolakan” untuk ikut serta menjadi inklusif terjadi bukan hanya dari sekolah yang belum mempunyai nama besar. Ada juga sekolah yang sudah memiliki “predikat unggulan atau favorit”, tidak bersedia menerima anak-anak disabilitas. Karena sekolah itu khawatir namanya anjlok. Jalannya sistem pendidikan inklusif di sekolah-sekolah dasar kini justru jadi kebingungan, mereka mencoba mendaftarkan putra atau puterinya ke SD Negeri yang jelas -jelas telah ditunjuk Diknas sebagai SD Inklusif tetapi malah mendapat penolakan.
“Kami membatasi jumlah ABK hanya 1 murid dalam setiap kelas karena pertimbangan kemampuan SDM yang dimiliki”.  Lia Amalia Wakil Kepala Sekolah Dasar Tunas Unggul, yang merupakan SD Swasta Inklusif di wilayah Bandung Timur, terang – terangan mengakui keterbatasan SDM di tempatnya bekerja berimbas kepada minimnya kouta bagi murid berkebutuhan khusus.
4. Ketika Dilema Bersumber dari Orang Tua
Julie Salama, pimpinan Yayasan Salaman Al Farizi yang mengelola Taman Kanak-kanak menjumpai langsung dilema tersebut. Di satu sisi dia mengerti benar bahwa ABK mempunyai hak yang sama menerima pendidikan di Sekolah reguler. Namun terkadang orang tua yang anak-anaknya normal keberatan ada ABK bergabung bersama dengan alasan klise khawatir mengganggu murid lainnya. Sebenarnya kekhawatiran itu dapat diatasi bila murid ABK
memiliki guru pendamping yang seyogyanya dibayar oleh orang tua murid, karena
pihak sekolah belum mampu menyediakan guru pendamping. Ironisnya orang tua ABK yang mendaftar, kebanyakan dari golongan menengah kebawah yang ekonominya terbatas. Psikolog pun memeratakan profil setiap murid seperti
karakter, sikap belajar, kemandirian, kendala belajar dan bagi anak – anak spesial, dilengkapi juga dengan identifikasi hambatan.


5.    Hak Berpolitik Belum Berprioritas
Nuning Suryatiningsih ketua CIQAL (Centre for Improving Qualifred Activity in Life of People With Disabilites) sebuah organisasi penyandang cacat di Yogya dan juga anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sleman menyampaikan pengalaman para penyandang disabilitas dalam hak berpolitiknya.
Mengenai hak berpolitik penyandang disabilitas, Nuning mengakui kalau selama ini mereka diajak bergabung dalam Parpol, hanya sebagai pelengkap bukan komitmen. Peran dan partisipasinya belum menjadi prioritas, sehingga belum diperhitungkan secara tegas. Oleh karena itu Nuning menyarankan agar dalam UU tentang Parpol penting dimasukkan tentang qouta bagi penyandang disabilitas dalam daftar calon, sehingga bukan hanya sebagai pelengkap penderita.

6.        Sinergikan Penyandang Cacat dan Masyarakat
Praktisi Bidang Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Cacat Sarsito Sarwono, menyatakan bahwa dunia sosial terdiri atas dua kelompok, yaitu mereka yang perlu dibantu disebut sebagai mampu membantu. Mereka yang perlu dibantu disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), sedangkan mereka yang mampu membantu disebut potensi sumber kesejahteraan sosial (PSKS) yang mencakup masyarakat, dunia usahadan pemerintah. Perlu dipahami adalah bahwa masalah sosial merupakan masalah multi dimensi, sehingga untuk menyelesaikannya perlu keterpaduan upaya dari berbagai pihak dan berbagai disiplin ilmu. Hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah bahwa masalah sosial tidak akan dapat terselesaikan tanpa kemauan dan usaha dari penyandang masalahnya sendiri.
Masalah penyandang cacat merupakan salah satu bagian dari 7 prioritas penanggulangan masalah sosial yaitu kemiskinan , kacacatan, keterpencilan, ketunaan sosial, dan penyimpangan perilaku, korban bencana serta korban tindak kekerasan, eksploitasi dan kriminisasi.  Dukungan pemeritah dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bidang kesejahteraan sosial sudah banyak, apalagi yang berkaitan dengan penyandang cacat. Termasuk ketentuan yang berkaitan dengan pemenuhan hak – hak penyandang cacat dibidang sosial, pendidikan dan ketenagakerjaan, hanya sangat disayangkan, peraturan perundang-undangan, kurang disosialisasikan dan relatif tidak dijalankan dengan baik karena sanks pelanggarannya tidak jelas atau malah tidak
diterapkan.
Peran orang tua beserta keluarga sangat penting terhadap perkembangan anak penyandang cacat. Kebanyakan penyandang cacat yang sukses dalam karirnya karena mendapat dukungan penuh dari orang tua dan keluarganya. Masyarakat terkadang masih menganggap memiliki anak cacat merupakan aib keluarga.padahal tidak ada satu pun pasangan suami-istri yang menginginkan punya anak cacat.pandangan masyarakat ini perlu diubah. Hal yang palinhg esensial dalam upaya merehabilitasi para penyandang cacat adalah membangun kepercayaan diri dan kreativitasnya. Orang yang percaya diri akan berani tampil dan berani menghadapi tantangan. Sedangkan pikiran dan kreatif akan mampu memecahan masalah dan mengatasi masalah hambatan.

7.        Peran Orang Tua Nomor Satu
Menurut Teti Ichsan, Ketua Perkumpulan Peduli Anak, menegaskan sejak awal orang tua anak-anak special nedds sudah harus memiliki aspirasi megenai perkembangan anak nantinya, mau bagaimana dan mau diapakan. Semua hal tersebut menurutnya harus disosialisasikan dan dibangun sejak dini di dalam masyarakat inklusif sehingga mereka akan menghargai perbedaan serta tidak lagi memandang iba terhadap anak  anak berkebutuhan khusus.  Diharuskan ada stimulasi dini sejak lahir terhadap anak dan orang tua mesti banyak menyerap pengetahuan tentang jenis kelainan yang disandang anak-anak.
Orang tua juga mesti bersikap lebih terbuka kepada lingkungan dan selalu mengajak anak-anaknya bersosialisasi dengan masyarakat. Seluruh keluarga harus dikondisikan menerima anak-anak special needs ini dengan tangna terbuka. Itu berarti termasuk pembantu rumah tangga, pengemudi atau pun orang-orang di sekitarnya yang perlu diberikan pendidikan tentang cara merawat, mendampingi, dan mengajak bermain anak–anak tersebut sehingga mereka turut mengasuh dengan tulus. Banyak orang tua anak-anak special needs berkaca pada keberhasilan sebagian dari mereka yang dianggap mampu mencapai rekor pada bidang tertentu. Di saat anak itu tidak berhasil pada bidang tertentu. Di saat anaknya sendiri tidak berhasil pada titik itu orang tua malah menjadi depresi sendiri, terutama bagi anak down syndrome dimana mereka mempunyai keterlambatan berpikir dan penanganan yang tidak sama jika dibandingkan dengan anak penyandang tunadaksa.

BAB III
PENUTUP
3.1     Simpulan
“Anak-anak spesial” adalah julukan manis untuk anak spesial needs, anak berkebutuhan khusus (ABK), yang dipergunakan oleh para orang tua yang putra-putrinya menyandang predikat tersebut. Biasanya pemakaian singkatan ABK ini diterapkan di berbagai lembaga pendidikan seperti di sekolah, tempat terapi atau universitas. Bagi  masyarakat, terutama di perkotaan, ABK yaitu anak-anak yang menyandang kelainan ataupun kekurangan secara fisik dan mental.  
Adapun yang disebut anak-anak berkebutuhan khusus atau anak-anak special needs adalah: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, down syndrome, autis, ADHD, tunadaksa, tunalaras, tunawicara, tunaganda, kesulitan belajar, dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya.
Keberadaan SLB merupakan solusi pertama bagi pemenuhan seluruh warga negara berkebutuhan khusus dalam mendapatkan keterampilan primer. Dengan adanya sekolah inklusi saat ini merupakan alternatif bagi anak berkebutuhan khusus terutama bagi anak yang kesulitan belajar. Yang dimaksud dengan kesulitan belajar atau gangguan belajar (learning disorder) adalah gangguan belajar pada anak yang ditandai dengan adanya kesenjangan yang signifikan antara intelegensi dengan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai. Adapun pengenalan dini pada perkembangan anak merupakan suatu proses yang penting untuk memahami potensi dan kebutuhan mereka. Semakin dini proses ini dilakukan, maka upaya pengembangan potensi anak juga semakin efektif. Identifikasi dini pada masa sekolah sangat menentukan perkembangan anak-anak di masa mendatang.

3.2  Saran
Adanya kerjasama antara orang tua dan pihak sekolah atau pembimbing dari peserta didik yang mengalami kesulitan belajar. Menciptakan lingkungan yang mendukung potensi serta minat dan bakat peserta didik, sehingga peserta didik dapat mengeksplor potensi yang dimilikinya dan membangun kepercayaan diri dari peserta didik. Pendidik diharapkan mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas mengenai penanganan kesulitan belajar yang dialami peserta didik, pendidik serta orang tua berinovasi untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran peserta didik. Selain itu, pendidik diharapkan melakukan komunikasi yang intens dengan peserta didik ataupun dengan orang tua. Sehingga, dapat menemukan solusi cara pembelajaran yang tepat untuk setiap peserta didik.


DAFTAR PUSTAKA
Pandji, Dewi. 2013. Sudahkah Kita Ramah Anak Special Needs. PT. Gramedia  :  Jakarta.